Ranggong Daeng Romo, Tokoh Kemerdekaan Sulawesi Selatan

Sabtu, 05 Agustus 2017 - 05:00 WIB
Ranggong Daeng Romo, Tokoh Kemerdekaan Sulawesi Selatan
Ranggong Daeng Romo, Tokoh Kemerdekaan Sulawesi Selatan
A A A
Ranggong Daeng Romo adalah putra sulung dari Gallarang Moncokomba Mangngulabba Daeng Makkio dan ibunya bernama Bati Daeng Jimo. Ranggong Daeng Romo dilahirkan pada tahun 1915 di Kampung Bone-bone, Bate Moncokomba, distrik Polongbangkeng (tepatnya dikecamatan polong bangkeng selatan), Takalar.

Dilihat dari segi keturunannya, dia dikenal sebagai seorang bangsawan yang berasal dari golongan progresif dinamis yang tahu mengikuti keinginan dan kehendak rakyatnya.

Dengan demikian Ranggong Daeng Romo berasal dari keluarga bangsawan di Polongbangkeng. Yang dimana kedua orang tuanya terkenal sebagai dermawan yang kaya serta dihormati dan disegani oleh masyarakatnya.

Sejak umur 4 tahun Ranggong Daeng Romo telah dimasukkan pada pondok pesantren di Cikoang untuk memperoleh pendidikan agama Islam. Karena kepintarannya dalam membaca Alquran dengan kemahiran tajwidnya, sehingga pada umur 6 tahun beliau selalu diikutsertakan pada acara tadarrusan yang sekarang lebih dikenal dengan musabaqah tilawatil Alquran.

Dari sinilah beliau mempunyai keyakinan bahwa dia harus bekerja keras dan tekun agar dapat tampil dimuka umum bahkan ribuan orang. Setelah tamat dari pesantren cikoang beliau kembali bersekolah di Inlandschool di kota Makassar.

Selama beliau menjalani sekolah di kota Makassar beliau menumpang kepada keluarga dekatnya yang ada di pinggir kota. Berkat ketabahan dan ketekunannya beliau dapat meneyelesaikan di Inlandschool pada tahun 1929.

Sebenarnya Ranggong Daeng Romo memenuhi syarat untuk masuk ke sekolah HIS milik belanda yang ada di Makassar, tetapi karena pendiriannya yang teguh dan tidak menyukai sekolah milik belanda beliau kemudian pindah ke sekolah partikulir (taman siswa).

Pada suatu ketika Ranggong Daeng Romo sedang mengikuti pelajaran di sekolahnya, tiba-tiba terjadi penyerangan dari sekolah milik belanda (HIS). Ranggong Daeng Romo yang pada saat itu berada di sekolah melihat langsung kejadian tersebut yang dimana sekolahnya di obrak abrik oleh murid sekolah Belanda.

Ranggong Daeng Romo yang tidak terima atas kejadian tersebut langsung memimpin teman-temannya untuk menyerang balik. Dan pada kesempatan lain Ranggong Daeng Romo beserta teman-temannya melakukan perlawanan balik kepada sekolah milik pemerintahan Kolonial Belanda.

Karena keseringan memimpin teman-temannya dalam penyerangan terhadap murid- murid sekolah HIS, akhirnya orang tua Ranggong Daeng Romo dipanggil oleh politie inlichting diest (PID).

Bosan dengan panggilan tersebut akhirnya orang tua Ranggong daeng Romo memberhentikan sekolah anaknya setalah ia menyelesaikan pelajarannya pada sekolah nasiaonal taman siswa.

Setelah Ranggong daeng Romo kembali ke Polongbangkeng dan dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, beliau mendampingi orang tuanya dalam menjalankan roda pemerintahan, serta mengurus sawah dan ladangnya.

Dari hasil pertanian dan peternakan inilah banyak memberikan bantuan materi terhadap kehidupan perjuangan melawan belanda.

Pada usia 18 tahun Ranggong Daeng Romo telah dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Bungatubu Daeng Lino, putri Gallarang Bontokadatto Tarasi Daeng Bantang pada tahu 1933.

Sejak saat itu beliau membantu mertuanya yang sekaligus pamannya dalam tugas pemerintahan sebagai Gallarrang Bontokadatto sampai masa pendaratan Jepang pada tahun 1942.

Pada masa kependudukan militer Jepan, Karaeng Polongbangkeng Pajonga Daeng Ngalle diangkat sebagai Guncho/setingkat dengan kepala distrik pada masa Belanda, antara tahun 1942-1945.

Maka dari itu beberapa pemuda dijadikan sebagai pemimpin Seinendan dan Boe Tei Santai, yang diantaranya Makkaraeng Daeng Jarrung, Madina Daeng Ngitung, Ranggong Daeng Romo.

Ranggong Daeng Romo selain diangkat sebagai ketua Seinendan juga bekerja pada perseroan Jepang Naiyo Kuhatsu Kabusuki Kaisha (NKK) yaitu perusahaan pembelian beras dari militer Jepang di takalar sampai pada tahun 1944.

Kebijaksanaan beliau selama bertugas menagani pembelian beras atau padi sangat di junjung tinggi, karena beliau tidak hanya sebagai wakil pemerintah melainkan beliau juga sebagai pemimpin masyarakat.

Hal ini dibuktikan ketika jepang angkat kaki dari daerah yang di perintahnya, selain itu beliau juga mendapat dukungan besar dari masyarakat terhadap organisasi perjuangan yang dipimpinya.

Dari tugas-tugas tersebut Ranggong Daeng Romo mendapat banyak kenalan dengan perwira-perwira militer jepang dan dari situlah beliau mendapakan banyak informasi mengenai perkembangan politik dan situasi di tanah air.

Sembari menjalankan tugas-tuasnya, beliau juga memperdalam ajaran agama Islam terutama yang beraliran modern dan beliau juga memperdalam ilmu politik, sosial, budaya serta mengikuti perkembangan kebangsaan.

Dari ilmu-ilmu yang didapatnya inilah Ranggong Daeng Romo mengembangkan dan mendidik pemuda-pemuda yang ada di daerahnya dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan.

Dengan terbentuknya Gerakan Muda Bajeng pada tanggal 16 Oktober 1945 yang memiliki tujuan menyatakan bahwa daerah Polongbangkeng adalah wilayah Republik Indonesia.

Kemudian, menyelenggarakan pemerintahan setempat secara darurat, sambil menunggu perintah instruksi langsung dari Gubernur DR. Ratulangi. Lalu menggalang kesatuan dan persatuan dikalangan tenaga muda untuk bertindak menjaga ketertiban umum dalam daerah terutama mengawasi kaki tangan NICA.

Gerakan Muda Bajeng (GMB) yang dipimpin oleh Ranggong Daeng Romo dan Syamsudding Daeng Ngerang, berturut-turut melakukan penyerangan diantaranya pada tanggal 26 Desember 1945 ke Makassar dipimpin Syamsuddin Daeng Ngerang, Makkatang Daeng Sibali dan didukung bekas HEIHO serta Seinenda yang kurang lebih berjumlah 500 orang pemuda/rakyat dengan sasaran tangsi KIS.

Tetapi dalam perjalanannya mereka bertemu dengan petrol KNIL di pinggiran kota (blangbaru) sehingga terjadilah pertempuran yang akhirnya pasukan KNIL mengundurkan diri dan lari masuk ke kota, sehingga dua truk patrol NICA yang ditinggalkannya dihancurkan.

Selanjutnya pada tahun 1946 tepatnya pada 7 Januari terjadilah pertempuran yang menewaskan duang anggota GMB, sedangkan pada pihak musuh tidak ada korban.

Pemimpinnya adalah Makkaraeng Daeng Manjarungi. Kemudian pada tanggal 19 Februari pasukan NICA kembali mengadakan penyerangan ke polongbangkeng dengan sasaran pertahanan GMB.

Kali ini kepemimpinan di bawah Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng yang berhasil memukul mundur pasukan NICA. Serangan yang dua kali berturut-turut itu membuat Ranggong Daeng Romo menyerang Papa-Takalar dengan kuota 100 orang. Selain di papa, Ranggong Daeng Romo juga menyerang Bonto Cende, Malaka dan Palleko.

Pada 1 Maret 1946 Ranggong daeng Romo kembali memimpin penyerangan di Paririsi yang menewaskan 20 orang. Penyerangan Ranggong Daeng Romo terjadi dan terus terjadi hingga tiba pada suatu ketika dirubahnya nama organisasi GMB menjadi Lipang Bajeng.

Ide perubahan tersebut berasal dari Ranggong Daeng Romo sendiri yang merasa bahwa wadah GMB tidak lagi memadai perjuangan bersenjata karena sebagian tokohnya telah tertawan seperti, H. Madiana Daeng Ngitung, Fachruddin Daeng Romo dan Syamsuddin Daeng Ngerang. Beradasarkan pertimbangan tersebut maka pada tanggal 2 April 1946 dibentuklah kelaskaran Lipang Bajeng yaitu Lambang Kerajaan Anak Bajeng.

Jumlah anggota Lipang Bajeng tercatat 57.329 orang yang tersebar dibeberapa kubu pertahanan seperti Gowa, Jeneponto, Takalar, dan kota Makassar dengan pusat markasnya di Polongbangkeng.

Setelah pembentukannya LasKar Lipang Bajeng, tidak henti-hentinya mendapat tekanan berat dari NICA. Mulai dari Gowa, Saluki, Baba, Bananneng dan Bangkala. Selama bulan Juni tersebut selalu terjadi kontak senjata antar musuh di parambangan dan moncong.

Sumber:
wikipedia
muhishaqramli
diolah dari berbagai sumber
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6782 seconds (0.1#10.140)