Nyai Ahmad Dahlan, Tokoh Pendidikan dan Emansipasi Perempuan

Sabtu, 05 November 2016 - 05:00 WIB
Nyai Ahmad Dahlan, Tokoh Pendidikan dan Emansipasi Perempuan
Nyai Ahmad Dahlan, Tokoh Pendidikan dan Emansipasi Perempuan
A A A
Salah seorang tokoh perempuan yang berjasa dalam perjalanan bangsa ini adalah Siti Walidah atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan. Seperti apa sosoknya?

Siti Walidah lahir pada 1872 di Kauman, Yogyakarta. Dia adalah putri dari KH Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta.

Dia bersekolah di rumah, diajarkan berbagai aspek tentang Islam, termasuk bahasa Arab dan Alquran. Kemampuan berdakwah dia asah sejak kecil. Hal ini membuatnya mendapat kepercayaan dari sang ayah untuk membantu mengajar di langgar yang biasa disebut Langgar Kiai Fadhil.

Pada 1889, Siti Walidah menikah dengan Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Setelah Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 1912, Nyai Ahmad Dahlan selalu mengikuti suaminya dalam setiap perjalanan mengembangkan Muhammadiyah.

Namun, karena beberapa pandangan Ahmad Dahlan tentang Islam dianggap radikal, pasangan ini kerap menerima ancaman. Misalnya, sebelum perjalanan ke Banyuwangi, Jawa Timur, mereka menerima ancaman pembunuhan dari kaum konservatif di sana. Nyai Ahmad Dahlan diancam dijadikan sandera dan suaminya akan dibunuh jika berani datang ke Banyuwangi.

Pada tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan Sopo Tresno, sebuah perkumpulan gadis-gadis terdidik di sekitar Kauman. Dia bertekad memperjuangkan hak-hak perempuan. Pengajian untuk kalangan perempuan ini tidak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama, tetapi juga mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat.

Dia dan suaminya bergantian memimpin kelompok tersebut dalam membaca Alquran dan mendiskusikan maknanya. Dia mulai berfokus pada ayat-ayat Alquran yang membahas isu-isu perempuan.

Kemudian, pada 19 Mei 1917, perkumpulan Sopo Tresno berubah menjadi Aisyiyah. Nama Aisyiyah terinspirasi dari istri Nabi Muhammad, yaitu Aisyah, yang dikenal cerdas dan mumpuni. Harapannya, profil Aisyah juga menjadi profil orang-orang Aisyiyah.

Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Dia juga menentang kawin paksa. Pemikirannya itu pada awalnya mendapat tantangan dari masyarakat. Namun, belakangan dapat diterima sedikit demi sedikit.

Berbeda dengan tradisi masyarakat Jawa yang patriarki, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa perempuan dimaksudkan untuk menjadi mitra suami mereka.

Setelah sang suami, Ahmad Dahlan, meninggal dunia pada tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada tahun 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin konferensi seperti itu.

Hasil dari liputan luas media di koran-koran seperti Pewarta Surabaya dan Sin Tit Po, banyak perempuan terpengaruh untuk bergabung ke dalam Aisyiyah.

Nyai Ahmad Dahlan terus memimpin Aisyiyah sampai 1934. Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang oleh militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943. Nyai Ahmad Dahlan kemudian bekerja di sekolah-sekolah dan berjuang menjaga siswa dari paksaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.

Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Berkat jasa dan pengorbanannya, pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto. Hal ini sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971.

Sumber: id.wikipedia.org dan www.aisyiyah.or.id
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4348 seconds (0.1#10.140)