Hargai Hukum, Utamakan Rasionalitas

Sabtu, 12 November 2016 - 01:26 WIB
Hargai Hukum, Utamakan Rasionalitas
Hargai Hukum, Utamakan Rasionalitas
A A A
YOGYAKARTA - Masyarakat dan peradaban Indonesia saat ini sedang diuji dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Masyarakat Indonesia sedang uji antara lebih kuat mana antara peradaban emosional dan rasionalitas.

Guru Besar Fakultas Ushuludin Universitas Islam Indonesia (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. M Amin Abdullah mengatakan, salah satu ciri peradaban yang mengedepankan rasionalitas adalah percaya pada hukum. "Untuk kasus Ahok, sebagai peradaban yang mengedepan rasionalitas, maka percayakan pada hukum," kata Amin kepada wartawan di Yogyakarta, Jumat, 11 November 2016, kemarin.

Alumnus Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki ini mengungkapkan, hukum dan emosi itu bertolak belakang, karena hukum memiliki ilmunya. "Kondisi itu adalah tuntutan peradaban kan. Peradaban Indonesia itu emosi atau rasionalitas," ujarnya.

Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menuturkan, emosi itu memberatkan banyak pihak, rasionalitas itu menenangkan semua pihak. Jadi, salah satu ciri peradaban rasionalitas adalah menghormati proses hukum termasuk apa pun hasil nanti.

"Kalau hasilnya (proses hukum) tidak cocok dengan keinginan, lalu marah-marah, ya artinya bukan negara hukum," ungkapnya. Menurut dia, apa pun hasil proses hukum harus diikuti dan dihormati. Hukum yang sedang berjalan ini ada ilmunya dan ahlinya.

"Sebanyak 35 orang yang diminta keterangan itu kan ahli di masing-masing bidang. Kalau kita ikut campur lagi, ya itu bukan negara hukum," tegasnya. Amin menambahkan, jika tidak puas dengan proses hukum lalu melampiaskan kekecewaannya, itu menjadi ciri belum dewasa secara hukum. Biasanya emosi menjadi tidak terkendali dalam kondisi crowded.

"Kalau sudah crowded menjadi tidak kendali, perabdaban rasionaliatas menjadi hilang," ujarnya. Akademisi yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005) ini mengungkapkan, dalam kondisi seperti sekarang ini, tokoh umat menjadi sangat penting. Tokoh atau pemimpin umat menjadi pilar Keindonesiaan.

Menurut dia, jika pemimpin mengaku sebagai bagian dari peradaban rasionalitas, maka seorang pemimpin harus bisa menjalin komunikasi yang sehat. Jangan justru malah sebaliknya. "Jangan-jangan umat bisa mengendalikan diri, namun pemimpinnya yang malah tidak terkendali. Ini yang repot," tuturnya.

Sementara itu, Dosen Administrasi Pemeritahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan, Indonesia merupakan negara yang menghargai kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Kebebasan berpendapat juga dilindungi Undang-Undang. "Ini yang menjadi titik kritis antara kebebasan berpendapat dengan kehormatan kepala negara," katanya.

Mantan Ketua Bawaslu RI ini mengungkapkan, mengkritisi kebijakan negara merupakan bagian dari partisipasi politik dan hak warga negara yang juga dilindungi. Yang terjadi adalah mengkritisi figur (Presiden) yang membuat kebijakan. "Di sisi lain Presiden harus dilindungi kehormatannya apalagi dengan caci maki dengan bahasa hewan. Itu enggak bagus, (kebebasan) kebablasan," ujarnya.

Imam Masjid Jogokaryan Ustadz Jazir mengatakan, umat menginginkan agaar hukum ditegakkan kepada semua orang. Tidak ada niat sedikit pun aksi berlanjut untuk menggulingkan Presiden. "Kita ingin equality before the law, persamaan di hadapan hukum. Enggak ada tujuan melengserkan Presiden, itu tidak ada," tegasnya.

Sementara itu Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Anhor Yaqut Cholil Qoumas meminta umat Islam bersabar dan menyerahkan kasus dugaan penistaan agam ini kepada proses hukum. “Proses hukum Ahok harus dilanjutkan. Soal salah atau tidak, biar pengadilan yang menentukan,” terangnya.

Menurut Yaqut Cholil, kasus dugaan penistaan agama ini sangat rumit. Banyak warga masyarakat yang memang tersingung akibat merasa agamanya dilecehkan. Namun ada juga yang menggunakan isu ini untuk melakukkan tujuan tertentu.

“Soal kasus Al Maidah 51 ini sangat complicated. Ada yang murni karena memang merasa tersinggung agamanya dinistakan, namun ada juga yang ingin menggunakan monentum ini utk melengserkan Presiden. Ada juga proxy dari luar yang ujungnya menguasai resource yang dimiliki oleh negeri ini,” terangnya kepada wartawan.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6530 seconds (0.1#10.140)