Gerilya Udara Si Capung Merah yang Bikin Belanda Tidak Tidur Nyenyak

Minggu, 30 Juli 2017 - 05:01 WIB
Gerilya Udara Si Capung...
Gerilya Udara Si Capung Merah yang Bikin Belanda Tidak Tidur Nyenyak
A A A
Jarum jam tepat menunjukkan pukul 05.00 WIB ketika suara mesin-mesin tua dari tiga pesawat peninggalan Jepang mulai berderam. Roda-roda pesawat berlahan bergerak dan satu per satu pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta, 29 Juli 1947.

Pertama pesawat Mitsubishi Ki-51 Guntei yang diterbangkan kadet penerbang Mulyono didampingi Dulrachman sebagai air gunner lepas landas. Kedua pesawat Yokosuka K5Y (Shinsitei) diterbangkan oleh kadet penerbang Sutardjo Sigit dan Sutardjo sebagai air gunner. Terakhir pesawat sejenis, Yokosuka K5Y atau yang lebih dikenal dengan Cureng (Churen), diterbangkan kadet penerbang Suharnoko Harbani dan Kaput sebagai penembak udara.

Pangkalan Udara Maguwo ketika itu tidak memiliki fasilitas lampu landasan. Ketiga pesawat yang akan lepas landas dibantu dengan lampu sorot besar yang biasanya digunakan untuk mencari pesawat musuh di udara dan lampu dari mobil.

Ketiga pesawat tersebut oleh pimpinan operasional pelaksanaan operasi Komodor Muda Udara (KMU) Halim Perdanakusuma diperintahkan mengebom tangsi-tangsi militer Belanda di Semarang dan Salatiga. Kadet penerbang Mulyono dengan pesawat Guntei yang lebih cepat dan bertenaga diperintahkan menyerang Semarang.

Pesawat pengebom tukik (Dive Bomber) berkecepatan jelajah 265 km/jam dan berkekuatan 850 daya kuda itu dibebani bom 400 kg. Pesawat ini juga dilengkapi dua senapan mesin di sayap dan sebuah dipasang di belakang penerbang.

Pesawat Cureng yang dipiloti Sutardjo Sigit dibekali bom-bom bakar menyerang Salatiga. Pesawat Cureng yang diterbangkan Suharnoko Harbani dan dilengkapi senapan mesin, awalnya ditargetkan menyerang Salatiga. Namun, di tengah perjalanan pesawat Cureng Suharnoko kehilangan jejak pesawat rekannya, akhirnya sasaran dialihkan ke Ambarawa yang juga dikuasai tentara Belanda.

Cureng merupakan nama lokal Indonesia untuk pesawat Yokosuka K5Y (Kuusanshikichuukanrenshuuki) buatan pabrik Nippon Hikoki KK pada 1933. Dalam bahasa Jepang pesawat dikenal dengan sebutan Yokosuka K5Y (Shinsitei). Sedangkan pihak Sekutu menyebutnya dengan “Willow” dan dalam Perang Pasifik pesawat ini dijuluki “Red Dragonfly” atau Si Capung Merah karena berciri khas seluruh badan pesawat berwarna merah.

Cureng merupakan pesawat kecil bermesin tunggal bersayap ganda (atas dan bawah) yang dilapisi kain dengan dua tempat duduk (depan belakang). Menggunakan motor radial dingin angin “Teppo” berkekuatan 350 daya kuda, pesawat ini memiliki kecepatan jelajah 157 km/jam dan kecepatan 92,6 km/jam.

Cureng merupakan pesawat peninggalan Jepang yang paling banyak dan ditemukan hanya di Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta sebanyak 50 unit. Namun, setelah diperiksa dua teknisi dari Pangkalan Udara Andir Bandung, Basir Surya dan Tjarmadi, hanya tiga unit yang masih lengkap walaupun dalam keadaan rusak ringan.

Sedangkan pesawat Mitsubishi Ki-51 Guntei merupakan buatan Mitsubishi pada 1938. Angkatan Darat menyebutnya "Type 99 Assault Plane", sedangkan sekutu member nama julukan "Sonia". Pesawat Guntei pada awalnya ditemukan di Pangkalan Udara Bugis, Malang sebanyak 7 unit peninggalan Jepang saat menguasai wilayah Indonesia. Sebagai pesawat pengebom, Sonia sebenarnya mampu menenteng bom seberat 500 kg dan dilengkapi tiga pucuk senapan mesin kaliber 303.

Namun, saat digunakan untuk melakukan misi pengeboman oleh para kadet penerbangan Angkatan Udara Indonesia, pesawat Guntei dan Cureng yang digunakan tak memiliki lampu dan radio. Untuk komunikasi, ketiga penerbang hanya dibekali dengan lampu senter untuk saling memberi isyarat dengan cara menyorot pesawat agar diketahui oleh rekannya.

Tutup kokpit pesawat dilepas, badan dan sayap sudah dicat warna hijau militer. Modifikasi terletak pada pemasangan mekanisme untuk menjatuhkan bom yang digantungkan di kedua sayap. Setiap sayap dibebani sebuah bom seberat 50 kg.

Hebatnya lagi, kondisi pesawat yang serba darurat tersebut diterbangkan oleh para kadet penerbang (calon penerbang) dari Sekolah Penerbang yang didirikan Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto pada 15 November 1945. Bahkan usia para kadet penerbang itu masih muda, rata-rata 19 tahun, dan minim pengalaman terbang.

Kesulitan teknis karena sarana pelepasan bom yang seadanya, tak jadi penghalang misi pengeboman melalui serangan udara yang pertama kali dilakukan para kadet Angkatan Udara Republik Indonesia ini. Kadet penerbang Sutardjo Sigit pun harus menjatuhkan bom-bom bakar langsung dengan kedua tangan.
Gerilya Udara Si Capung Merah yang Bikin Belanda Tidak Tidur Nyenyak

Pesawat Mitsubishi Ki-51 Guntei.Foto/Ist

Setelah melakukan pengeboman, ketiga pesawat pun kembali ke Pangkalan Udara Maguwo melalui jalur yang sama saat berangkat dengan alasan keamanan. Bahkan untuk menghindari sergapan pesawat pemburu Belanda P-40 Kitty Hawk (Curtiss), ketiga penerbang terbang rendah di atas puncak- puncak pohon. Akhirnya, ketiga pesawat mendarat pukul 06.20 WIB dan langsung disembunyikan dengan ditutupi dahan pohon dan dedaunan.

Benar saja, aksi pembalasan Belanda datang tak lama kemudian. Pukul 07.05 WIB dua pesawat Kitty Hawk meraung-raung di atas Yogyakarta. Kedua pesawat dengan gencar memuntahkan tembakan ke Pangkalan Udara Maguwo, namun tidak ada korban jiwa.

Serangan udara ini merupakan balasan atas agresi militer yang dilakukan Belanda. Serangan pengeboman ini oleh para pelaku disebut sebagai “Gerilya Udara”. Walaupun hasilnya secara fisik tidak menimbulkan kerusakan yang berat di pihak Belanda, tetapi secara politis gaungnya sampai dunia internasional.

Sejak serangan udara oleh Si Capung Merah dan Sonia itu, Belanda seolah tak bisa tidur nyenyak. Belanda memperketat patroli udara dan memerintahkan pemadaman lampu saat malam hari di kota-kota untuk menghindari pengeboman dari udara oleh penerbang-penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia.

Bahkan Belanda yang kalap akibat serangan tersebut melakukan balasan secara membabi-buta. Dua pesawat pengebom P-40 Kitty Hawk menembak pesawat Dakota VT-CLA yang sedang mengemban misi kemanusiaan membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaysia.

Waktu menunjuk pukul 17.00 WIB ketika tembakan dilepas beberapa kali, peluru mengenai pesawat Dakota tersebut. Pesawat jatuh dari hancur menghantam tanggul persawahan, tengkuk pesawat patah nyaris lepas dari badan, meledak lalu terbakar tepat di perbatasan Desa Ngoto dan Wojo kurang lebih 3 km dari kota Yogyakarta.

Kejadian itu mengakibatkan gugurnya para perintis Angkatan Udara Republik Indonesia, yaitu Komodor Muda Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh, Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, dan Opsir Muda Udara Adi Soemarmo Wirjokusumo.

Nama ketiganya diabadikan menjadi nama Pangkalan Udara TNI AU, yaitu Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh menggantikan nama Pangkalan Udara Bugis di Malang; Pangkalan Udara Adisutjipto menggantikan nama Pangkalan Udara Maguwo (Yogyakarta), dan Pangkalan Udara (Bandara) Adi Sumarmo menggantikan nama Pangkalan Udara Panasan (Solo).

Ikut menjadi korban pilot Australia, Alexander Noel Constantine; Copilot mantan Skuadron Leader Inggris Roy Lance Hazelhurst; Bhida Ram Juru Teknik dari India; dan Ny Alexander Noel Constantine. Sedangkan A Gani Handoko Cokro dari GKBI Comal, Tegal, yang duduk di ekor pesawat hanya luka ringan.

Untuk mengenang dan mengabadikan peristiwa gugurnya para tokoh dan perintis Angkatan Udara tersebut, sejak 29 Juli 1955 diperingati sebagai “Hari Berkabung” AURI. Namun, pada 29 Juli 1962 diubah menjadi Hari Bhakti TNI AU yang diperingati seluruh warga TNI AU terpusat di Pangkalan Udara Adisutjipto.

SUMBER:
wikipedia
tni-au.mil.id
jejaktapak.com
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1515 seconds (0.1#10.140)