Mata Air Cikahuripan Citeulu, 'Saksi' Penyebaran Islam di Pangandaran
A
A
A
JIKA kita berkunjung ke Dusun Citeulu, Desa Mekarsari, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, ada sebuah mata air yang menurut warga sekitar merupakan saksi bisu penyebaran agama Islam di daerah itu.
Mata Air Cikahuripan Citeulu. Itulah nama mata air yang diyakini warga sekitar sebagai saksi bisu penyebaran agama Islam pada abad ke-14. Kala itu, penyebaran agama Islam dilakukan oleh tokoh yang berasal dari Kerajaan Cirebon.
Pada masa itu, daerah tersebut masuk kekuasaan Dalem Arya Wiratanu Ningrat yang memimpin Kerajaan Sukapura. Wilayah kekuasaannya meliputi Tasikmalaya hingga Rawa Lakbok.
Juru Kunci Mata Air Cikahuripan Citeulu Aki Sodikin (71) mengatakan, penyebaran agama Islam di lokasi tersebut dilakukan oleh tiga tokoh yakni Kiai Deumungwulung, Dewi Layangsari, dan Dewi Lanangsari.
"Ketiga tokoh tersebut menghilang atau muswa di lokasi mata air yang saat ini disebut dengan Cikahuripan. Sejak itulah mata air ini disebut dengan istilah Cikahuripan Mata Air Citeulu," kata Sodikin.
Mata air tersebut dijadikan penunjang kehidupan ketiga tokoh itu sehari-hari. Mereka berwudu, minum, dan memasak dengan air yang berasal dari mata air tersebut.
Setelah ketiga tokoh tersebut menghilang, penyebaran agama Islam diteruskan oleh muridnya bernama Daleum Wirajaya yang saat ini menjadi ikon situs di Desa Mekarsari.
"Sumber Mata Air Cikahuripan itu diyakini memiliki keistimewaan awet muda. Selain itu, Mata Air Cikahuripan tidak pernah tercampur oleh air dari sungai meskipun lokasinya hanya berjarak satu meter," tambahnya.
Ya, meski jarak antara mata air dengan sungai hanya satu meter, jika air sungai meluap, mata air itu tak tersentuh. Seolah-olah ada yang membendung air dari luapan sungai agar tak mengenai mata air tersebut.
Kepala Bidang Pemberdayaan Lembaga Adat dan Lembaga Masyarakat Hukum Adat Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat Desa Erik Krisnayudha Astrawijaya Saputra mengatakan, kawasan tersebut merupakan kawasan yang masih terjaga kelestarian alamnya.
"Masyarakat di lokasi ini meyakini adanya kalimat pemali kalau menebang pohon di lokasi tersebut," kata Erik.
Di lokasi ini terdapat pohon yang umurnya lebih dari ratusan tahun, di antaranya pohon kimaung, manglid, dan kalahar yang saat ini sudah mulai punah. "Kami berharap lokasi ini dijadikan salah satu daerah adat karena memiliki potensi dan adat budaya yang masih tradisional."
Ke depan, pihaknya segera merumuskan lokasi ini menjadi salah satu daerah destinasi wisata adat.
Mata Air Cikahuripan Citeulu. Itulah nama mata air yang diyakini warga sekitar sebagai saksi bisu penyebaran agama Islam pada abad ke-14. Kala itu, penyebaran agama Islam dilakukan oleh tokoh yang berasal dari Kerajaan Cirebon.
Pada masa itu, daerah tersebut masuk kekuasaan Dalem Arya Wiratanu Ningrat yang memimpin Kerajaan Sukapura. Wilayah kekuasaannya meliputi Tasikmalaya hingga Rawa Lakbok.
Juru Kunci Mata Air Cikahuripan Citeulu Aki Sodikin (71) mengatakan, penyebaran agama Islam di lokasi tersebut dilakukan oleh tiga tokoh yakni Kiai Deumungwulung, Dewi Layangsari, dan Dewi Lanangsari.
"Ketiga tokoh tersebut menghilang atau muswa di lokasi mata air yang saat ini disebut dengan Cikahuripan. Sejak itulah mata air ini disebut dengan istilah Cikahuripan Mata Air Citeulu," kata Sodikin.
Mata air tersebut dijadikan penunjang kehidupan ketiga tokoh itu sehari-hari. Mereka berwudu, minum, dan memasak dengan air yang berasal dari mata air tersebut.
Setelah ketiga tokoh tersebut menghilang, penyebaran agama Islam diteruskan oleh muridnya bernama Daleum Wirajaya yang saat ini menjadi ikon situs di Desa Mekarsari.
"Sumber Mata Air Cikahuripan itu diyakini memiliki keistimewaan awet muda. Selain itu, Mata Air Cikahuripan tidak pernah tercampur oleh air dari sungai meskipun lokasinya hanya berjarak satu meter," tambahnya.
Ya, meski jarak antara mata air dengan sungai hanya satu meter, jika air sungai meluap, mata air itu tak tersentuh. Seolah-olah ada yang membendung air dari luapan sungai agar tak mengenai mata air tersebut.
Kepala Bidang Pemberdayaan Lembaga Adat dan Lembaga Masyarakat Hukum Adat Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat Desa Erik Krisnayudha Astrawijaya Saputra mengatakan, kawasan tersebut merupakan kawasan yang masih terjaga kelestarian alamnya.
"Masyarakat di lokasi ini meyakini adanya kalimat pemali kalau menebang pohon di lokasi tersebut," kata Erik.
Di lokasi ini terdapat pohon yang umurnya lebih dari ratusan tahun, di antaranya pohon kimaung, manglid, dan kalahar yang saat ini sudah mulai punah. "Kami berharap lokasi ini dijadikan salah satu daerah adat karena memiliki potensi dan adat budaya yang masih tradisional."
Ke depan, pihaknya segera merumuskan lokasi ini menjadi salah satu daerah destinasi wisata adat.
(zik)