Anang Abdul Hamidhan, Wartawan yang Menolak Jadi Gubernur Pertama Kalimantan
A
A
A
DALAM catatan sejarah, Pangeran Muhammad Noor atau PM Noor menjadi gubernur pertama Kalimantan. Diangkatnya PM Noor sebagai gubernur Kalimantan tidak terlepas dari penolakan Anang Abdul Hamidhan, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari Kalimantan.
Cerita berawal pada 18 Agustus 1945. Kala itu, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, digelar Sidang Pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Sidang ini membahas rancangan pembukaan dan undang-undang dasar yang telah disiapkan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam rapat itu juga diusulkan bahwa Presiden RI Soekarno, sementara Mohammad Hatta menjadi Wapres RI. Usulan itu diterima dengan suara bulat. Peserta sidang pun lantas berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Malam hari hingga 19 Agustus 1945 dini hari, diadakan pertemuan khusus membahas hal-hal yang mendesak yaitu masalah wilayah negara, kepolisian, tentara, dan perekonomian. Para utusan daerah diminta menjadi gubernur di daerahnya masing-masing. Namun, Anang Abdul Hamidhan, selanjutnya disebut AA Hamidhan, menolaknya.
Padahal, anggota PPKI dari luar Jawa semuanya bersedia diangkat menjadi gubernur. Sebut saja Teuku Muhammad Hasan memimpin Sumatera, I Gusti Ketut Pudja memimpin Sunda Kecil, J Latuharhary memimpin Maluku, serta GSSJ. Ratulangi menjadi gubernur Sulawesi. Selain mereka, ada Sutardjo Kartohadikusomo memimpin Jawa Barat, Raden Pandji Soeroso memimpin Jawa Tengah, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo menjadi gubernur Jawa Timur.
Penolakan Hamidhan menjadi gubernur Kalimantan tentu membuat heran mereka yang hadir dalam pertemuan itu. Hatta pun menanyakan hal itu. Tapi, dengan tegas AA Hamidhan menjawab dia ingin tetap berkiprah di bidang yang selama ini dia geluti, yakni menjadi wartawan.
Meski heran dengan penolakan Hamidhan itu, Otto Iskandar Dinata yang memimpin pertemuan, kemudian bertanya kepada AA Hamidhan tentang siapa yang dia usulkan menjadi gubernur Kalimantan.
Lantas, AA Hamidhan mengusulkan Pangeran Muhammad Noor yang waktu itu tinggal di Bandung sebagai pegawai tinggi Departemen Pekerjaan Umum untuk menduduki jabatan tersebut. AA Hamidhan pun yakin usulannya akan diterima seluruh rakyat Kalimantan. Presiden Soekarno meneriman usulan Hamidhan. Lantas, delapan gubernur itu pun diangkat pada 5 September 1945. (Baca Juga: Mengenal Pangeran Muhammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
Sejak muda, AA Hamidhan memang mengabdikan dirinya untuk dunia pers. Bakat di dunia pers telah tampak sejak sekolah di Europeese Lagere School (ELS) di Samarinda. Dia pintar mengarang. Tulisannya senantiasa mendapatkan sambutan baik dari guru Belanda. Dia pun gemar membaca surat kabar dan majalah yang terbit di Jawa.
Pria kelahiran Rantau, Tapin, Kalimantan Selatan pada 25 Februari 1909 ini berkecimpung di dunia jurnalistik sejak usia 18 tahun atau tahun 1927. Kala itu, dia menjadi anggota redaksi surat kabar Perasaan Kita di Samarinda dan anggota redaksi Bintang Timur yang terbit di Jakarta.
Dia juga tercatat menjadi pemimpin redaksi Bendahara Borneo (1929), Soeara Kalimantan (1930-an), Kalimantan Raya (1942), dan Borneo Shimbun (1945). Untuk diketahui, Soeara Kalimantan merupakan surat kabar pribumi pertama yang didirikan AA Hamidhan di Banjarmasin.
Sementara, Borneo Shimbun yang ada di Banjarmasin dan Kandangan ikut menyiarkan berita Proklamasi Kemerdekaan RI, termasuk menyiarkan UUD 1945, pengangkatan Pangeran Muhammad Noor sebagai gubernur Kalimantan.
AA Hamidhan pernah tiga kali kena persdelict (delik pers) dan kemudian dibui. Dia pernah merasakan hidup di Penjara Cipinang pada tahun 1930, lalu di Banjarmasin pada 1932 dan 1936. Baginya, surat kabar yang tak merasakan persdelict, bagaikan sayur tanpa garam, hambar.
Pejuang pers ini meninggal dunia pada 21 Agustus 1997. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Muslimin Banjar Baru, Kalimantan Selatan.
Sumber tulisan:
Komik Sejarah H. Anang Abdul Hamidhan "Pejuang Pers Tiga Zaman" yang diterbitkan Museum Naskah Perumusan Proklamasi dan id.wikipedia.org (diolah dari berbagai sumber).
Cerita berawal pada 18 Agustus 1945. Kala itu, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, digelar Sidang Pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Sidang ini membahas rancangan pembukaan dan undang-undang dasar yang telah disiapkan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam rapat itu juga diusulkan bahwa Presiden RI Soekarno, sementara Mohammad Hatta menjadi Wapres RI. Usulan itu diterima dengan suara bulat. Peserta sidang pun lantas berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Malam hari hingga 19 Agustus 1945 dini hari, diadakan pertemuan khusus membahas hal-hal yang mendesak yaitu masalah wilayah negara, kepolisian, tentara, dan perekonomian. Para utusan daerah diminta menjadi gubernur di daerahnya masing-masing. Namun, Anang Abdul Hamidhan, selanjutnya disebut AA Hamidhan, menolaknya.
Padahal, anggota PPKI dari luar Jawa semuanya bersedia diangkat menjadi gubernur. Sebut saja Teuku Muhammad Hasan memimpin Sumatera, I Gusti Ketut Pudja memimpin Sunda Kecil, J Latuharhary memimpin Maluku, serta GSSJ. Ratulangi menjadi gubernur Sulawesi. Selain mereka, ada Sutardjo Kartohadikusomo memimpin Jawa Barat, Raden Pandji Soeroso memimpin Jawa Tengah, dan Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo menjadi gubernur Jawa Timur.
Penolakan Hamidhan menjadi gubernur Kalimantan tentu membuat heran mereka yang hadir dalam pertemuan itu. Hatta pun menanyakan hal itu. Tapi, dengan tegas AA Hamidhan menjawab dia ingin tetap berkiprah di bidang yang selama ini dia geluti, yakni menjadi wartawan.
Meski heran dengan penolakan Hamidhan itu, Otto Iskandar Dinata yang memimpin pertemuan, kemudian bertanya kepada AA Hamidhan tentang siapa yang dia usulkan menjadi gubernur Kalimantan.
Lantas, AA Hamidhan mengusulkan Pangeran Muhammad Noor yang waktu itu tinggal di Bandung sebagai pegawai tinggi Departemen Pekerjaan Umum untuk menduduki jabatan tersebut. AA Hamidhan pun yakin usulannya akan diterima seluruh rakyat Kalimantan. Presiden Soekarno meneriman usulan Hamidhan. Lantas, delapan gubernur itu pun diangkat pada 5 September 1945. (Baca Juga: Mengenal Pangeran Muhammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
Sejak muda, AA Hamidhan memang mengabdikan dirinya untuk dunia pers. Bakat di dunia pers telah tampak sejak sekolah di Europeese Lagere School (ELS) di Samarinda. Dia pintar mengarang. Tulisannya senantiasa mendapatkan sambutan baik dari guru Belanda. Dia pun gemar membaca surat kabar dan majalah yang terbit di Jawa.
Pria kelahiran Rantau, Tapin, Kalimantan Selatan pada 25 Februari 1909 ini berkecimpung di dunia jurnalistik sejak usia 18 tahun atau tahun 1927. Kala itu, dia menjadi anggota redaksi surat kabar Perasaan Kita di Samarinda dan anggota redaksi Bintang Timur yang terbit di Jakarta.
Dia juga tercatat menjadi pemimpin redaksi Bendahara Borneo (1929), Soeara Kalimantan (1930-an), Kalimantan Raya (1942), dan Borneo Shimbun (1945). Untuk diketahui, Soeara Kalimantan merupakan surat kabar pribumi pertama yang didirikan AA Hamidhan di Banjarmasin.
Sementara, Borneo Shimbun yang ada di Banjarmasin dan Kandangan ikut menyiarkan berita Proklamasi Kemerdekaan RI, termasuk menyiarkan UUD 1945, pengangkatan Pangeran Muhammad Noor sebagai gubernur Kalimantan.
AA Hamidhan pernah tiga kali kena persdelict (delik pers) dan kemudian dibui. Dia pernah merasakan hidup di Penjara Cipinang pada tahun 1930, lalu di Banjarmasin pada 1932 dan 1936. Baginya, surat kabar yang tak merasakan persdelict, bagaikan sayur tanpa garam, hambar.
Pejuang pers ini meninggal dunia pada 21 Agustus 1997. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Muslimin Banjar Baru, Kalimantan Selatan.
Sumber tulisan:
Komik Sejarah H. Anang Abdul Hamidhan "Pejuang Pers Tiga Zaman" yang diterbitkan Museum Naskah Perumusan Proklamasi dan id.wikipedia.org (diolah dari berbagai sumber).
(zik)