Detik-detik Mencekam Saat Banjir Bandang di Garut
A
A
A
GARUT - Selasa malam 20 September 2016, menjadi hari yang tak terlupakan bagi Dedeh Rinayani (34), warga Kampung Paris Dalam, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut, Jawa Barat.
Bagaimana tidak, pada malam itu ibu empat anak ini nyaris kehilangan anggota keluarganya. Saat arus banjir terjadi pada pukul 23.00 WIB malam itu, Rinayani dan keluarganya belum menyadari bila nyawa mereka tengah terancam.
Sebuah peringatan akan adanya banjir dari tetangga, membuat Dedeh dan suaminya, Abdul Haris (37), terbangun. “Saya langsung membangunkan anak-anak yang masih tertidur pulas," kata Dedeh saat ditemui di lokasi pengungsian Aula Makorem 062 Tarumanegara, Garut, Rabu (21/9/2016).
"Di saat yang sama, air sudah memasuki rumah kami. Saya tidak bisa membayangkan, kalau tidak ada yang membangunkan kami, mungkin saya sekeluarga tidak selamat,” imbuhnya.
Di tengah malam itu, dia menggendong seorang anaknya yang masih berusia enam bulan. Sementara tiga anaknya yang lain memegang erat bajunya agar tidak terseret air.
“Meski tinggi airnya baru sekitar lutut, arus air sangat kuat dan cukup kencang. Kami berusaha meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri,” ucapnya.
Dedeh tak hafal persis detik-detik peristiwa mencekam di tengah hujan lebat itu. Yang dia ingat, arus air dari arah Jalan Pembangunan mengalir deras dan mencoba memisahkan mereka.
“Airnya membesar dan meninggi dalam waktu yang cukup cepat. Saya berusaha berjalan dan memegangi kain yang menjadi gendongan anak paling kecil agar tidak jatuh dan terkena air. Tanpa saya sadari, tiga anak saya yang lain tiba-tiba hilang di dekat saya. Begitu juga suami, dia menghilang begitu saja,” ungkapnya.
Saat itu, dia mencoba pasrah dan merelakan orang-orang yang dicintainya tersebut. Dedeh berusaha untuk tetap hidup dan berjalan sekuat tenaga mencari pijakan.
“Akhirnya tibalah saya di benteng pinggiran jalan. Saya naik dan duduk selama kurang lebih dua jam di situ tanpa mengetahui di mana tiga anak dan suami saya. Bayi yang saya gendong menangis karena terkena basah air hujan,” ujarnya.
Di benteng pinggir jalan itu, Dedeh melihat arus air yang deras merangsek masuk ke permukiman mereka, hingga hanya menyisakan pemandangan berupa atap rumah. Di lokasi itu bukan hanya Dedeh yang berusaha menyelamatkan diri, ratusan warga lain tampak mencari tempat aman.
Sejumlah orang yang juga bermukim di kampungnya, juga ikut berusaha mencari posisi lebih tinggi. Tidak berlangsung lama, dia dikabari tetangganya bila anak-anaknya ditemukan.
“Alhamdulillah, satu per satu anak-anak saya ditemukan dalam keadaan selamat. Ada yang membawanya ke rumah sakit, ada juga yang membawa ke lokasi dataran lebih tinggi,” ucapnya.
Setelah berkumpul dengan anak-anaknya, Dedeh dan keempat anaknya kemudian dibawa petugas untuk dievakuasi ke tempat pengungsian Aula Makorem 062 Tarumanegara. Hingga Rabu siang pukul 11.00 WIB, Dedeh belum mengetahui kabar suaminya.
“Kembali lagi saya bersyukur, pada saat zuhur suami saya datang ke tempat pengungsian untuk mencari kami. Alhamdulillah kami dapat berkumpul dalam keadaan sehat,” ujar Dedeh.
Di saat yang sama, Abdul Haris membenarkan bila dirinya sempat terpisah dengan istri dan empat anaknya. Menurut Haris, ketika itu dia terseret arus dan terjebak oleh sejumlah kendaraan yang terparkir.
“Saya tidak bisa bergerak, mobil yang sedang diparkir di parkiran RSUD dr Slamet Garut, dengan mudah dipindahkan oleh arus air begitu saja. Sejak pagi hingga siang, saya mencari anak-anak dan istri, baru diketahui mereka ada di lokasi pengungsian,” imbuhnya.
Sekarang ini, Haris mengaku masalah yang dihadapi adalah mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal. “Rumah, surat-surat penting seperti akta kelahiran, pakaian termasuk seragam anak, berikut buku-bukunya, semua raib. Saya sudah mengecek, rumah yang menjadi tempat tinggal kami raib,” tutur Haris.
Apa yang dialami oleh Dedeh beserta keluarganya, merupakan sekelumit kisah para korban bencana banjir bandang asal Kampung Paris Dalam yang berhasil selamat.
Sebagian dari warga Kampung Paris Dalam, justru menjadi korban tewas dan hilang, karena permukiman itu merupakan salah satu lokasi terparah akibat diterjang banjir bandang.
Bagaimana tidak, pada malam itu ibu empat anak ini nyaris kehilangan anggota keluarganya. Saat arus banjir terjadi pada pukul 23.00 WIB malam itu, Rinayani dan keluarganya belum menyadari bila nyawa mereka tengah terancam.
Sebuah peringatan akan adanya banjir dari tetangga, membuat Dedeh dan suaminya, Abdul Haris (37), terbangun. “Saya langsung membangunkan anak-anak yang masih tertidur pulas," kata Dedeh saat ditemui di lokasi pengungsian Aula Makorem 062 Tarumanegara, Garut, Rabu (21/9/2016).
"Di saat yang sama, air sudah memasuki rumah kami. Saya tidak bisa membayangkan, kalau tidak ada yang membangunkan kami, mungkin saya sekeluarga tidak selamat,” imbuhnya.
Di tengah malam itu, dia menggendong seorang anaknya yang masih berusia enam bulan. Sementara tiga anaknya yang lain memegang erat bajunya agar tidak terseret air.
“Meski tinggi airnya baru sekitar lutut, arus air sangat kuat dan cukup kencang. Kami berusaha meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri,” ucapnya.
Dedeh tak hafal persis detik-detik peristiwa mencekam di tengah hujan lebat itu. Yang dia ingat, arus air dari arah Jalan Pembangunan mengalir deras dan mencoba memisahkan mereka.
“Airnya membesar dan meninggi dalam waktu yang cukup cepat. Saya berusaha berjalan dan memegangi kain yang menjadi gendongan anak paling kecil agar tidak jatuh dan terkena air. Tanpa saya sadari, tiga anak saya yang lain tiba-tiba hilang di dekat saya. Begitu juga suami, dia menghilang begitu saja,” ungkapnya.
Saat itu, dia mencoba pasrah dan merelakan orang-orang yang dicintainya tersebut. Dedeh berusaha untuk tetap hidup dan berjalan sekuat tenaga mencari pijakan.
“Akhirnya tibalah saya di benteng pinggiran jalan. Saya naik dan duduk selama kurang lebih dua jam di situ tanpa mengetahui di mana tiga anak dan suami saya. Bayi yang saya gendong menangis karena terkena basah air hujan,” ujarnya.
Di benteng pinggir jalan itu, Dedeh melihat arus air yang deras merangsek masuk ke permukiman mereka, hingga hanya menyisakan pemandangan berupa atap rumah. Di lokasi itu bukan hanya Dedeh yang berusaha menyelamatkan diri, ratusan warga lain tampak mencari tempat aman.
Sejumlah orang yang juga bermukim di kampungnya, juga ikut berusaha mencari posisi lebih tinggi. Tidak berlangsung lama, dia dikabari tetangganya bila anak-anaknya ditemukan.
“Alhamdulillah, satu per satu anak-anak saya ditemukan dalam keadaan selamat. Ada yang membawanya ke rumah sakit, ada juga yang membawa ke lokasi dataran lebih tinggi,” ucapnya.
Setelah berkumpul dengan anak-anaknya, Dedeh dan keempat anaknya kemudian dibawa petugas untuk dievakuasi ke tempat pengungsian Aula Makorem 062 Tarumanegara. Hingga Rabu siang pukul 11.00 WIB, Dedeh belum mengetahui kabar suaminya.
“Kembali lagi saya bersyukur, pada saat zuhur suami saya datang ke tempat pengungsian untuk mencari kami. Alhamdulillah kami dapat berkumpul dalam keadaan sehat,” ujar Dedeh.
Di saat yang sama, Abdul Haris membenarkan bila dirinya sempat terpisah dengan istri dan empat anaknya. Menurut Haris, ketika itu dia terseret arus dan terjebak oleh sejumlah kendaraan yang terparkir.
“Saya tidak bisa bergerak, mobil yang sedang diparkir di parkiran RSUD dr Slamet Garut, dengan mudah dipindahkan oleh arus air begitu saja. Sejak pagi hingga siang, saya mencari anak-anak dan istri, baru diketahui mereka ada di lokasi pengungsian,” imbuhnya.
Sekarang ini, Haris mengaku masalah yang dihadapi adalah mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal. “Rumah, surat-surat penting seperti akta kelahiran, pakaian termasuk seragam anak, berikut buku-bukunya, semua raib. Saya sudah mengecek, rumah yang menjadi tempat tinggal kami raib,” tutur Haris.
Apa yang dialami oleh Dedeh beserta keluarganya, merupakan sekelumit kisah para korban bencana banjir bandang asal Kampung Paris Dalam yang berhasil selamat.
Sebagian dari warga Kampung Paris Dalam, justru menjadi korban tewas dan hilang, karena permukiman itu merupakan salah satu lokasi terparah akibat diterjang banjir bandang.
(maf)