Rahasia Kitab Kacijulangan dan Raja Mandala
A
A
A
Kitab Kacijulangan merupakan rangkaian sejarah para pendahulu dan tokoh masyarakat Cijulang, Kabupaten Pangandaran serta berisi sejarah kenabian dalam Islam. Selain itu di dalamnya tertera beberapa peribahasa atau uga yang dijadikan dasar pada kehidupan masyarakat atau Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) wilayah.
Isi dari Kitab Kacijulang salah satunya berisi cerita mengenai Sunan Raja Mandala. Dia merupakan salah satu bangsawan keturunan Kerajaan Pajajaran dan dikaruniai lima anak laki-laki, di antaranya Nini Gede Aki Gede atau Sembah Gede, Jang Pati, Jang Singa atau Maung Panjalu, Jang Raga, Jang Langas atau Sembah Agung.
Semua anaknya diutus ke berbagai daerah untuk mengembangkan Agama Islam. Nini Gede Aki Gede diutus oleh Sunan Raja Mandala ke wilayah Banyumas, Purwokerto, yang waktu itu masuk wilayah kerajaan Galuh. Di Banyumas Purwokerto tepatnya di Baturaden yang cirinya ada keramat Maqom Batire Raden atau Teman Raden.
Sedangkan Jang Pati diutus ke Jambansari Ciamis, sementara Jang Singa diutus ke Panjalu, sedangkan Jang Raga diutus ke Mangunjaya dan Jang Langas diutus ke Batukaras. Sunan Raja Mandala memiliki saudara bernama Liman Sanjaya dan Sanghiang Wiruna atau Eyang Prabu Waseh yang saat ini maqomnya terdapat di lokasi Nusawiru, lokasi tersebut hingga saat ini di keramatkan oleh masyarakat Cijulang.
Tradisi pembacaan kitab Kacijulangan yang biasa dibacakan satu tahun satu kali, pada bulan Muharam kini hampir punah. Hal tersebut disebabkan karena para pelaku dan para kasepuhan yang biasa melaksanakan tradisi tersebut banyak yang telah tutup usia.
Salah satu budayawan setempat Krisna Yudha Astrawijaya mengatakan, Kitab Kacijulangan yang asli hingga saat ini belum ditemukan. Namun salinan kitab tersebut berdasarkan informasi keberadaannya sekarang ada di Perpustakaan Nasional.
“Kitab Kacijulangan sebanyak 23 halaman, kitab tersebut aslinya bukan ditulis diatas kertas. Beberapa kasepuhan ada yang menyebut terbuat dari kulit hewan dan ada juga yang mengatakan dari kulit kelopak pohon,” kata Krisna.
Masih dikatakan Krisna, tulisan kitab Kacijulangan ditulis dengan tulisan arab pagon dalam bahasa Jawa.
“Isi kitab Kacijulangan juga memaparkan ilmu hakikat jatidiri manusia, oleh karena itu kitab Kacijulangan biasa disebut juga dengan rangkaian purwaning jagat,” tambah Krisna.
Krisna memaparkan, pembacaan kitab Kacijulangan terakhir dibaca dalam rangkaian ritual ngabuku tahun pada 2013 oleh salah satu kasepuhan bernama Abah Adim yang kini usianya 83 tahun.
“Sebelumnya pada tiap tahun pada bulan Muharam pembaca kitab tersebut dibacakan oleh Agan Didi, setalah pupus diwariskan ke Abah Sajib selanjutnya oleh Kuwu Kanta,” paparnya.
Karena kitab tersebut dinilai sakral dan pembacanya harus oleh orang yang memiliki tingkat ketasawufan dan tauhidnya sudah kokoh, untuk saat ini ritual pembacaan tersebut jarang dilaksanakan.
“Pembacaan kitab Kacijulangan dari awal hingga akhir pembacaan biasanya berdurasi 2 jam 30 menit, kami pernah melakukan percobaan membaca kitab Kacijulangan pada bulan Muharam tahun 2014. Namun baru saja 15 menit pembaca kitab Kacijulangan tidak kuat menahan aura khodamnya,” jelasnya.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber, kitab Kacijulangan sudah disalin ke tulisan latin oleh Prof Edi S Ekadjati. Saat ini naskah salinan tulisan latin tersebut berada di perpustakaan nasional Jalan Salemba Raya Lantai 5.
Namun salinan latin tersebut tidak diperbolehkan untuk dipinjam atau di foto copy karena telah masuk pada arsip nasional dan hanya bisa dibaca ditempat itu saja. Tetapi naskah yang saat ini ada dibeberapa budayawan hanya naskah tulisan Arab Pagon dan belum ada yang mampu menerjemahkan dalam bahasa daerah atau bahasa nasional.
Salah satu keturunan Wangsa Manggala dan Tafsirudin bernama Endang Sukara (41) saat dihubungi mengaku tidak pernah menemukan kitab Kacijulangan hingga dirinya mencari kitab tersebut ke daerah Bulakbeunda, Desa Madasari, Kecamatan Cimerak.
“Informasi dari pendahulu kami kitab tersebut ada di Aki Udeng salah satu tokoh masyarakat sekitar Pasuketan yang domisilinya di sekitar lokasi situs Sembah Agung, namun Aki Udeng merahasiakannya,” kata Endang.
Setelah Aki Udeng meninggal, Endang mengaku mencoba melakukan komunikasi dengan keluarganya. Tetapi keluarganya mengaku kitab tersebut ada yang meminjam oleh salah satu guru yang saat ini entah siapa guru yang meminjam kitab tersebut.
“Kami harap siapa saja yang saat ini memegang kitab Kacijulangan yang asli harap diserahkan ke pemerintah daerah untuk dibedah dan dilestarikan,” pungkas Endang.
Isi dari Kitab Kacijulang salah satunya berisi cerita mengenai Sunan Raja Mandala. Dia merupakan salah satu bangsawan keturunan Kerajaan Pajajaran dan dikaruniai lima anak laki-laki, di antaranya Nini Gede Aki Gede atau Sembah Gede, Jang Pati, Jang Singa atau Maung Panjalu, Jang Raga, Jang Langas atau Sembah Agung.
Semua anaknya diutus ke berbagai daerah untuk mengembangkan Agama Islam. Nini Gede Aki Gede diutus oleh Sunan Raja Mandala ke wilayah Banyumas, Purwokerto, yang waktu itu masuk wilayah kerajaan Galuh. Di Banyumas Purwokerto tepatnya di Baturaden yang cirinya ada keramat Maqom Batire Raden atau Teman Raden.
Sedangkan Jang Pati diutus ke Jambansari Ciamis, sementara Jang Singa diutus ke Panjalu, sedangkan Jang Raga diutus ke Mangunjaya dan Jang Langas diutus ke Batukaras. Sunan Raja Mandala memiliki saudara bernama Liman Sanjaya dan Sanghiang Wiruna atau Eyang Prabu Waseh yang saat ini maqomnya terdapat di lokasi Nusawiru, lokasi tersebut hingga saat ini di keramatkan oleh masyarakat Cijulang.
Tradisi pembacaan kitab Kacijulangan yang biasa dibacakan satu tahun satu kali, pada bulan Muharam kini hampir punah. Hal tersebut disebabkan karena para pelaku dan para kasepuhan yang biasa melaksanakan tradisi tersebut banyak yang telah tutup usia.
Salah satu budayawan setempat Krisna Yudha Astrawijaya mengatakan, Kitab Kacijulangan yang asli hingga saat ini belum ditemukan. Namun salinan kitab tersebut berdasarkan informasi keberadaannya sekarang ada di Perpustakaan Nasional.
“Kitab Kacijulangan sebanyak 23 halaman, kitab tersebut aslinya bukan ditulis diatas kertas. Beberapa kasepuhan ada yang menyebut terbuat dari kulit hewan dan ada juga yang mengatakan dari kulit kelopak pohon,” kata Krisna.
Masih dikatakan Krisna, tulisan kitab Kacijulangan ditulis dengan tulisan arab pagon dalam bahasa Jawa.
“Isi kitab Kacijulangan juga memaparkan ilmu hakikat jatidiri manusia, oleh karena itu kitab Kacijulangan biasa disebut juga dengan rangkaian purwaning jagat,” tambah Krisna.
Krisna memaparkan, pembacaan kitab Kacijulangan terakhir dibaca dalam rangkaian ritual ngabuku tahun pada 2013 oleh salah satu kasepuhan bernama Abah Adim yang kini usianya 83 tahun.
“Sebelumnya pada tiap tahun pada bulan Muharam pembaca kitab tersebut dibacakan oleh Agan Didi, setalah pupus diwariskan ke Abah Sajib selanjutnya oleh Kuwu Kanta,” paparnya.
Karena kitab tersebut dinilai sakral dan pembacanya harus oleh orang yang memiliki tingkat ketasawufan dan tauhidnya sudah kokoh, untuk saat ini ritual pembacaan tersebut jarang dilaksanakan.
“Pembacaan kitab Kacijulangan dari awal hingga akhir pembacaan biasanya berdurasi 2 jam 30 menit, kami pernah melakukan percobaan membaca kitab Kacijulangan pada bulan Muharam tahun 2014. Namun baru saja 15 menit pembaca kitab Kacijulangan tidak kuat menahan aura khodamnya,” jelasnya.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber, kitab Kacijulangan sudah disalin ke tulisan latin oleh Prof Edi S Ekadjati. Saat ini naskah salinan tulisan latin tersebut berada di perpustakaan nasional Jalan Salemba Raya Lantai 5.
Namun salinan latin tersebut tidak diperbolehkan untuk dipinjam atau di foto copy karena telah masuk pada arsip nasional dan hanya bisa dibaca ditempat itu saja. Tetapi naskah yang saat ini ada dibeberapa budayawan hanya naskah tulisan Arab Pagon dan belum ada yang mampu menerjemahkan dalam bahasa daerah atau bahasa nasional.
Salah satu keturunan Wangsa Manggala dan Tafsirudin bernama Endang Sukara (41) saat dihubungi mengaku tidak pernah menemukan kitab Kacijulangan hingga dirinya mencari kitab tersebut ke daerah Bulakbeunda, Desa Madasari, Kecamatan Cimerak.
“Informasi dari pendahulu kami kitab tersebut ada di Aki Udeng salah satu tokoh masyarakat sekitar Pasuketan yang domisilinya di sekitar lokasi situs Sembah Agung, namun Aki Udeng merahasiakannya,” kata Endang.
Setelah Aki Udeng meninggal, Endang mengaku mencoba melakukan komunikasi dengan keluarganya. Tetapi keluarganya mengaku kitab tersebut ada yang meminjam oleh salah satu guru yang saat ini entah siapa guru yang meminjam kitab tersebut.
“Kami harap siapa saja yang saat ini memegang kitab Kacijulangan yang asli harap diserahkan ke pemerintah daerah untuk dibedah dan dilestarikan,” pungkas Endang.
(sms)