Kisah Amir Hamzah, Pahlawan Nasional yang Gugur Dipancung

Jum'at, 11 Agustus 2017 - 05:00 WIB
Kisah Amir Hamzah, Pahlawan Nasional yang Gugur Dipancung
Kisah Amir Hamzah, Pahlawan Nasional yang Gugur Dipancung
A A A
Bagi masyarakat Melayu, sosok Amir Hamzah sudah tak asing lagi. Sebagai penyair besar, di tangannyalah bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang terus dihargai hingga sekarang.

Amir Hamzah adalah satu dari banyak pujangga terkenal di Indonesia. Adapun gelar pahlawan nasional yang disematkan kepadanya tak lepas dari kematiannya yang tragis ketika revolusi sosial meletus di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Maret 1946 silam.

Amir Hamzah bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera. Ia lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911 dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) yang taat beragama.

Meskipun seorang pangeran di Kesultanan Langkat, Amir Hamzah justru dikenal sebagai penyair modern Indonesia yang digelari ‘Raja Penyair Pujangga Baru’.
Pamannya bernama Machmud adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941.

Ayahnya Tengku Muhammad Adil (saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai. Dalam usia 16 tahun, Amir Hamzah telah turut bersama-sama merumuskan konsep Sumpah Pemuda 1928 dan ikut andil membidani kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesdia (NKRI).

Pendidikannya dimulai dari Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, tahun 1924 masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian ia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927.

Kemudian, Amir melanjutkan sekolahnya di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.

Selama di Pulau Jawa, saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit, Amir Hamzah menempa dirinya dengan belajar kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya. Terlahir sebagai putera bangsawan, dia bersama Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru yang kemudian menjadi tonggak berdirinya angkatan sastrawan.

Kematian tragis Amir Hamzah menjadi catatan menyedihkan bagi sejarah perjuangan dan kesusastraan Indonesia. Tidak ada yang menyangka, pahlawan yang dikenal gigih mempersatukan bangsa ini justru meninggal dalam keadaan disiksa dan dipancung.

Berbagai sumber menyebut bahwa kematiannya didalangi oleh barisan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat revolusi sosial pecah 1946 lalu. Pada tahun 1946 sebuah mobilisasi rakyat di Sumatera mengatasnamakan gerakan sosial rakyat dikomondoi oleh PKI.

Gerakan sosialis ini ingin menghapus sistem kerajaan yang berujung pada pembunuhan Amir Hamzah dan keluarga kesultanan Melayu yang disebut-sebut pro-Belanda. Pada 29 Oktober 1945, Amir memang pernah diangkat menjadi Wakil Pemerintah RI untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Kala itu, Amir adalah Pangeran Langkat Hulu di Binjai.

Awal 1946, revolusi sosial di Indonesia mulai berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa. Republik Indonesia yang baru didirikan dalam keadaan tidak stabil. Rumor menyebar di Langkat bahwa Amir Hamzah sedang berkumpul bersama perwakilan Belanda yang kembali ke Sumatera.

Semangat revolusi kian tak terbendung sehingga muncullah benih-benih kerusuhan. Rakyat mengtasnamakan gerakan sosialis mendesak Kesultanan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Revolusi sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak rakyat, termasuk Amir Hamzah pun menjadi sasaran kemarahan yang dikomandoi faksi-faksi Partai Komunias Indonesia (PKI) yang anti kaum bangsawan.

Kekuasaan Amir dilucuti dan ia bersama keluarganya ditangkap pada 7 Maret 1946. Amir dan anggota keluarga Kesultanan Langkat dibawa ke sebuah tempat yang dikuasai faksi sosialis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer dari Kota Binjai. Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa tahanan itu termasuk Amir, diadili oleh para penculik. Mereka dipaksa menggali lubang dan disiksa.

Pada dini hari 20 Maret 1946, Amir Hamzah wafat bersama 26 tahanan lainnya. Amir meninggal dunia setelah dihukum pancung oleh barisan PKI. Jasadnya dimakamkan di sebuah kuburan massal yang digali sendiri oleh para tahanan. Saudara Amir juga ikut menjadi korban dalam aksi revolusi tersebut.

Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga. Tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang. Pada November 1949 jenazahnya dimakamkan di Kompleks Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat, berjarak 38 km dari Kota Binjai. Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Dalam buku Biografi-Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah, yang disusun Tengku Haji M Lah Husny juga menceritakan, pada 7 Maret 1946 silam Amir Hamzah diculik dan dibawa ke sebuah rumah bekas tahanan kempetai (nama satuan polisi militer Jepang) di tepi Sungai Mencirim, Binjai.

Dua minggu kemudian ia dieksekusi. Salah seorang algojo dari barisan revolusi memenggal kepala Amir di sebuah lubang di Kwala Begumit. Malam itu, sang penyair besar itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Peristiwa tragis ini juga dibenarkan oleh salah satu tokoh masyarakat Melayu Langkat, Johar Arifin Husein. Dalam situs Melayuonline, Johar Arifin menceritakan, sikap perjuangan Amir Hamzah yang kooperatif terhadap Belanda telah disalahartikan oleh PKI, yang kemudian memfitnah Amir sebagai boneka Belanda.

Amir ditahan pada 7 Maret 1946 sewaktu revolusi sosial meletus. Kemudian tanggal 20 Maret 1946, dia gugur dipancung oleh salah seorang barisan PKI. Sejarah mencatat Amir hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi sosial. Ia tutup usia pada usia 35 tahun.

Sebagai penyair terkenal, Amir telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, satu prosa liris terjemahan, 13 prosa dan satu prosa terjemahan. Jumlah seluruhnya adalah 160 tulisan. Jumlah itu masih ditambah dengan Setanggi Timur (puisi terjemahan) dan terjemahan Bhagawat Gita. Eentah berapa tulisan yang tak sempat tersiar atau dipublikasikan. Amir Hamzah hanya menerbitkan dua kumpulan puisi tunggal, yaitu Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937).

Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia. Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional. Kemudian, sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977. Selain itu, beberapa jalan diberi nama Amir Hamzah, seperti di Kota Medan, Surabaya dan kota lainnya di Indonesia.

Sumber:
Buku Biografi-Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah
Pangkalan data Tengkuamirhamzah
Melayuonline

Diolah dari berbagai sumber
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7157 seconds (0.1#10.140)