Perludem Nilai Pilkada 2018 Masih Dibayangi Keberpihakan

Senin, 04 Desember 2017 - 07:36 WIB
Perludem Nilai Pilkada 2018 Masih Dibayangi Keberpihakan
Perludem Nilai Pilkada 2018 Masih Dibayangi Keberpihakan
A A A
JAKARTA - Pengalaman pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018 selama ini potensi terjadinya keberpihakan memang sangat terbuka. Hal tersebut sejalan dengan banyaknya putusan pemberhentian maupun putusan etik kepada penyelenggara oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

"Yang pasti pilkada kalau kita lihat sejarahnya paling rentan terjadinya keberpihakan, itu bisa diukur dari putusan DKPP, banyak sekali putusan pemberhentian dan etik itu ketika pilkada," ujar Sementara itu Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini saat dihubungi, Minggu 3 Desember 2017.

Titi melanjutkan, dari semua tahapan pelaksanaan pilkada, tahap pencalonan memang paling rentan terjadinya keberpihakan. Terutama pencalonan yang berasal dari jalur partai politik.

"Tapi pada masa pencalonan perseorangan itu juga sangat mungkin terjadi ketidakprofesionalan, tidak cermat, lalu berpihak itu sangat mungkin," ucap Titi.

Titi meneruskan, keberpihakan atau ketidaknetralan erat berkaitan dengan imparsialitas. Dan apabila hal itu terjadi ditahapan pencalonan maka penyelenggara akan cenderung melakukan tindakan yang menguntungkan pihak yang memiliki afiliasi atas keberpihakan itu.

"Yang saya khawatir karena saat ini bebannya penyelenggara itu berlipat, bayangkan banyak daerah saat ini mengurusi sampai 7 pemilu. Beban belipat ini sangat mungkin memengaruhi profesionalisme penyelenggara," tambah Titi.

Titi juga menyebut keberpihakan dan juga ketidaknetralan dapat terjadi karena kepentingan aktor yang berkompetisi di pilkada didukung oleh situasi persaingan dipilkada yang cenderung dalam ruang lingkup yang sempit.

"Karena penyelenggara dalam banyak hal punya ikatan, kultural, emosional dan juga kewilayahan yang kuat dengan calon. Karena lingkup yang kecil itu yang memicu ketidakprofesionalan dan keberpihakan," lanjut Titi.

Titi pun berharap, masyarakat aktif mengawasi tindak kerja dari penyelenggara. Dia mengingatkan, bahwa ruang untuk mengawasi penyelenggara saat ini terbuka lebar, dimana tidak hanya ada bawaslu yang mengawasi penyelenggara pilkada, tapi ada juga DKPP yang dapat mengoreksi etika penyelenggara apabila ada pelanggaran.

"Yang penting kita mengetahui bahwa penyelenggara pilkada harus netral dan imparsial. Ketika kita mnemukan keberpihakan atau ketidakprofesioanal penyelenggara maka kita harus jadi bagian mengoreksi atau memperbaikinya," ucap Titi.

Titi juga meminta masyarakat tidak takut melapor apabila ada pelanggaran yang dilakukan penyelenggara. Dan apabila menemukan adanya intimidasi maka Bawaslu harus memfasilitas masyarakat agar merasa aman dan nyaman selama melapor.

"Bawaslu harus ciptakan atmosfer iklim yang ramah untuk fasilitasi masyarakat melapor terjadinya pelanggaran, sehingga masyarakat merasa aman. Mestinya intimidasi jadi bagian bentuk pelanggaran yang tidak bisa ditolerir, pelanggaran berat," pungkasnya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6795 seconds (0.1#10.140)