Jejak Perjuangan Cipto Mangunkusumo
A
A
A
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, Tjipto Mangoenkoesomo atau Cipto Mangunkusumo adalah salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Sejak tahun 1907, Cipto Mangunkusomo yang kala itu berusia 21 tahun, aktif menulis di De Locomotief, surat harian kolonial yang sangat berkembang pada waktu.
Melalui tulisannya itu, dia menentang kondisi masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Dia kerap mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya merupakan sumber penderitaan rakyat. Beragam kritikan itu mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah.
Saat Budi Utomo terbentuk pada 20 Mei 1908, Cipto Mangunkusomo menyambut baik hal itu. Dia terlibat dalam kongres pertama organisasi pribumi itu di Yogyakarta. Namun, dia berbeda pendapat dengan Radjiman Wedyodiningrat tentang kelangsungan organisasi ke depan.
Cipto ingin Budi Utomo bergerak di bidang politik dan terbuka untuk semua rakyat Indonesia. Hal itu tak sejalan dengan keinginan Radjiman. Radjiman ingin Budi Utomo hanya bergerak di bidang kebudayaan.
Sebenarnya, Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa. Yang ditolaknya adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Menurut Cipto, sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu selesaikan masalah politik. Karena tidak menemukan kecocokan, Cipto mundur dari Budi Utomo.
Setelah keluar dari Budi Utomo, pria kelahiran Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah pada 1886 itu membuka praktik dokter di Solo. Namun, dia tidak meninggalkan dunia politik.
Cipto pun ke Bandung lalu mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1912 bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Setahun kemudian, bersama sejumlah kawannya Cipto mendirikan Komite Bumiputera. Hal itu tak terlepas dari rencana Pemerintah Hindia Belanda merayakan peringatan 100 tahun lepas dari Perancis.
Komite ini mengkritik dan menentang Pemerintah Hindia Belanda yang hendak merayakan kemerdekaan Belanda dari jajahan Perancis. Komite ini menerbitkan pamflet yang menyerang kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Pamflet pertama diterbitkan 12 Juli 1913, berisi tuntutan membentuk parlemen Hindia dan dihapuskannya pembatasan hak berorganisasi bagi bumiputera.
Pamflet kedua terbit 19 Juli 1913, yang berisi tulisan Soewardi Soerjaningrat berjudul "Als Ik Een Nederlander Was" (Andaikan Saya Seorang Belanda). yang dicetak sebanyak 5.000 eksemplar. Pamflet kedua ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdoel Moeis.
Kepada Moeis yang ragu-ragu, Cipto mengatakan,"Jangan khawatir, saya akan mengambil semua tanggung jawab itu."
Dengan demikian, pamflet ini pun menjangkau pembaca yang lebih luas. Beredarnya pamflet ini mengkhawatirkan pemerintah kolonial. Tak lama setelah pamflet itu beredar, pemerintah kolonial mengambil tindakan dengan menyita dan mencabut pamflet-pamflet itu.
Namun, Cipto tidak ambil sikap diam. Dia lalu menyerang pemerintah dengan menerbitkan tulisannya di De Expres berjudul "Kracht en Vrees" (Kekuatan dan Ketakutan). Dalam tulisan itu, Cipto mengatakan, jika aksinya semakin dibungkam, akan semakin keras perlawanannya.
Pada 30 Juli 1913, Cipto dan Komite Bumiputera ditangkap Belanda. Dia bersama Suwardi Surjaningrat dan Douwes Dekker diasingkan ke Belanda. Namun, karena penyakit asmanya kambuh, Cipto kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Cipto tetap melanjutkan perjuangannya, antara lain melalui Volksraad. Dia melakukan kritik terhadap Pemerintah Belanda. Karena kegiatannya di Volksraad, dia kembali mendapat hukuman dari Belanda. Dia dipaksa meninggalkan Solo.
Cipto pun pindah ke Bandung sebagai tahanan kota. Dengan berbagai cara dia kembali melanjutkan pergerakannya. Dia menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpul, berdiskusi, dan berdebat dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Belanda mencium kegiatan ini sehingga pergerakan di rumahnya terbongkar. Dia kembali dihukum Belanda.
Pada tahun 1927, dia dibuang ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya.
Cipto kemudian dipindah ke Makassar, lalu pada tahun 1940 dipindahkan ke Sukabumi. Cipto meninggal dunia di Jakarta pada 8 Maret 1943. Jasadnya dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964. Selain menjadi nama jalan di sejumlah daerah, namanya juga menjadi nama salah satu rumah sakit di Jakarta.
Sumber:
- wikipedia.org
- Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa, Penulis A Faidi, Penerbit Saufa.
Sejak tahun 1907, Cipto Mangunkusomo yang kala itu berusia 21 tahun, aktif menulis di De Locomotief, surat harian kolonial yang sangat berkembang pada waktu.
Melalui tulisannya itu, dia menentang kondisi masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Dia kerap mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya merupakan sumber penderitaan rakyat. Beragam kritikan itu mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah.
Saat Budi Utomo terbentuk pada 20 Mei 1908, Cipto Mangunkusomo menyambut baik hal itu. Dia terlibat dalam kongres pertama organisasi pribumi itu di Yogyakarta. Namun, dia berbeda pendapat dengan Radjiman Wedyodiningrat tentang kelangsungan organisasi ke depan.
Cipto ingin Budi Utomo bergerak di bidang politik dan terbuka untuk semua rakyat Indonesia. Hal itu tak sejalan dengan keinginan Radjiman. Radjiman ingin Budi Utomo hanya bergerak di bidang kebudayaan.
Sebenarnya, Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa. Yang ditolaknya adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Menurut Cipto, sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu selesaikan masalah politik. Karena tidak menemukan kecocokan, Cipto mundur dari Budi Utomo.
Setelah keluar dari Budi Utomo, pria kelahiran Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah pada 1886 itu membuka praktik dokter di Solo. Namun, dia tidak meninggalkan dunia politik.
Cipto pun ke Bandung lalu mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1912 bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai.
Setahun kemudian, bersama sejumlah kawannya Cipto mendirikan Komite Bumiputera. Hal itu tak terlepas dari rencana Pemerintah Hindia Belanda merayakan peringatan 100 tahun lepas dari Perancis.
Komite ini mengkritik dan menentang Pemerintah Hindia Belanda yang hendak merayakan kemerdekaan Belanda dari jajahan Perancis. Komite ini menerbitkan pamflet yang menyerang kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Pamflet pertama diterbitkan 12 Juli 1913, berisi tuntutan membentuk parlemen Hindia dan dihapuskannya pembatasan hak berorganisasi bagi bumiputera.
Pamflet kedua terbit 19 Juli 1913, yang berisi tulisan Soewardi Soerjaningrat berjudul "Als Ik Een Nederlander Was" (Andaikan Saya Seorang Belanda). yang dicetak sebanyak 5.000 eksemplar. Pamflet kedua ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdoel Moeis.
Kepada Moeis yang ragu-ragu, Cipto mengatakan,"Jangan khawatir, saya akan mengambil semua tanggung jawab itu."
Dengan demikian, pamflet ini pun menjangkau pembaca yang lebih luas. Beredarnya pamflet ini mengkhawatirkan pemerintah kolonial. Tak lama setelah pamflet itu beredar, pemerintah kolonial mengambil tindakan dengan menyita dan mencabut pamflet-pamflet itu.
Namun, Cipto tidak ambil sikap diam. Dia lalu menyerang pemerintah dengan menerbitkan tulisannya di De Expres berjudul "Kracht en Vrees" (Kekuatan dan Ketakutan). Dalam tulisan itu, Cipto mengatakan, jika aksinya semakin dibungkam, akan semakin keras perlawanannya.
Pada 30 Juli 1913, Cipto dan Komite Bumiputera ditangkap Belanda. Dia bersama Suwardi Surjaningrat dan Douwes Dekker diasingkan ke Belanda. Namun, karena penyakit asmanya kambuh, Cipto kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Cipto tetap melanjutkan perjuangannya, antara lain melalui Volksraad. Dia melakukan kritik terhadap Pemerintah Belanda. Karena kegiatannya di Volksraad, dia kembali mendapat hukuman dari Belanda. Dia dipaksa meninggalkan Solo.
Cipto pun pindah ke Bandung sebagai tahanan kota. Dengan berbagai cara dia kembali melanjutkan pergerakannya. Dia menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpul, berdiskusi, dan berdebat dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Belanda mencium kegiatan ini sehingga pergerakan di rumahnya terbongkar. Dia kembali dihukum Belanda.
Pada tahun 1927, dia dibuang ke Banda Neira. Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya.
Cipto kemudian dipindah ke Makassar, lalu pada tahun 1940 dipindahkan ke Sukabumi. Cipto meninggal dunia di Jakarta pada 8 Maret 1943. Jasadnya dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa. Dia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964. Selain menjadi nama jalan di sejumlah daerah, namanya juga menjadi nama salah satu rumah sakit di Jakarta.
Sumber:
- wikipedia.org
- Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa, Penulis A Faidi, Penerbit Saufa.
(zik)