Pengudang Bintan Mangrove, Wisata Unik yang Murni Dikelola Warga

Kamis, 21 September 2017 - 10:55 WIB
Pengudang Bintan Mangrove,...
Pengudang Bintan Mangrove, Wisata Unik yang Murni Dikelola Warga
A A A
TELUK SEBONG - Di Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ada satu objek wisata baru bernama Pengudang Bintan Mangrove. Wisata ini cukup berbeda dari objek wisata lainnya karena tidak dikelola perusahaan dengan padat modal, apalagi oleh perusahaan penanaman modal asing (PMA).

Namun, objek wisata ini murni dikelola kelompok masyarakat dari kalangan nelayan. Iwan Winarto, pimpinan kelompok masyarakat pengelola wisata Pengudang Bintan Mangrove mengatakan, semangat pengelolaan wisata mangrove Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong ini untuk memberdayakan pemuda setempat yang pada umumnya berprofesi nelayan.

Dengan membuka wisata mangrove sekaligus mengkampanyekan pelestarian lingkungan, menjaga pohon mangrove, ekosistem dan habitatnya dari perusakan.

“Kita tunjukkan kepada masyarakat bahwa pelestarian lingkungan tanaman bakau, laut, padang lamun, penyu, juga dugong (ikan duyung) memberikan keuntungan materi, berupa penghasilan dan pendapatan untuk keluarga,” kata Iwan, di Desa Pengudang, Teluk Sebong, Rabu (20/9/2017).

Selama setahun terakhir ia tak lelah mengajak pemuda desa agar bergabung dengannya, untuk mempromosikan paket wisata mangrove dengan cara memposting melalui media sosial (medsos) seperti facebook. Banyak halangan dan rintangan dari internal pemuda-pemuda yang diajak, bahkan sebagian ada yang menertawakan.

“Tetapi semua itu menjadi pelajaran bagi kita, agar kita tidak lelah berusaha,” ia menceritakan.

Setelah hampir setahun ia berusaha, saat ini sudah ratusan turis asing dan lokal berdatangan, mengikuti paket wisata tour Pengudang Bintan Mangrove. Bahkan salah satu stasiun televisi swasta juga pernah mengangkat tour tersebut.

Paket tour yang memadukan penjelajahan sungai mangrove Pengudang sejauh empat kilometer, dipenuhi rimbunnya pepohonan puluhan spesies pohon mangrove seperti aneka macam spesies Rhizophora. Berbagai spesies Bruguiera, Xylocarpus, maupun berbabagi jenis pandan dan palm, menjadi daya tarik tersendiri.

Selain itu, pemandangan aneka fauna yang masih asli seperti berbagai jenis monyet, burung, berang-berang, juga biawak. Bahkan aktivitas nelayan menangkap ketam dengan alat perangkap bubu juga menjadi objek yang hidup dan sangat menarik bagi turis asing.

Tour mangrove ini dipadukan dengan snorkeling, menyaksikan ikan dan padang lamun. Bahkan kalau beruntung bisa menyaksikan penyu dan ikan duyung berenang di antara padang lamun. Karena kawasan laut Pengudang merupakan kawasan konservasi padang lamun, dugong, maupun penyu, bahkan kuda laut.

Yang tidak kalah menarik, ada satu objek bebatuan khusus, dimana batu tersebut seolah-olah dijunjung oleh bebatuan lain. Masyarakat lokal menamakannya batu junjung. Namun, beberapa turis dari Singapura menamakan Philips Rock’s. Belum diketahui mengapa sebagian turis asing asal Singapura menyebutnya Philips Rock’s.

Iwan menjelaskan, keuletan dirinya bersama kelompok masyarakat, mencapai keberhasilan, bukan saja karena kegigihan saja, namun juga atas dukungan Dinas Pariwisata Bintan yang memberikan dukungan pelatihan manajerial, teknik dan promosi, sehingga objek wisata ini dikenal hingga ke mancanegara.

Kepala Dinas Pariwisata Bintan, Luki Zaiman Prawira, mengatakan, Pengudang Bintan Mangrove yang dikelola berbasis masyarakat ini bisa menjadi percontohan tumbuhnya industri pariwisata yang mengedepankan usaha warga. Desa wisata yang tumbuh dari inisiatif warga menurutnya bisa lebih kuat dukungannya dari masyarakat sekitar, dikarenakan keterlibatan warga lokal lebih dominan.

“Pemandunya pemuda lokal yang dahulunya nelayan, kapal/speednya milik nelayan, pelantar dan lokasi tambat kapalnya juga milik nelayan, dimana mereka sehari-hari beraktivitas,” kata Luki.

Sehingga mangrove tour Desa Pengudang ini tidak menghilangkan dan mengurangi pekerjaan nelayan, melainkan bersatu padu dengan kehidupan nelayan. Dimana pendapatan nelayan dari sektor ikan tidak terkurangi, namun anak-anak mereka sebagiannya bisa bekerja dengan menjadi pemandu, maupun tekong speed tour.

“Saling mendukung antara kegiatan wisata mangrove dengan pekerjaan nelayan sehari-hari menangkap ikan,” ungkapnya.

Gena, salah satu turis asing asal Denmark, mengaku senang mengikuti tur mangrove, karena bisa melihat berbagai spesies pohon mangrove alami, menyaksikan nelayan mengangkat bubu menangkap ketam, dan mendengarkan suara-suara monyet bersahutan.

“Di negara kami (Denmark) saya tidak lagi mendengar suara monyet dan burung bersahutan. Saya juga senang melihat biawak yang besar mirip komodo,” kata Gena.

Turis lainnya, Cristina dan Simon dari Australia, malahan kagum mendengarkan warga Pengudang menyapanya, dengan sapaan apa kabar.

“Masih kampung asli, penduduk nelayan asli seperti ini menarik bagi saya. Terutama logatnya dalam menyambut kami sebagai orang asing, sangat ramah, terbuka dan menyenangkan,” kata Cristina dan Simon.

Keterbukaan nelayan dengan kepolosan ini, menurutnya menjadi objek wisata tersendiri yang bisa menarik turis asing. Apalagi nelayan di Desa Pengudang, tingkat pendidikannya umumnya masih rendah, rata-rata lulus sekolah tingkat dasar.

“Keaslian alam mangrove didukung dengan keaslian penduduknya, sangat menarik saya untuk belajar tentang penduduk desa ini,” kata Cristina yang mengaku akan kembali mengikuti tur mangrove Desa Pengudang dengan mengajak kawan-kawan kuliahnya di Australia.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2349 seconds (0.1#10.140)