Misteri Batu Talempong, Alat Musik Unik dan Mistis dari Sumbar
A
A
A
Nama Batu Talempong bagi warga di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat begitu melegenda. Batu Talempong merupakan enam buah batu dalam susunan berjajar yang beralaskan bambu dan tersimpan dalam sebuah bangunan di halaman Balai Adat Nagari Talang Anau, Nagari Talang Anau, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
Batu peninggalan masa prasejarah ini memiliki keunikan dan ciri khas tertentu sebagai alat musik. Karena meski bentuknya tak jauh berbeda dengan batu pada umumnya, namun jika batu ini dipukul akan mengeluarkan bunyi nyaring layaknya suara musik pukul khas Minangkabau, talempong atau gamelan. Konon ke enam batu ini pun telah disusun berdasarkan urutan tangga nada yang dihasilkan setiap batu.
Selain untuk dimainkan dalam acara adat dengan ritualnya batu ini diyakini juga dapat berbunyi sendiri sebagai pertanda akan ada kejadian atau musibah. Konon Batu Talempong ini ditemukan oleh salah satu ulama Minangkabau Syekh Syamsudin.
Ril Afrizal Petugas Juru Pelihara Situs Cagar Budaya Batu Talempong menyebutkan, Syekh
Syamsudin menemukan batu ini lewat mimpi. Dalam mimpinya tersebut, Syekh Syamsudin bertemu dengan pria tua bersorban, berjubah putih, dan berjanggut panjang. Menurut kisahnya, sang pria tua menyuruh Syekh Syamsudin mencari beberapa buah batu yang tersebar di kedalaman hutan dalam keadaan ditumbuhi Talang dan Anau. Apabila dikumpulkan, benda-benda atau batu tersebut bakal memberikan manfaat pada anak cucu masyarakat nantinya.
Dari lokasi penemuan batu di Kawasan Gunung Omeh, Syekh Syamsudin lalu membawa dan mengumpulkan batu-batu di lokasi Jorong Talang Anau.
“Cara membawanya menurut legenda yaitu dengan cara menghela seperti orang membawa ternak, disini batu diletakkan di atas mulut goa atau lubang dan jadilah batu ini sebagai alat pengumpul masyarakat dengan membunyikannya,” kata Ril Afrizal, kepada MNC Media, Kamis 7 September 2017.
Ada ritual tersendiri yang harus dilakukan sebelum memainkan Batu Talempong diantaranya seperti ritual membakar menyan dan memanjatkan doa kepada tuhan sang pencipta.
“Ada enam batu yang dimainkan oleh tiga orang tersusun dengan ukuran berbeda. Yang terpendek sepanjang 1 meter hingga terpanjang berukuran 1,80 meter. Jika dipukul masing-masing batu mengeluarkan bunyi dengan nada yang berbeda,” timpalnya.
Batu Talempong selain dibunyikan pada acara adat juga dimainkan jika ada warga yang melakukan ritual membayar nazar atau 'bakaua'.
Menurut Ril, selain dimainkan dengan diawali ritual, Batu Talempong juga diyakini dapat berbunyi sendiri sebagai pertanda akan ada kejadian atau musibah.
Sinyal bahaya yang keluar sendiri dari batu berupa suara menderum, menggelegar atau suara yang cukup aneh. Jika suara ini terdengar warga pun langsung waspada dengan ancaman bahaya yang akan datang.
Berdasarkan penelitian sejumlah arkeolog keberadaan batu ini diperkirakan telah tersusun di tempat ini sebelum tahun 1.400 masehi dan diduga telah digunakan saat tahun 2.000 sebelum masehi. Batu Talempong ini pun oleh pemerintah telah dimasukan ke dalam situs cagar budaya.
Tak hanya menarik para peneliti, Batu Talempong juga menarik para wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat dan mencoba keajaibannya. Kini Batu Talempong sudah menjadi salah satu daya tarik bagi para wisatawan yang datang ke Kabupaten Lima Puluh Kota.
Untuk melestarikannya pemerintah dan pemuka masyarakat berharap generasi penerus dapat memainkan Batu Talempong. Namun sayang saat ini para pemuda setempat kurang berminat belajar memainkan alat musik ini.
Batu peninggalan masa prasejarah ini memiliki keunikan dan ciri khas tertentu sebagai alat musik. Karena meski bentuknya tak jauh berbeda dengan batu pada umumnya, namun jika batu ini dipukul akan mengeluarkan bunyi nyaring layaknya suara musik pukul khas Minangkabau, talempong atau gamelan. Konon ke enam batu ini pun telah disusun berdasarkan urutan tangga nada yang dihasilkan setiap batu.
Selain untuk dimainkan dalam acara adat dengan ritualnya batu ini diyakini juga dapat berbunyi sendiri sebagai pertanda akan ada kejadian atau musibah. Konon Batu Talempong ini ditemukan oleh salah satu ulama Minangkabau Syekh Syamsudin.
Ril Afrizal Petugas Juru Pelihara Situs Cagar Budaya Batu Talempong menyebutkan, Syekh
Syamsudin menemukan batu ini lewat mimpi. Dalam mimpinya tersebut, Syekh Syamsudin bertemu dengan pria tua bersorban, berjubah putih, dan berjanggut panjang. Menurut kisahnya, sang pria tua menyuruh Syekh Syamsudin mencari beberapa buah batu yang tersebar di kedalaman hutan dalam keadaan ditumbuhi Talang dan Anau. Apabila dikumpulkan, benda-benda atau batu tersebut bakal memberikan manfaat pada anak cucu masyarakat nantinya.
Dari lokasi penemuan batu di Kawasan Gunung Omeh, Syekh Syamsudin lalu membawa dan mengumpulkan batu-batu di lokasi Jorong Talang Anau.
“Cara membawanya menurut legenda yaitu dengan cara menghela seperti orang membawa ternak, disini batu diletakkan di atas mulut goa atau lubang dan jadilah batu ini sebagai alat pengumpul masyarakat dengan membunyikannya,” kata Ril Afrizal, kepada MNC Media, Kamis 7 September 2017.
Ada ritual tersendiri yang harus dilakukan sebelum memainkan Batu Talempong diantaranya seperti ritual membakar menyan dan memanjatkan doa kepada tuhan sang pencipta.
“Ada enam batu yang dimainkan oleh tiga orang tersusun dengan ukuran berbeda. Yang terpendek sepanjang 1 meter hingga terpanjang berukuran 1,80 meter. Jika dipukul masing-masing batu mengeluarkan bunyi dengan nada yang berbeda,” timpalnya.
Batu Talempong selain dibunyikan pada acara adat juga dimainkan jika ada warga yang melakukan ritual membayar nazar atau 'bakaua'.
Menurut Ril, selain dimainkan dengan diawali ritual, Batu Talempong juga diyakini dapat berbunyi sendiri sebagai pertanda akan ada kejadian atau musibah.
Sinyal bahaya yang keluar sendiri dari batu berupa suara menderum, menggelegar atau suara yang cukup aneh. Jika suara ini terdengar warga pun langsung waspada dengan ancaman bahaya yang akan datang.
Berdasarkan penelitian sejumlah arkeolog keberadaan batu ini diperkirakan telah tersusun di tempat ini sebelum tahun 1.400 masehi dan diduga telah digunakan saat tahun 2.000 sebelum masehi. Batu Talempong ini pun oleh pemerintah telah dimasukan ke dalam situs cagar budaya.
Tak hanya menarik para peneliti, Batu Talempong juga menarik para wisatawan dari berbagai daerah untuk melihat dan mencoba keajaibannya. Kini Batu Talempong sudah menjadi salah satu daya tarik bagi para wisatawan yang datang ke Kabupaten Lima Puluh Kota.
Untuk melestarikannya pemerintah dan pemuka masyarakat berharap generasi penerus dapat memainkan Batu Talempong. Namun sayang saat ini para pemuda setempat kurang berminat belajar memainkan alat musik ini.
(sms)