Dokumen Supardjo, Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965

Minggu, 23 Oktober 2016 - 05:05 WIB
Dokumen Supardjo, Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965
Dokumen Supardjo, Mengungkap Kegagalan Gerakan 30 September 1965
A A A
BRIGADIR Jenderal Supardjo merupakan salah satu tokoh penting dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Sebelum ditangkap, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga ini sempat menulis Kritik Oto Kritik (KOK) tentang G30S.

Tulisan ini dianggap bebas dari tekanan tentara dan bukan untuk memenuhi keinginan para integrator, karena ditulis sebelum Supadjo ditangkap. Dengan demikian, tulisan ini dianggap memiliki bobot kejujuran yang tidak diragukan lagi.

Dokumen Supardjo itu diberinya judul "Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja G30S, Dipandang dari Sudut Militer." Di dalam dokumen itu, Supardjo dinilai berusaha sangat rasional di dalam menuliskan analisisnya tentang G30S.

John Roosa dalam bukunya "Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto" menyatakan, dokumen Supardjo istimewa karena dia orang "luar" yang bergabung dengan G30S hanya tiga hari, sejak 30 September hingga 2 Oktober 1965.

"Hingga sekarang para peneliti tidak mengakui dokumen ini sebagaimana adanya: sumber utama terpenting tentang G30S. Ini satu-satunya dokumen yang tersedia sampai sekarang yang ditulis oleh pelaku G30S sebelum ia tertangkap," terangnya.

Supardjo merupakan tentara profesional yang karirnya sangat gemilang. Dari seluruh pimpinan G30S, pangkatnya lah yang paling tinggi. Dia menjadi brigadir jenderal pada usia 40 tahun, karena prestasinya dalam berbagai pertempuran.

Sampai 1965, Supardjo telah mengabdikan dirinya sebagai tentara selama 20 tahun, dari saat perang kemerdekaan. Karir militernya mulai melambung saat pertempuran di Jawa Barat melawan pasukan Belanda dengan taktik kuda Troya-nya.

Dia mencegat kereta api dan diam-diam menaikkan 300 prajurit ke dalam gerbong-gerbongnya. Saat kereta api melintas di kubu pertahanan Belanda, para prajurit itu berhamburan keluar langsung menyerang dan menghancurkan pertahanan lawan.

Pada akhir 1950 dan awal 1960, Supardjo juga memainkan peran penting dalam menumpas pemberontakan Darul Islam (DI). Dia juga pernah mengikuti pendidikan di sekolah staf tentara Pakistan, di Quetta, dan menulis naskah perang gerilya.

Sebagai tentara terlatih, Supardjo paham betul bagai mana menghancurkan musuh. Menarik diperhatikan adalah bagai mana dia tertarik terlibat dalam G30S pimpinan Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang pangkatnya lebih rendah darinya?

Tidak hanya itu, saat G30S mengumumkan penurunan pangkat di atas letnan kolonel, Supardjo juga telah mengorbankan karir militer yang telah dirintisnya sejak 20 tahun. Apa motivasinya? Tidak lain karena isu Dewan Jenderal itu sendiri.

Supardjo disebut-sebut masuk ke dalam anggota Dewan Jenderal. Dia bahkan yang menyampaikan setiap perkembangan dalam rapat-rapat Dewan Jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta pada 5 Oktober 1965 bertepatan dengan Hari ABRI.

Supardjo menulis KOK-nya pada pertengahan 1966, setelah G30S dihancurkan. Karir militernya saat itu sudah hancur. Begitupun dengan hidupnya. Istri dan sembilan anaknya ditinggalkan, dan selalu mendapatkan pengawasan ketat dari tentara.

Pada situasi yang sangat menekan psikologi inilah, dia menulis kritiknya dengan jernih tanpa membawa serta emosinya. Dalam dokumen penting itu, Supardjo tidak menganggap dirinya sebagai salah satu pimpinan yang bertanggung jawab dalam G30S.

Dia tidak punya pasukan dan tidak diberikan kepercayaan mengambil alih pimpinan untuk melakukan gerakan militer. Namun dapat diduga dia menulis KOK itu untuk Sudisman, pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masih hidup.

Supardjo memulai kritiknya dari awal keterlibatannya dalam G30S, yakni pada 30 September 1965. Sebagai prajurit terlatih, dia merasakan betapa G30S tidak memiliki perencanaan matang, pasukan yang jelas, dan kepemimpinan komando yang lemah.

Saat operasi militer dilangsungkan, Komandan G30S Letkol Untung keletihan karena sudah tiga hari berturut-turut mengawal Presiden Soekarno. Bahkan saat G30S akan dilancarkan, malamnya dia masih mengawal Soekarno di Istora Senayan.

Untung juga dianggap tidak bisa mengkoordinasikan pasukannya di Lobang Buaya. Hingga larut malam, kegiatan di Lobang Buaya masih terus berlangsung dan pasukan belum disiapkan. Bahkan, peluru-peluru dalam peti masih tersegel dan belum dibuka.

Saat malam jelang persiapan, pasukan yang siap dengan G30S hanya dari Tjakrabirawa. Bahkan, ada pimpinan dari G30S yang tiba-tiba mengundurkan diri dengan terang-terangan. Hal ini dipicu tidak adanya tujuan yang jelas dari G30S.

Sampai detik dilangsungkannya gerakan, tidak ada gambaran perang yang jelas dari pimpinan G30S. Apa yang harus dilakukan setelah peristiwa penyergapan tidak ada, bagaimana situasi lawan, dan kekuatan pasukan sendiri tidak ada gambaran.

Dalam situasi-situasi genting, pimpinan G30S bahkan lebih asyik diskusi antara pimpinan dari kelompok militer dan sipil. Kelompok militer di bawah kendali Untung, Latief dan Sudjono, serta sipil di bawah kendali Sjam, Bono dan DN Aidit.

"Ketika masuk berita bahwa Nasution tidak kena dan melarikan diri, kelompok pimpinan menjadi terperanjat, kehilangan akal, dan tidak berbuat apa-apa.. Selama 12 jam, jadi satu siang penuh, musuh dalam keadaan panik," terang Supardjo.

Dalam hukum militer, membiarkan musuh istrihat dan menyusun kekuatan adalah kesalahan yang sangat fatal. Namun, hal itulah yang terjadi. Nasution dan Soeharto akhirnya menyerang markas G30S di Halim dan berhasil menghancurkan gerakan itu.

Bahkan saat AURI menawarkan diri bergabung dengan G30S untuk melawan serangan Soeharto, pimpinan G30S sudah kehilangan semangat untuk menyerang. Akhirnya, pasukan dari RPKAD menyerang G30S dan situasi yang menjadi sangat kacau.

"Pasukan-pasukan pemuda belum biasa menghadapi perang yang sesungguhnya. Pada moment yang gawat itu, saya mengusulkan agar semua pimpinan saya pegang. Nanti bila situasi bisa diatasi, saya kembalikan lagi. Tetapi tidak ada jawaban," jelasnya.

Sebaliknya, pimpinan G30S malah menghentikan perlawanan masing-masing dan meminta semua pasukannya membubarkan untuk diri, sambil menunggu adanya perundingan. Tetapi yang terjadi, pasukan RPKAD malah terus menyerang dan menghancurkan PKI.

Beberapa hal lain yang menjadi catatan Supardjo adalah tidak dipenuhinya kebutuhan makan para prajurit, sehingga banyak prajurit G30S yang masuk ke Kostrad untuk mendapatkan makanan. Padahal, sebenarnya mereka sama juga menyerahkan diri.

"Akhirnya Nato (Nasution-Soeharto) cs memegang inisiatif dan memulai tegen offensifnya. Kekuatan G30S mereka kejar dan kesempatan yang lama mereka tunggu tidak disia-siakan, yaitu mengobrak-abrik PKI," terangnya.

Pada akhirnya, Supardjo menyalahkan Aidit karena telah membawa PKI ke dalam kehancuran yang sulit dipulihkan. Menurutnya, rencana awal revolusi akan dilakukan bertingkat. Tetapi tiba-tiba diubah oleh Aidit menjadi gerakan PKI seluruhnya.

Tingkat pertama dari revolusi bertingkat adalah menjadikan gerakan di dalam tubuh AD dengan jalan merebut pimpinan AD, mulai dari mengganti panglima, dan para komandannya dengan perwira-perwira yang demokratis revolusioner.

Tahap kedua, revolusi dipimpin oleh partai. Dimulai dengan mengerahkan massa partai yang dibayangi oleh militer-militer progresif, persis seperti yang dilakukan oleh kubu Nato cs saat menghancurkan PKI dan pemerintahan Soekarno.

Bila rencana revolusi bertingkat ini berhasil, maka keuntungannya adalah ketika tentara dipukul, maka partai yang tetap mempunyai legalitet untuk dapat melindungi militer. Tetapi yang terjadi sebaliknya, revolusi dipimpin partai.

"Kegagalan revolusi kita, disebabkan di antaranya dipindahkannya rencana operasi yang semula bersifat intern AD menjadi operasi yang langsung dipimpin partai, sehingga menyebabkan terseratnya partai dan obrak-abriknya partai," tukasnya.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang dokumen Supardjo dalam mengungkap kegagalan Gerakan 30 September 1965. Semoga memberikan manfaat.

Sumber Tulisan:
*Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah, Penerbit Buku Kompas, Juli 2010.
*H Maulwi Saelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66, Cetakan Ketiga, 2008.
*Victor M Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, Yayasan Obor Indonesia, Cetakan ke-4, September 2007.
*John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Hasta Mitra, Cetakan 1, 2008.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3795 seconds (0.1#10.140)