Soerjopranoto: Bangsawan Pembuat Onar, Raja Aksi Pemogokan
A
A
A
Meskipun lahir dari keluarga bangsawan (Keraton Pakualaman), jejak perjuangan Raden Mas Soerjopranoto (Suryopranoto, red) justru dikenal sebagai pembela wong cilik dan kaum yang tertindas. Lahir di Yogyakarta pada 11 Januari 1871, Soerjopranoto adalah putra sulung Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Surjaningrat.
KPH Surjaningrat merupakan putra tertua dari Pakualam III, namun batal naik takhta karena terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan. Berarti Soerjopranoto adalah anak laki-laki pertama seorang putra mahkota, cucu Pakualam III.
Nama Soerjopranoto boleh jadi tidak setenar sang adik, Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang dikenal sebagai Pendiri Taman Siswa dan slogan Tut Wuri Handayani. Apalagi tanggal lahir Ki Hajar Dewantara pada 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Namun, Soerjopranoto yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang ke-3 oleh Presiden Soekarno pada 30 November 1959, punya kiprah yang melegenda dalam sejarah perjuangan Indonesia. Dia dikenal sebagai pemimpin aksi mogok kaum pekerja (buruh) pabrik-pabrik gula pertama pada 20 Agustus 1920. Pemogokan itu kemudian meluas dan hebat sehingga harian De Express menjuluki Soerjopranoto sebagai "De stakings Koning" (Raja Pemogokan).
Ini bukan kebetulan, pada 1917 Soerjopranoto sudah mendirikan Serikat Buruh yang pertama di Indonesia, Personeel Fabrieks Bond (PFB) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari sini bisa dipahami perjuangan yang dipilih Soerjopranoto melawan penjajah kolonial Belanda, berbeda dengan pilihan sang adik.
Dalam Kongres Sarekat Islam (SI) di Surabaya pada 1919, Soerjopranoto pernah mengemukakan bahwa perjuangan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata. Hal itu bisa dicapai dengan aksi moral, lewat protes-protes dan jika perlu dengan pemogokan, yang semuanya harus dilakukan secara serentak.
Pada akhir 1919, PFB menjadi serikat buruh paling besar dan militan di Jawa, dengan 90 cabang dan 10.000 anggota. Nama Surjopranoto makin berkibar dan berbagai pemogokan yang dipimpin oleh PFB mencapai kemenangan. Pada saat bersamaan, PFB juga menerbitkan sebuah koran propaganda bernama “Boeroeh Bergerak”.
Soerjopranoto makin radikal dan pidatonya di Kongres Sarekat Islam pada 1919, dia berani secara terbuka membandingkan ketimpangan gaji pegawai Belanda di pabrik gula dan kuli penggali tanah.
Dia menjelaskan, seorang pegawai Belanda dalam pabrik gula, hanya duduk ongkang-ongkang mendapat persenan tahunan 500.000 rupiah. Sedangkan seorang penggali tanah, yang menggali lubang sedalam 24 kaki, hanya mendapat upah 1,5 sen.
Jalan perjuangan yang dipilih Soerjopranoto tak lepas dari cara pendidikan yang diberikan ayahnya. Meskipun secara gen memiliki trah bangsawan, Soerjopranoto yang waktu kecil bernama Raden Mas Iskandar, dibebaskan untuk bergaul dengan siapa pun, termasuk rakyat jelata di sekeliling pura Pakualaman. Dia belajar mengaji bersama anak-anak abdi dalem, bahkan bermain dan tidur bersama mereka di langgar (musala).
Iskandar dan adiknya pun dititipkan pada pamannya yang tinggal di desa. Pengalaman inilah yang membentuk karakter Iskandar dan adiknya: bergaul dan sangat dekat dengan rakyat. Konon, Suryopranoto menggergaji gelar “Raden Mas” dari papan namanya, agar lebih dekat dengan rakyat.
Sejak kecil, Soerjopranoto sudah berjiwa pemberontak dan sering membantah gurunya di sekolah formal di HIS Keputran. Tapi, pemberontakannya mengarah pada tatanan feodal dan peraturan yang berat sebelah. Bahkan Soerjopranoto yang sejak kecil dikenal sebagai sosok yang temperamental, tetapi jujur dan lurus dalam bersikap, tak jarang berkelahi dengan anak-anak Belanda.
Lulus HIS, Soerjopranoto melanjutkan pendidikan ke Klein Ambtenaar Cursus, sebuah kursus untuk amtenar atau pegawai negeri zaman kolonial Belanda. Saat berusia 14 tahun, dia makin menampakkan reputasinya sebagai seorang pembuat onar (lastig). Dia sering menghajar sinyo-sinyo Belanda yang suka meremehkan orang pribumi.
Dia tak segan menentang aturan-aturan dan aparat yang dinilainya berat sebelah dalam berbagai aksi. Statusnya sebagai seorang bangsawan tinggi membuat omongan dan aksinya lebih disegani. Reputasinya sebagai pembuat onar, membuat Asisten Residen setempat gerah dan setelah Soerjopranoto lulus sebagai amtenar, “dipaksa” menerima Surat Ketetapan yang menugaskannya di Tuban, Jawa Timur.
Di Jawa Timur, Soerjopranoto dia berkenalan dengan Raden Mas Oemar Said, yang aktif di perjuangan hak-hak pedagang kecil pribumi. Oemar Said kelak dikenal sebagai Haji Oemar Said Tjokroaminoto, merupakan Pendiri Sarekat Islam (SI).
Baru bertugas selama 6 bulan di Tuban, Soerjopranoto membuat ulah lagi. Tinjunya kembali mengenai orang Belanda. Kali ini yang dibuat terkapar adalah seorang kontrolir yang menghina seorang pegawai bangsa pribumi. Alhasil, dia pun dipecat dan dikembalikan ke Yogyakarta.
Sekembalinya di Pakualaman, ayah dan pamannya, Paku Alam IV, memuji tindakan Soerjopranoto sebagai seorang ksatria. Oleh Paku Alam IV, dia pun segera dipekerjakan kembali sebagai sekretaris dan salah seorang wedana dalam pemerintahan praja Pakualaman. Dalam pekerjaannya kali ini, dia merasa makin dekat dengan semua unsur masyarakat Pakualaman, dari mulai kalangan priyayi hingga warga termiskin.
Untuk meredam sikap Soerjopranoto, Pemerintah Belanda menyekolahkan di Middlebare Landbouwschool di Bogor (sekolah tani, bakal dari Institut Pertanian Bogor). Setelah lulus pada 1907, Soerjopranoto kembali mengalami “pembuangan” dan diberikan jabatan Kepala Dinas Pertanian (Landbouwconsulent) untuk wilayah Wonosobo, Dieng, dan Batur.
Perkembangan Sarekat Islam menarik Soerjopranoto dan kaum kelas menengah lain untuk bergabung. Namun ternyata akibatnya fatal, seorang Asisten Wedana Temanggung dipecat secara sepihak oleh pemerintah kolonial karena diketahui bergabung dengan Sarekat Islam. Soerjopranoto tidak terima dan melabrak Asisten Residen Banyumas langsung di kantornya.
Mereka berdebat seru, diakhiri dengan Soerjopranoto merobek surat keputusan penugasan dan ijazah sekolahnya, sembari bersumpah tidak akan lagi bekerja untuk pemerintah kolonial. Mengetahui kakaknya menganggur, Soewardi meminta Soerjopranoto mengajar di Taman Siswa sebagai guru tani. Sambil mengajar, Soerjopranoto aktif di beberapa organisasi dan membentuk Serikat Buruh.
Selama perjuangannya dia pun pernah masuk penjara sampai tiga kali karena spreek-delict dan tak terhitung lagi pembredelan serta pembeslahan atas hasil tulisan-tulisannya. Dia pernah dipenjara di Malang selama 3 bulan pada 1923, kedua di Semarang selama 6 bulan pada 1926, dan ketiga kalinya di Bandung (Sukamiskin) selama 16 bulan pada 1933.
Pemerintah Belanda kewalahan menghadapi Soerjopranoto yang telah 3 kali dipenjara belum juga berkurang perlawanannya. Akhirnya mereka mencoba menawarkan kedudukan yang tinggi sebagai anggota Volksraad melalui surat dari Meneer Resink, namun ditolak. Padahal kondisi keluarga Soerjopranoto, untuk kalangan bangsawan saat itu, amat sederhana.
Soerjopranoto malah tertawa terbahak-bahak dan langsung membalas surat Meneer Resink: “Tuan Resink Yang Terhormat. Perjuangan kudasarkan terlebih dahulu pada perkelahian. Politik yang masih simpang siur, sementara diselesaikan dengan perkelahian (perlawanan) di jalan-jalan.”
KH Agus Salim, rekan Soerjopranoto di Sarekat Islam dan salah satu pemimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang berpusat di Yogyakarta mengatakan, “Dia (Soerjopranoto) cepat naik pitam karena kemurnian pikirannya.”
Sumber:
Berdikari online
Wikipedia
Konfrontasi
gerakanaksara
KPH Surjaningrat merupakan putra tertua dari Pakualam III, namun batal naik takhta karena terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan. Berarti Soerjopranoto adalah anak laki-laki pertama seorang putra mahkota, cucu Pakualam III.
Nama Soerjopranoto boleh jadi tidak setenar sang adik, Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang dikenal sebagai Pendiri Taman Siswa dan slogan Tut Wuri Handayani. Apalagi tanggal lahir Ki Hajar Dewantara pada 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Namun, Soerjopranoto yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang ke-3 oleh Presiden Soekarno pada 30 November 1959, punya kiprah yang melegenda dalam sejarah perjuangan Indonesia. Dia dikenal sebagai pemimpin aksi mogok kaum pekerja (buruh) pabrik-pabrik gula pertama pada 20 Agustus 1920. Pemogokan itu kemudian meluas dan hebat sehingga harian De Express menjuluki Soerjopranoto sebagai "De stakings Koning" (Raja Pemogokan).
Ini bukan kebetulan, pada 1917 Soerjopranoto sudah mendirikan Serikat Buruh yang pertama di Indonesia, Personeel Fabrieks Bond (PFB) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari sini bisa dipahami perjuangan yang dipilih Soerjopranoto melawan penjajah kolonial Belanda, berbeda dengan pilihan sang adik.
Dalam Kongres Sarekat Islam (SI) di Surabaya pada 1919, Soerjopranoto pernah mengemukakan bahwa perjuangan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata. Hal itu bisa dicapai dengan aksi moral, lewat protes-protes dan jika perlu dengan pemogokan, yang semuanya harus dilakukan secara serentak.
Pada akhir 1919, PFB menjadi serikat buruh paling besar dan militan di Jawa, dengan 90 cabang dan 10.000 anggota. Nama Surjopranoto makin berkibar dan berbagai pemogokan yang dipimpin oleh PFB mencapai kemenangan. Pada saat bersamaan, PFB juga menerbitkan sebuah koran propaganda bernama “Boeroeh Bergerak”.
Soerjopranoto makin radikal dan pidatonya di Kongres Sarekat Islam pada 1919, dia berani secara terbuka membandingkan ketimpangan gaji pegawai Belanda di pabrik gula dan kuli penggali tanah.
Dia menjelaskan, seorang pegawai Belanda dalam pabrik gula, hanya duduk ongkang-ongkang mendapat persenan tahunan 500.000 rupiah. Sedangkan seorang penggali tanah, yang menggali lubang sedalam 24 kaki, hanya mendapat upah 1,5 sen.
Jalan perjuangan yang dipilih Soerjopranoto tak lepas dari cara pendidikan yang diberikan ayahnya. Meskipun secara gen memiliki trah bangsawan, Soerjopranoto yang waktu kecil bernama Raden Mas Iskandar, dibebaskan untuk bergaul dengan siapa pun, termasuk rakyat jelata di sekeliling pura Pakualaman. Dia belajar mengaji bersama anak-anak abdi dalem, bahkan bermain dan tidur bersama mereka di langgar (musala).
Iskandar dan adiknya pun dititipkan pada pamannya yang tinggal di desa. Pengalaman inilah yang membentuk karakter Iskandar dan adiknya: bergaul dan sangat dekat dengan rakyat. Konon, Suryopranoto menggergaji gelar “Raden Mas” dari papan namanya, agar lebih dekat dengan rakyat.
Sejak kecil, Soerjopranoto sudah berjiwa pemberontak dan sering membantah gurunya di sekolah formal di HIS Keputran. Tapi, pemberontakannya mengarah pada tatanan feodal dan peraturan yang berat sebelah. Bahkan Soerjopranoto yang sejak kecil dikenal sebagai sosok yang temperamental, tetapi jujur dan lurus dalam bersikap, tak jarang berkelahi dengan anak-anak Belanda.
Lulus HIS, Soerjopranoto melanjutkan pendidikan ke Klein Ambtenaar Cursus, sebuah kursus untuk amtenar atau pegawai negeri zaman kolonial Belanda. Saat berusia 14 tahun, dia makin menampakkan reputasinya sebagai seorang pembuat onar (lastig). Dia sering menghajar sinyo-sinyo Belanda yang suka meremehkan orang pribumi.
Dia tak segan menentang aturan-aturan dan aparat yang dinilainya berat sebelah dalam berbagai aksi. Statusnya sebagai seorang bangsawan tinggi membuat omongan dan aksinya lebih disegani. Reputasinya sebagai pembuat onar, membuat Asisten Residen setempat gerah dan setelah Soerjopranoto lulus sebagai amtenar, “dipaksa” menerima Surat Ketetapan yang menugaskannya di Tuban, Jawa Timur.
Di Jawa Timur, Soerjopranoto dia berkenalan dengan Raden Mas Oemar Said, yang aktif di perjuangan hak-hak pedagang kecil pribumi. Oemar Said kelak dikenal sebagai Haji Oemar Said Tjokroaminoto, merupakan Pendiri Sarekat Islam (SI).
Baru bertugas selama 6 bulan di Tuban, Soerjopranoto membuat ulah lagi. Tinjunya kembali mengenai orang Belanda. Kali ini yang dibuat terkapar adalah seorang kontrolir yang menghina seorang pegawai bangsa pribumi. Alhasil, dia pun dipecat dan dikembalikan ke Yogyakarta.
Sekembalinya di Pakualaman, ayah dan pamannya, Paku Alam IV, memuji tindakan Soerjopranoto sebagai seorang ksatria. Oleh Paku Alam IV, dia pun segera dipekerjakan kembali sebagai sekretaris dan salah seorang wedana dalam pemerintahan praja Pakualaman. Dalam pekerjaannya kali ini, dia merasa makin dekat dengan semua unsur masyarakat Pakualaman, dari mulai kalangan priyayi hingga warga termiskin.
Untuk meredam sikap Soerjopranoto, Pemerintah Belanda menyekolahkan di Middlebare Landbouwschool di Bogor (sekolah tani, bakal dari Institut Pertanian Bogor). Setelah lulus pada 1907, Soerjopranoto kembali mengalami “pembuangan” dan diberikan jabatan Kepala Dinas Pertanian (Landbouwconsulent) untuk wilayah Wonosobo, Dieng, dan Batur.
Perkembangan Sarekat Islam menarik Soerjopranoto dan kaum kelas menengah lain untuk bergabung. Namun ternyata akibatnya fatal, seorang Asisten Wedana Temanggung dipecat secara sepihak oleh pemerintah kolonial karena diketahui bergabung dengan Sarekat Islam. Soerjopranoto tidak terima dan melabrak Asisten Residen Banyumas langsung di kantornya.
Mereka berdebat seru, diakhiri dengan Soerjopranoto merobek surat keputusan penugasan dan ijazah sekolahnya, sembari bersumpah tidak akan lagi bekerja untuk pemerintah kolonial. Mengetahui kakaknya menganggur, Soewardi meminta Soerjopranoto mengajar di Taman Siswa sebagai guru tani. Sambil mengajar, Soerjopranoto aktif di beberapa organisasi dan membentuk Serikat Buruh.
Selama perjuangannya dia pun pernah masuk penjara sampai tiga kali karena spreek-delict dan tak terhitung lagi pembredelan serta pembeslahan atas hasil tulisan-tulisannya. Dia pernah dipenjara di Malang selama 3 bulan pada 1923, kedua di Semarang selama 6 bulan pada 1926, dan ketiga kalinya di Bandung (Sukamiskin) selama 16 bulan pada 1933.
Pemerintah Belanda kewalahan menghadapi Soerjopranoto yang telah 3 kali dipenjara belum juga berkurang perlawanannya. Akhirnya mereka mencoba menawarkan kedudukan yang tinggi sebagai anggota Volksraad melalui surat dari Meneer Resink, namun ditolak. Padahal kondisi keluarga Soerjopranoto, untuk kalangan bangsawan saat itu, amat sederhana.
Soerjopranoto malah tertawa terbahak-bahak dan langsung membalas surat Meneer Resink: “Tuan Resink Yang Terhormat. Perjuangan kudasarkan terlebih dahulu pada perkelahian. Politik yang masih simpang siur, sementara diselesaikan dengan perkelahian (perlawanan) di jalan-jalan.”
KH Agus Salim, rekan Soerjopranoto di Sarekat Islam dan salah satu pemimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) yang berpusat di Yogyakarta mengatakan, “Dia (Soerjopranoto) cepat naik pitam karena kemurnian pikirannya.”
Sumber:
Berdikari online
Wikipedia
Konfrontasi
gerakanaksara
(wib)