Figur Kiai Kalahkan Tokoh Politik Dalam Rujukan Pemilih di Pilkada
A
A
A
SURABAYA - Partai pengusung calon gubernur (cagub) Jatim harus bekerja ekstra keras untuk merebut hati pemilih. Sebab, sosok Kiai masih menjadi tokoh sentral dalam panutan untuk memilih pemimpin di Jatim. Mereka masih menjadi dasar pilihan bagi sebagian besar masyarakat Jatim untuk mengambil pilihan pada Pilgub Jatim 2018.
Sekretaris DPP PDIP Jatim Sri Untari Bisowarno menuturkan, banyak masukan bagi kami untuk menentukan pola pengerakan mesin partai ketika tokoh politik tidak begitu jadi panutan. Pihaknya masih percaya diri mendekati konstelasi pertarungan politik di Pilgub Jatim semua akan berjalan sesuai komando.
"Struktur kami di kepengurusan tak terlalu gemuk. Paling tidak hanya ada 200 ribu kader saja. Mereka akan kami optimalkan di tengah banyak sorotan tentang lemahnya tokoh partai untuk menjadi figur yang menjadi rujukan para pemilih," ujar Untari, Jumat (15/12/2017).
Di tingkat DPD saja, katanya, ada 23 ribu kader yang siap untuk membantu memenangkan pasangan calon (paslon) yang diusung PDIP, yakni Gus Ipul dan Anas. Sementara di tingkat DPC setidaknya ada 19 ribu kader yang bergerak di akar rumput.
Dari survei yang dilakukan Surabaya Survei Center (SSC) menempatkan posisi Kiai sebagai dasar pilihan tertinggi sebanyak 21,4% responden. Sosok Kyai pun mampu mengalahkan posisi rekomendasi dari tokoh politik dan tokoh terpelajar seperti dosen ataupun guru. Secara berturut-turut, hanya 16,8% dan 6,8% responden yang menganggap kedua elemen masyarakat tersebut menjadi dasar dari pilihan mereka.
Sekretaris DPD Partai Demokrat Jatim Renville Antonio menuturkan, simpul-simpul kemenangan Pilkada di Jatim memang masih mengandalkan sosok panutan bagi pemilih. Pihaknya terkejut ketika hasil survei terbaru yang dilakukan SSC menunjukan data pengaruh tokoh politik tak terlalu menjanjikan.
“Kebetulan pasangan yang kami usung (Khofifah-Emil) sudah menjadi figur di masyarakat. Kami tinggal memberikan mereka kesempatan untuk dikenal oleh masyarakat,” jelasnya.
Peneliti Senior SSC Surokim Abdussalam melihat fenomena Kyai di Jatim tidak begitu mengherankan. Secara kultural, masyarakat di Jatim yang mayoritas Nahdliyin dan tinggal di pedesaan akan cenderung kultur tawadhu dan tabik kepada para Kyai.
"Karena para Kyai ini adalah jangkar budaya dan peradaban masyarakat lokal. Selama ini mereka yang menuntun laku, gerak batin, dan dhohir dari masyarakat," jelasnya.
Sebelumnya, para Kyai melakukan itu semua tanpa tendensi apapun. Itu yang membuat kuasa mereka menjadi abadi dan membumi di Jatim. "Apabila sekarang terjadi pergeseran, nah itu yang harus disesalkan," kata Rokim.
Dekan Fisip Universitas Trunojoyo Madura itu menambahkan, keterlibatan para Kyai dalam praktik politik harus dibaca secara hati-hati. "Kalau yang sepanjang saya tahu, Kyai khos sesungguhnya akan sangat berhati-hati dan tidak vulgar dalam memberikan dukungan politik. Sayangnya, saat ini kita mengalami defisit Kyai yang mampu berfungsi seperti sebagaimana mestinya itu," pungkasnya.
Sekretaris DPP PDIP Jatim Sri Untari Bisowarno menuturkan, banyak masukan bagi kami untuk menentukan pola pengerakan mesin partai ketika tokoh politik tidak begitu jadi panutan. Pihaknya masih percaya diri mendekati konstelasi pertarungan politik di Pilgub Jatim semua akan berjalan sesuai komando.
"Struktur kami di kepengurusan tak terlalu gemuk. Paling tidak hanya ada 200 ribu kader saja. Mereka akan kami optimalkan di tengah banyak sorotan tentang lemahnya tokoh partai untuk menjadi figur yang menjadi rujukan para pemilih," ujar Untari, Jumat (15/12/2017).
Di tingkat DPD saja, katanya, ada 23 ribu kader yang siap untuk membantu memenangkan pasangan calon (paslon) yang diusung PDIP, yakni Gus Ipul dan Anas. Sementara di tingkat DPC setidaknya ada 19 ribu kader yang bergerak di akar rumput.
Dari survei yang dilakukan Surabaya Survei Center (SSC) menempatkan posisi Kiai sebagai dasar pilihan tertinggi sebanyak 21,4% responden. Sosok Kyai pun mampu mengalahkan posisi rekomendasi dari tokoh politik dan tokoh terpelajar seperti dosen ataupun guru. Secara berturut-turut, hanya 16,8% dan 6,8% responden yang menganggap kedua elemen masyarakat tersebut menjadi dasar dari pilihan mereka.
Sekretaris DPD Partai Demokrat Jatim Renville Antonio menuturkan, simpul-simpul kemenangan Pilkada di Jatim memang masih mengandalkan sosok panutan bagi pemilih. Pihaknya terkejut ketika hasil survei terbaru yang dilakukan SSC menunjukan data pengaruh tokoh politik tak terlalu menjanjikan.
“Kebetulan pasangan yang kami usung (Khofifah-Emil) sudah menjadi figur di masyarakat. Kami tinggal memberikan mereka kesempatan untuk dikenal oleh masyarakat,” jelasnya.
Peneliti Senior SSC Surokim Abdussalam melihat fenomena Kyai di Jatim tidak begitu mengherankan. Secara kultural, masyarakat di Jatim yang mayoritas Nahdliyin dan tinggal di pedesaan akan cenderung kultur tawadhu dan tabik kepada para Kyai.
"Karena para Kyai ini adalah jangkar budaya dan peradaban masyarakat lokal. Selama ini mereka yang menuntun laku, gerak batin, dan dhohir dari masyarakat," jelasnya.
Sebelumnya, para Kyai melakukan itu semua tanpa tendensi apapun. Itu yang membuat kuasa mereka menjadi abadi dan membumi di Jatim. "Apabila sekarang terjadi pergeseran, nah itu yang harus disesalkan," kata Rokim.
Dekan Fisip Universitas Trunojoyo Madura itu menambahkan, keterlibatan para Kyai dalam praktik politik harus dibaca secara hati-hati. "Kalau yang sepanjang saya tahu, Kyai khos sesungguhnya akan sangat berhati-hati dan tidak vulgar dalam memberikan dukungan politik. Sayangnya, saat ini kita mengalami defisit Kyai yang mampu berfungsi seperti sebagaimana mestinya itu," pungkasnya.
(nag)