Bagindo Aziz Chan, Wali Kota Padang yang Jadi Korban Kelicikan Belanda
A
A
A
Di antara deretan nama Pahlawan Nasional yang berasal dari Sumatera Barat, tersebutlah nama Bagindo Aziz Chan. Seperti apa sosok dan perjuangannya?
Dalam lembaran sejarah Sumatera Barat, Bagindo Aziz Chan, ada juga yang menulis Bagindo Azizchan, dikenal sebagai wali kota ke-2 Padang.
Pria ini lahir di Kampung Along Laweh, Koto Padang pada 30 September 1910. Menurut pemerhati sejarah Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan, Aziz Chan adalah anak keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan Bagindo Montok dan Djamilah.
Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan HIS di Padang, MULO di Surabaya, dan AMS di Batavia. Tamat dari AMS, lalu sempat dua tahun duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS).
Ketika resmi menikah, lanjut Fikrul Hanif, sesuai dengan adat yang berlaku di Pariaman, Aziz Chan pun memperoleh gelar 'Bagindo'.
Sebelum menjadi Wali Kota Padang, Aziz Chan sempat membuka praktik pengacara dan aktif di beberapa organisasi, di antaranya sebagai pengurus Jong Islamieten Bond pimpinan Agus Salim.
Kembali ke kampung halamannya pada tahun 1935, Aziz Chan mengabdi sebagai guru di beberapa sekolah di Padang dan berkali-kali pindah mengajar ke luar kota. Ia sempat aktif di Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) sampai organisasi itu dibubarkan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1937.
Menurut Fikrul Hanif, kisah pengangkatan Bagindo Aziz Chan sebagai wali kota Padang terekam dengan baik dalam Madjalah Penerangan Sumatera Tengah pada 15 Djuli 1953, dengan tajuk tulisan berjudul "Pahlawan Nasional Azizchan".
Pada masa revolusi kemerdekaan itu, Hamka sempat melontarkan gagasan, siapa yang harus memangku jabatan wali kota Padang. Lebih lanjut ia menegaskan: Setelah Pemerintah Belanda meluaskan kekuasaan di Kota Padang dan sekitarnya, TRI (Tentara Republik Indonesia) mundur ke daerah 'darat' (pedalaman), namun tempat-tempat penting masih dalam kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia. Ketika dipertimbangkan siapa yang akan diangkat menjadi wali kota Padang, sebab markas tentara dan Pemerintah Republik telah dipindahkan ke Bukittinggi, seorang pun tidak ada yang berani.
Kemudian, semua yang hadir dalam pertemuan itu sepakat memilih Bagindo Aziz Chan. Meski jabatan pada masa itu penuh risiko, lanjut Fikrul Hanif, Aziz Chan bersedia menanggungnya sembari mengucap Basmallah.
Pada 15 Agustus 1946, Bagindo Aziz Chan dilantik sebagai wali kota Padang, menggantikan Mr Abubakar Jaar yang pindah tugas menjadi residen di Sumatera Utara.
Begitu menjabat wali kota Padang, Bagindo Aziz Chan berunding dengan pihak Sekutu. Masalah yang dibicarakan adalah keamanan kota dan keselamatan warga kota sehubungan keberadaan pasukan Sekutu.
Selain Bagindo Aziz Chan, pihak Republik diwakili Gubernur Muda Dr M Djamil dan Kepala Polisi Sumatera Barat Azhari. Sedangkan pihak Sekutu diwakili Brigadir Thomson, Mayor Fisher, dan Kapten Gilman.
Dalam perundingan itu, pihak Sekutu berjanji bekerja sama dan menjaga keamanan Kota Padang.
Semasa menjadi wali kota, tambah Fikrul Hanif, Bagindo Aziz Chan memegang teguh prinsip dan bertekad menegakkan pemerintahan, meski dalam keadaan sesulit apa pun.
"Entahlah kalau mayat saya sudah membujur, barulah Padang akan saya tinggalkan." Sebaris kalimat itu seakan menggambarkan kegigihannya dalam mengemban tanggung jawab sebagai seorang wali kota.
Dalam kisah lainnya, Bagindo Aziz Chan masih sempat melihat tahanan yang dituduh mata-mata oleh Sekutu dan meminta agar mereka dibebaskan.
Keteguhannya mempertahankan Kota Padang membuat Aziz Chan menjadi sasaran tentara Belanda sebagai musuh nomor satu yang harus segera dienyahkan.
Menurut Fikrul, skenario jahat pun segera disusun Belanda. Aziz Chan diminta datang untuk menenteramkan situasi pascainsiden yang terjadi pada 19 Juli 1947. Insiden yang berlangsung di Simpang Lapai tersebut melibatkan seorang tentara Belanda bernama van Erp. Strategi kotor itu berhasil melenyapkan Bagindo Aziz Chan.
Keterangan visum dokter di Bukittinggi membuktikan bahwa Aziz Chan meninggal akibat pukulan benda keras pada kepala kanan bagian belakang. Sementara, tiga lubang di badannya yakni bekas tembakan yang dilakukan Belanda hanya untuk menutupi kematiannya.
Untuk mengenang Bagindo Aziz Chan, berdiri tugu berbentuk kepalan tangan atau yang lebih dikenal dengan Tugu Simpang Tinju. Nama Bagindo Aziz Chan juga diabadikan menjadi nama jalan.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Bagindo Aziz Chan diberi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No.082/TK/Tahun 2005, tanggal 7 November 2005.
Dalam lembaran sejarah Sumatera Barat, Bagindo Aziz Chan, ada juga yang menulis Bagindo Azizchan, dikenal sebagai wali kota ke-2 Padang.
Pria ini lahir di Kampung Along Laweh, Koto Padang pada 30 September 1910. Menurut pemerhati sejarah Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan, Aziz Chan adalah anak keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan Bagindo Montok dan Djamilah.
Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan HIS di Padang, MULO di Surabaya, dan AMS di Batavia. Tamat dari AMS, lalu sempat dua tahun duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS).
Ketika resmi menikah, lanjut Fikrul Hanif, sesuai dengan adat yang berlaku di Pariaman, Aziz Chan pun memperoleh gelar 'Bagindo'.
Sebelum menjadi Wali Kota Padang, Aziz Chan sempat membuka praktik pengacara dan aktif di beberapa organisasi, di antaranya sebagai pengurus Jong Islamieten Bond pimpinan Agus Salim.
Kembali ke kampung halamannya pada tahun 1935, Aziz Chan mengabdi sebagai guru di beberapa sekolah di Padang dan berkali-kali pindah mengajar ke luar kota. Ia sempat aktif di Persatuan Muslim Indonesia (PERMI) sampai organisasi itu dibubarkan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1937.
Menurut Fikrul Hanif, kisah pengangkatan Bagindo Aziz Chan sebagai wali kota Padang terekam dengan baik dalam Madjalah Penerangan Sumatera Tengah pada 15 Djuli 1953, dengan tajuk tulisan berjudul "Pahlawan Nasional Azizchan".
Pada masa revolusi kemerdekaan itu, Hamka sempat melontarkan gagasan, siapa yang harus memangku jabatan wali kota Padang. Lebih lanjut ia menegaskan: Setelah Pemerintah Belanda meluaskan kekuasaan di Kota Padang dan sekitarnya, TRI (Tentara Republik Indonesia) mundur ke daerah 'darat' (pedalaman), namun tempat-tempat penting masih dalam kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia. Ketika dipertimbangkan siapa yang akan diangkat menjadi wali kota Padang, sebab markas tentara dan Pemerintah Republik telah dipindahkan ke Bukittinggi, seorang pun tidak ada yang berani.
Kemudian, semua yang hadir dalam pertemuan itu sepakat memilih Bagindo Aziz Chan. Meski jabatan pada masa itu penuh risiko, lanjut Fikrul Hanif, Aziz Chan bersedia menanggungnya sembari mengucap Basmallah.
Pada 15 Agustus 1946, Bagindo Aziz Chan dilantik sebagai wali kota Padang, menggantikan Mr Abubakar Jaar yang pindah tugas menjadi residen di Sumatera Utara.
Begitu menjabat wali kota Padang, Bagindo Aziz Chan berunding dengan pihak Sekutu. Masalah yang dibicarakan adalah keamanan kota dan keselamatan warga kota sehubungan keberadaan pasukan Sekutu.
Selain Bagindo Aziz Chan, pihak Republik diwakili Gubernur Muda Dr M Djamil dan Kepala Polisi Sumatera Barat Azhari. Sedangkan pihak Sekutu diwakili Brigadir Thomson, Mayor Fisher, dan Kapten Gilman.
Dalam perundingan itu, pihak Sekutu berjanji bekerja sama dan menjaga keamanan Kota Padang.
Semasa menjadi wali kota, tambah Fikrul Hanif, Bagindo Aziz Chan memegang teguh prinsip dan bertekad menegakkan pemerintahan, meski dalam keadaan sesulit apa pun.
"Entahlah kalau mayat saya sudah membujur, barulah Padang akan saya tinggalkan." Sebaris kalimat itu seakan menggambarkan kegigihannya dalam mengemban tanggung jawab sebagai seorang wali kota.
Dalam kisah lainnya, Bagindo Aziz Chan masih sempat melihat tahanan yang dituduh mata-mata oleh Sekutu dan meminta agar mereka dibebaskan.
Keteguhannya mempertahankan Kota Padang membuat Aziz Chan menjadi sasaran tentara Belanda sebagai musuh nomor satu yang harus segera dienyahkan.
Menurut Fikrul, skenario jahat pun segera disusun Belanda. Aziz Chan diminta datang untuk menenteramkan situasi pascainsiden yang terjadi pada 19 Juli 1947. Insiden yang berlangsung di Simpang Lapai tersebut melibatkan seorang tentara Belanda bernama van Erp. Strategi kotor itu berhasil melenyapkan Bagindo Aziz Chan.
Keterangan visum dokter di Bukittinggi membuktikan bahwa Aziz Chan meninggal akibat pukulan benda keras pada kepala kanan bagian belakang. Sementara, tiga lubang di badannya yakni bekas tembakan yang dilakukan Belanda hanya untuk menutupi kematiannya.
Untuk mengenang Bagindo Aziz Chan, berdiri tugu berbentuk kepalan tangan atau yang lebih dikenal dengan Tugu Simpang Tinju. Nama Bagindo Aziz Chan juga diabadikan menjadi nama jalan.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Bagindo Aziz Chan diberi gelar Pahlawan Nasional, berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No.082/TK/Tahun 2005, tanggal 7 November 2005.
(zik)