Kisah Karomah Kiai Ahmad Siroj
A
A
A
Nama Kiai Ahmad Siroj, bagi masyarakat Solo dan sekitarnya dikenal sebagai ulama yang arif, saleh, dan mempunyai kharisma. Setiap ucapannya, konon memiliki sejumlah makna bagi pendengarnya. Kiai Ahmad Siroj bagi sebagian kalangan dikenal juga dengan sebutan Mbah Siroj.
Karena sang kiai ini kerap berpakaian khas dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung wulung dan memakai ‘gamparan’ tinggi walau sedang bepergian jauh.
Kiai Ahmad Siroj merupakan putra Kiai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kiai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang.
Menurut sumber yang ada, Kiai Imam Pura ini masih memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman Raden Patah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.
Kiai Ahmad Siroj mempunyai beberapa saudara, di antaranya adalah Kiai Kholil yang bermukim di Kauman, Solo, dan Kiai Djuwaidi yang tinggal di Tengaran, Kabupaten Semarang.
Ahmad Siroj memiliki beberapa karomah diantaranya, mempunyai kemampuan melihat yang tidak diketahui oleh mata biasa.
Peristiwa ini terjadi saat tentara Belanda akan masuk Kota Solo ketika aksi kolonial kedua atau dikenal sebagai clash ke-2 pada 1948. Satu seksi laskar Hizbullah yang terdiri dari 50 orang, berkumpul di Begalon, Panularan. Kyai Ahmad Siroj tiba-tiba datang mengadakan inspeksi.
Seorang anggota laskar Hizbullah bernama Hayyun (25), tiba-tiba didekatinya lalu dipeluknya seraya berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”.
Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan.
Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.
Menurut salah seorang saksi mata, H Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa” di bawah komandan Letnan Fathul Rujito yang kini tinggal di Yogyakarta, menuturkan bahwa tahulah kemudian Laskar Hizbullah, teman-teman Hayyun, mengapa beberapa saat sebelumnya Mbah Siroj memeluknya sambil berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”. Begitulah, Hayyun gugur sebagai syuhada, patriot bangsa.
Salah satu karomahnya yaitu, walaupun secara lahiriah, Kiai Ahmad Siroj belum pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tetapi banyak orang yang ke tanah suci Mekkah bertemu dengannya di sana.
KH Bulqin Zuhdi, salah seorang murid pertama Kiai Ahmad Siroj yang bermukim di Nglangak, Gemolong, Sragen menceritakan bahwa pada 1937 dirinya menunaikan ibadah haji. Berangkat dengan naik kapal laut bersama 1.960 orang jamaah haji lainnya.
Sehabis makan siang, Kiai Bulqin berkata dalam hati, bila sampai di Mekkah pada hari Jumat waktu subuh, akan dicarinya Mbah Siroj. Sebab, sering didengarnya dia sering salat subuh di Mekkah pada hari Jumat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba datanglah Kiai Ahmad Siroj menemuinya di kapal. Ditanyakan antara lain, siapakah syekhnya di tanah suci nanti.
Namun setelah berbincang sejenak, Kiai Ahmad Siroj tidak dilihatnya lagi. Sudah barang tentu, muridnya tersebut merasa keheranan.
Ketika sudah sampai di Mekkah, Kiai Bulqin hendak menjalankan ibadah salat subuh. Kiai Bulqin berpikir lagi tentang kemungkinan-kemungkinan gurunya juga menunaikan salat subuh di Mekkah. Mungkinkah Kiai Ahmad Siroj juga datang seperti kisah yang pernah didengarnya.
Sewaktu berada di dekat Hajar Aswad, tiba-tiba tampak olehnya Mbah Siroj sedang melakukan tawaf, mengelilingi Ka’bah dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ tanpa gamparan.
Diikutinya putaran demi putaran. Pada putaran ke tujuh, Kiai Bulqin hendak menyalami Kiai Siroj namun pada putaran terakhir Kiai Siroj sudah tidak tampak lagi.
Meski menyesal tidak dapat bersalaman dengan Mbah Siroj. Kini yakinlah Kiai Bulqin bahwa gurunya memiliki karomah hingga dapat pergi ke Mekkah dengan sekejap.
Selain itu karomah Kiai Siroj adalah mampu berjalan cepat. Hal ini dibuktikan Kiai Shoimuri, putra Kiai Ahmad Siroj saat selesai mengadakan akad nikah dengan Nyai Latifah di daerah Boyolali. Saat itu rombongan Kiai Ahmad Siroj segera berkehendak pulang ke Solo bersama 33 santrinya.
Kiai Bulqin, salah seorang murid santrinya, disuruh mengantarkan pulang rombongan Nyai Siroj dengan naik kereta api. Dia disuruh berangkat lebih dahulu, sedangkan Kiai Ahmad Siroj akan menyusul dengan jalan kaki.
Anehnya, setiba di Solo, rombongan Kiai Bulqin baru sampai Ngapeman, Kiai Siroj sudah berada di sampai di rumahnya yang berada di Panularan, Laweyan, Solo. Bagaimana itu dapat terjadi, pikir para rombongan yang berangkat lebih dahulu tersebut.
Karomah lainnya terjadi ketika Kiai Ahmad Siroj bepergian bersama 24 santrinya ke Susukan, Kabupaten Semarang dari Solo.
Tuan rumah yang dikunjungi termasuk orang tidak mampu (miskin). Untuk memuliakan tamu, dimasakkannya oleh Abdus-Syakur, tuan rumah, satu kendil nasi.
Karena nasi terbatas, Kiai Ahmad Siroj sendirilah yang dipersilahkan makan dalam kamar. Kiai Ahmad Siroj tidak bersedia. Nasi diminta dihidangkan ruang depan di mana beliau dan santrinya sedang duduk bersila.
Nasi satu kendil itu dibagi-bagikan kepada semua tamu. Anehnya, setiap orang mendapatkan satu piring penuh, cukup untuk makan kenyang.
Sejak kecil memang Ahmad Siroj telah kelihatan menonjol bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Dia bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras maupun status sosial dan kelompok moral macam apapun.
Sewaktu masih muda, Kiai Ahmad Siroj berguru kepada beberapa ulama besar. Di Pesantren Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, dia menimba ilmu kepada Kiai Bahri. Di Pesantren Tremas yang berlokasi di Pacitan, Jawa Timur, beliau berguru kepada KH Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, beliau berguru kepada Kiai Sholeh Darat.
Semasa hidup, dia mendirikan Pesantren di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah seluas 200 m². Kitab yang diajarkan oleh beliau, selain Alqur’an dan Hadits adalah Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib.
Semasa kecil, Ahmad Siroj, tinggal serumah dengan Kiai Abdus-Syakur, kakak iparnya. Suatu malam, Kiai Abdus-Syakur dan Ahmad Siroj pergi ke masjid untuk melaksanakan salat. Kemudian Abdus Syakur mengerjai Ahmad Siroj dengan menutup pintu masjid dan dikunci dari luar.
Sepulang salat isya’, Kiai Abdus-Syakur merasa heran. Sesampai di halaman rumahnya, dari dalam rumah sudah terdengar suara anak sedang tadarrus dengan suara yang nyaring. Anak yang sedang tadarrus itu adalah Ahmad Siroj.
Lalu ditanya “Kau lewat mana, nak?” Dijawab oleh Ahmad Siroj “Inggih lewat mriku mawon.”(Ya melalui situ juga). Sejak itu, Kiai Abdus-Syakur tak pernah lagi mengerjai Ahmad Siroj.
Kali yang lain, Kiai Abdus-Syakur pergi ke Desa Petak untuk mendatangi acara syukuran perkawinan. Ahmad Siroj yang masih bocah di kala itu disuruh tinggal di rumah.
Alangkah terkejutnya, sesampai di tempat upacara perkawinan, ternyata Ahmad Siroj telah berada di situ.
Seusai upacara perkawinan, Kiai Abdus-Syakur pun pulang lebih dahulu. Tidak kurang herannya, sesampai di rumah, Ahmad Siroj telah berada di dalam rumah. Lalu, hal itu ditanyakan kepada Ahmad Siroj, dan dijawab “Kang, jarene aku kon tunggu omah.” (Kak, katanya saya disuruh nunggu rumah).
Karomah lainnya ketika Kiai Siroj bersama dua santrinya, bepergian ke Desa Penggung. Ketika pulang, di tengah jalan turunlah hujan lebat. Terpaksalah berhenti, mampir ke Desa Grabagan.
Kedua santri yang mengikuti Kiai Siroj basah kuyup bajunya, tetapi sang Kiai tidak apa-apa, tetap kering bajunya.
Suatu hari, Kiai Siroj bersama seorang santri pergi menuju ke Desa Magu. Untuk keperluan salat dhuha, berhentilah sebentar di Desa Rejasa. Seusai mengucapkan salam, santripun disuruhnya berangkat terlebih dahulu. Kiai Ahmad Siroj akan menyusulnya kemudian.
Dalam perjalanannya, santri tersebut terhenti di tengah jalan karena harus menyeberangi sungai yang airnya sedang besar-besarnya. Tak disangka, Kiai Ahmad Siroj dilihatnya telah berada di seberang sungai.
Dengan berteriak, santri pun bertanya “Gus, sampeyan niku wau medal pundi?” (Gus, Anda tadi lewat mana?) Jawab Kiai Ahmad Siroj “Ah, ya metu kono kuwi ta, lha metu ngendi maneh!” (Ah, ya melalui situ juga, lha lewat mana lagi kalau bukan di situ!)
Karena santri tersebut disuruh menyeberang tidak berani, Kiai Ahmad Siroj perintahkan padanya agar pulang saja.
Pada suatu ketika, Kiai Ahmad Siroj sedang berkunjung ke rumah Muhyi di Cepogo. Bak air (pengaron) yang berada di rumahnya, diminta oleh Kiai Ahmad Siroj untuk dibersihkan agar supaya bisa diisi dengan air.
Setelah pengaron bersih, Muhyi lalu pergi ke sumur untuk mengambil air guna diisikan pada pengaron tadi. Namun, alangkah terkejutnya ketika Muhyi hendak menuangkan air ke dalam pengaron tersebut, ternyata pengaron kosong tadi telah penuh berisi air.
Salah satu karomah sang kiai yaitu ketika sakit yang selanjutnya meninggal dunia pada Senin Pahing, 27 Muharram 138 H atau 10 Juni 1961, Kiai Zaenal Makarim (Karang Gede) bermimpi bertemu Kiai Ahmad Siroj.
“Mengapa saya sakit tak kau jenguk?” Tanya Kiai Ahmad Siroj kepada Kiai Zaenal Makarim dalam mimpi.
Terperanjatlah Kiai Zaenal Makarim, lalu seketika dia berangkat ke Solo untuk menjenguk Kiai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo.
Kejadian serupa juga dialami oleh Sayyid Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, sekitar pukul 05.00 WIB mimpi didatangi Kiai Ahmad Siroj, dan membangunkannya seraya berucap “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudahlah Bib, saya duluan, Anda menyusul).
Alangkah terkejutnya Sang Habib. Ketika Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di mana rumah Kiai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kiai Ahmad Siroj telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.
“Anehnya, pukul 04.00 pagi Kiai Ahmad Siroj meninggal, pukul 05.00 laksana berkunjung ke Kepatihan” kata Sayyid Abdullah, dalam hati tidak kurang herannya. Doa pun segera dipanjatkan bagi almarhum Kiai Ahmad Siroj.
Kiai Ahmad Siroj dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.
Semasa hidup, Kiai Ahmad Siroj tidak pernah mengaku sebagai seorang waliyullah secara pribadi. Namun, banyak orang mengakui kewalian almarhum beserta karomahnya.
Sumber:
- kekunaan.blogspot
- Hakim Adnan, 1989, Mengenang Jejak Kiai Ahmad Siroj/Sala Masyhur: Waliyullah, Berkaromah Banyak (1878-1981/83 Tahun)
Karena sang kiai ini kerap berpakaian khas dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung wulung dan memakai ‘gamparan’ tinggi walau sedang bepergian jauh.
Kiai Ahmad Siroj merupakan putra Kiai Umar atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Pura, salah seorang Waliyullah. Makam Kiai Imam Pura berada di Susukan, Kabupaten Semarang.
Menurut sumber yang ada, Kiai Imam Pura ini masih memiliki garis keturunan dengan Sunan Hasan Munadi, salah seorang paman Raden Patah yang ditugaskan mengislamkan daerah lereng Gunung Merbabu sebelah utara, atau sekarang dikenal sebagai Desa Nyatnyono.
Kiai Ahmad Siroj mempunyai beberapa saudara, di antaranya adalah Kiai Kholil yang bermukim di Kauman, Solo, dan Kiai Djuwaidi yang tinggal di Tengaran, Kabupaten Semarang.
Ahmad Siroj memiliki beberapa karomah diantaranya, mempunyai kemampuan melihat yang tidak diketahui oleh mata biasa.
Peristiwa ini terjadi saat tentara Belanda akan masuk Kota Solo ketika aksi kolonial kedua atau dikenal sebagai clash ke-2 pada 1948. Satu seksi laskar Hizbullah yang terdiri dari 50 orang, berkumpul di Begalon, Panularan. Kyai Ahmad Siroj tiba-tiba datang mengadakan inspeksi.
Seorang anggota laskar Hizbullah bernama Hayyun (25), tiba-tiba didekatinya lalu dipeluknya seraya berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”.
Tak lama kemudian, datang tentara Belanda dengan sejumlah pasukan tank, lewat Pasar Kembang ke arah selatan.
Hayyun maju dengan beraninya sendirian sambil membawa granat nanas, lalu dicabutnya dan melompat sambil melempar granat ke arah tank. Ketika tank meledak, terbakarlah tentara Belanda yang berada di dalam tank juga termasuk Hayyun, si pelempar granat tersebut.
Menurut salah seorang saksi mata, H Abdullah Adnan, veteran pejuang RI eks Laskar Hizbullah dan pasukan “Lawa-Lawa” di bawah komandan Letnan Fathul Rujito yang kini tinggal di Yogyakarta, menuturkan bahwa tahulah kemudian Laskar Hizbullah, teman-teman Hayyun, mengapa beberapa saat sebelumnya Mbah Siroj memeluknya sambil berucap “ahlul jannah … ahlul jannah”. Begitulah, Hayyun gugur sebagai syuhada, patriot bangsa.
Salah satu karomahnya yaitu, walaupun secara lahiriah, Kiai Ahmad Siroj belum pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Tetapi banyak orang yang ke tanah suci Mekkah bertemu dengannya di sana.
KH Bulqin Zuhdi, salah seorang murid pertama Kiai Ahmad Siroj yang bermukim di Nglangak, Gemolong, Sragen menceritakan bahwa pada 1937 dirinya menunaikan ibadah haji. Berangkat dengan naik kapal laut bersama 1.960 orang jamaah haji lainnya.
Sehabis makan siang, Kiai Bulqin berkata dalam hati, bila sampai di Mekkah pada hari Jumat waktu subuh, akan dicarinya Mbah Siroj. Sebab, sering didengarnya dia sering salat subuh di Mekkah pada hari Jumat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba datanglah Kiai Ahmad Siroj menemuinya di kapal. Ditanyakan antara lain, siapakah syekhnya di tanah suci nanti.
Namun setelah berbincang sejenak, Kiai Ahmad Siroj tidak dilihatnya lagi. Sudah barang tentu, muridnya tersebut merasa keheranan.
Ketika sudah sampai di Mekkah, Kiai Bulqin hendak menjalankan ibadah salat subuh. Kiai Bulqin berpikir lagi tentang kemungkinan-kemungkinan gurunya juga menunaikan salat subuh di Mekkah. Mungkinkah Kiai Ahmad Siroj juga datang seperti kisah yang pernah didengarnya.
Sewaktu berada di dekat Hajar Aswad, tiba-tiba tampak olehnya Mbah Siroj sedang melakukan tawaf, mengelilingi Ka’bah dengan memakai iket (blangkon), berbaju putih, bersarung ‘wulung’ tanpa gamparan.
Diikutinya putaran demi putaran. Pada putaran ke tujuh, Kiai Bulqin hendak menyalami Kiai Siroj namun pada putaran terakhir Kiai Siroj sudah tidak tampak lagi.
Meski menyesal tidak dapat bersalaman dengan Mbah Siroj. Kini yakinlah Kiai Bulqin bahwa gurunya memiliki karomah hingga dapat pergi ke Mekkah dengan sekejap.
Selain itu karomah Kiai Siroj adalah mampu berjalan cepat. Hal ini dibuktikan Kiai Shoimuri, putra Kiai Ahmad Siroj saat selesai mengadakan akad nikah dengan Nyai Latifah di daerah Boyolali. Saat itu rombongan Kiai Ahmad Siroj segera berkehendak pulang ke Solo bersama 33 santrinya.
Kiai Bulqin, salah seorang murid santrinya, disuruh mengantarkan pulang rombongan Nyai Siroj dengan naik kereta api. Dia disuruh berangkat lebih dahulu, sedangkan Kiai Ahmad Siroj akan menyusul dengan jalan kaki.
Anehnya, setiba di Solo, rombongan Kiai Bulqin baru sampai Ngapeman, Kiai Siroj sudah berada di sampai di rumahnya yang berada di Panularan, Laweyan, Solo. Bagaimana itu dapat terjadi, pikir para rombongan yang berangkat lebih dahulu tersebut.
Karomah lainnya terjadi ketika Kiai Ahmad Siroj bepergian bersama 24 santrinya ke Susukan, Kabupaten Semarang dari Solo.
Tuan rumah yang dikunjungi termasuk orang tidak mampu (miskin). Untuk memuliakan tamu, dimasakkannya oleh Abdus-Syakur, tuan rumah, satu kendil nasi.
Karena nasi terbatas, Kiai Ahmad Siroj sendirilah yang dipersilahkan makan dalam kamar. Kiai Ahmad Siroj tidak bersedia. Nasi diminta dihidangkan ruang depan di mana beliau dan santrinya sedang duduk bersila.
Nasi satu kendil itu dibagi-bagikan kepada semua tamu. Anehnya, setiap orang mendapatkan satu piring penuh, cukup untuk makan kenyang.
Sejak kecil memang Ahmad Siroj telah kelihatan menonjol bila dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Dia bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras maupun status sosial dan kelompok moral macam apapun.
Sewaktu masih muda, Kiai Ahmad Siroj berguru kepada beberapa ulama besar. Di Pesantren Mangunsari yang berada di Nganjuk, Jawa Timur, dia menimba ilmu kepada Kiai Bahri. Di Pesantren Tremas yang berlokasi di Pacitan, Jawa Timur, beliau berguru kepada KH Dimyati At-Tirmizi, dan di Semarang, beliau berguru kepada Kiai Sholeh Darat.
Semasa hidup, dia mendirikan Pesantren di Jalan Honggowongso 57 Kelurahan Panularan, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah di atas tanah seluas 200 m². Kitab yang diajarkan oleh beliau, selain Alqur’an dan Hadits adalah Sullamut Taufiq, Safinatun-Najah, Duratul-bahiyyah dan Fathul Qorib.
Semasa kecil, Ahmad Siroj, tinggal serumah dengan Kiai Abdus-Syakur, kakak iparnya. Suatu malam, Kiai Abdus-Syakur dan Ahmad Siroj pergi ke masjid untuk melaksanakan salat. Kemudian Abdus Syakur mengerjai Ahmad Siroj dengan menutup pintu masjid dan dikunci dari luar.
Sepulang salat isya’, Kiai Abdus-Syakur merasa heran. Sesampai di halaman rumahnya, dari dalam rumah sudah terdengar suara anak sedang tadarrus dengan suara yang nyaring. Anak yang sedang tadarrus itu adalah Ahmad Siroj.
Lalu ditanya “Kau lewat mana, nak?” Dijawab oleh Ahmad Siroj “Inggih lewat mriku mawon.”(Ya melalui situ juga). Sejak itu, Kiai Abdus-Syakur tak pernah lagi mengerjai Ahmad Siroj.
Kali yang lain, Kiai Abdus-Syakur pergi ke Desa Petak untuk mendatangi acara syukuran perkawinan. Ahmad Siroj yang masih bocah di kala itu disuruh tinggal di rumah.
Alangkah terkejutnya, sesampai di tempat upacara perkawinan, ternyata Ahmad Siroj telah berada di situ.
Seusai upacara perkawinan, Kiai Abdus-Syakur pun pulang lebih dahulu. Tidak kurang herannya, sesampai di rumah, Ahmad Siroj telah berada di dalam rumah. Lalu, hal itu ditanyakan kepada Ahmad Siroj, dan dijawab “Kang, jarene aku kon tunggu omah.” (Kak, katanya saya disuruh nunggu rumah).
Karomah lainnya ketika Kiai Siroj bersama dua santrinya, bepergian ke Desa Penggung. Ketika pulang, di tengah jalan turunlah hujan lebat. Terpaksalah berhenti, mampir ke Desa Grabagan.
Kedua santri yang mengikuti Kiai Siroj basah kuyup bajunya, tetapi sang Kiai tidak apa-apa, tetap kering bajunya.
Suatu hari, Kiai Siroj bersama seorang santri pergi menuju ke Desa Magu. Untuk keperluan salat dhuha, berhentilah sebentar di Desa Rejasa. Seusai mengucapkan salam, santripun disuruhnya berangkat terlebih dahulu. Kiai Ahmad Siroj akan menyusulnya kemudian.
Dalam perjalanannya, santri tersebut terhenti di tengah jalan karena harus menyeberangi sungai yang airnya sedang besar-besarnya. Tak disangka, Kiai Ahmad Siroj dilihatnya telah berada di seberang sungai.
Dengan berteriak, santri pun bertanya “Gus, sampeyan niku wau medal pundi?” (Gus, Anda tadi lewat mana?) Jawab Kiai Ahmad Siroj “Ah, ya metu kono kuwi ta, lha metu ngendi maneh!” (Ah, ya melalui situ juga, lha lewat mana lagi kalau bukan di situ!)
Karena santri tersebut disuruh menyeberang tidak berani, Kiai Ahmad Siroj perintahkan padanya agar pulang saja.
Pada suatu ketika, Kiai Ahmad Siroj sedang berkunjung ke rumah Muhyi di Cepogo. Bak air (pengaron) yang berada di rumahnya, diminta oleh Kiai Ahmad Siroj untuk dibersihkan agar supaya bisa diisi dengan air.
Setelah pengaron bersih, Muhyi lalu pergi ke sumur untuk mengambil air guna diisikan pada pengaron tadi. Namun, alangkah terkejutnya ketika Muhyi hendak menuangkan air ke dalam pengaron tersebut, ternyata pengaron kosong tadi telah penuh berisi air.
Salah satu karomah sang kiai yaitu ketika sakit yang selanjutnya meninggal dunia pada Senin Pahing, 27 Muharram 138 H atau 10 Juni 1961, Kiai Zaenal Makarim (Karang Gede) bermimpi bertemu Kiai Ahmad Siroj.
“Mengapa saya sakit tak kau jenguk?” Tanya Kiai Ahmad Siroj kepada Kiai Zaenal Makarim dalam mimpi.
Terperanjatlah Kiai Zaenal Makarim, lalu seketika dia berangkat ke Solo untuk menjenguk Kiai Ahmad Siroj. Sesampai di Solo, ternyata jenazah telah diberangkatkan sampai di Jalan Rajiman, Kadipolo.
Kejadian serupa juga dialami oleh Sayyid Abdullah di Kepatihan, Solo. Pada pagi hari itu, sekitar pukul 05.00 WIB mimpi didatangi Kiai Ahmad Siroj, dan membangunkannya seraya berucap “Sampun nggih Bib, kula rumiyin, sampeyan kantun.” (Sudahlah Bib, saya duluan, Anda menyusul).
Alangkah terkejutnya Sang Habib. Ketika Sayyid Abdullah pergi ke Panularan di mana rumah Kiai Ahmad Siroj. Ternyata dapat berita, bahwa Kiai Ahmad Siroj telah meninggal dunia pada pukul 04.00 pagi hari itu.
“Anehnya, pukul 04.00 pagi Kiai Ahmad Siroj meninggal, pukul 05.00 laksana berkunjung ke Kepatihan” kata Sayyid Abdullah, dalam hati tidak kurang herannya. Doa pun segera dipanjatkan bagi almarhum Kiai Ahmad Siroj.
Kiai Ahmad Siroj dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Makam Haji, Kartasura, Sukoharjo.
Semasa hidup, Kiai Ahmad Siroj tidak pernah mengaku sebagai seorang waliyullah secara pribadi. Namun, banyak orang mengakui kewalian almarhum beserta karomahnya.
Sumber:
- kekunaan.blogspot
- Hakim Adnan, 1989, Mengenang Jejak Kiai Ahmad Siroj/Sala Masyhur: Waliyullah, Berkaromah Banyak (1878-1981/83 Tahun)
(sms)