Penolakan Ovi Jadi Bupati OI Meluas

Sabtu, 17 September 2016 - 18:53 WIB
Penolakan Ovi Jadi Bupati OI Meluas
Penolakan Ovi Jadi Bupati OI Meluas
A A A
INDRALAYA - Aksi penolakan Ahmad Wazir Nofiandi atau Ovi menjadi bupati definitif makin meluas. Salah satunya di laman www.change.org yang dikirimkan oleh gerakan aksi diskusi dan aksi (Garda) Sriwijaya. Selama tiga hari, jumlah kunjungan dan tandatangan sudah mencapai 529 orang.

“Pertanyaaanya, apakah kita sebagai masyarakat yang intelektual mau dipimpin oleh pemimpin yang sakau?. Tentunya, tidak,” tulis petisi tersebut.

Dalam petisi yang berjudul Tolak Bupati Ogan Ilir Pecandu Narkoba, Garda Sriwijaya memaparkan tiga tuntutan.

Mereka menuntut DPRD sebagai perwakilan rakyat untuk melaksanakan rapat paripurna membahas pelanggaran sumpah jabatan yang dilakukan Ovi, sekaligus mengajukan SK pemberhentian bupati yang hanya dihukum rehabilitasi selama enam bulan kepada Presiden untuk kemudian diproses oleh Mahkamah Agung.

Selain itu, DPRD juga menggunakan hak angketnya untuk menyelidiki berkas verifikasi tes kesehatan saat tahapan Pilkada, 2015.

Dalam petisi tersebut, juga mempertanyakan fungsi DPRD Ogan Ilir sebagai penyalur aspriasi masyarakat.
Kalangan DPRD Ogan Ilir seakan tutup mata terhadap penyimpangan yang dilakukan bupati non aktif.

“Lalu apakah fungsi DPRD telah mati bukankah kita tahu bahwa DPRD memiliki peran penting dalam kasus ini sesuai dengan Pasal 80 dan 81 UU No23 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah. Wahai DPRD bijaklah dalam menanggapi kasus ini! ingatlah suara rakyat adalah suara yang harus kalian dengar dan kalian perjuangkan,” tulisan dari petisi tersebut.

Tulisan penolakan petisi juga seiring dengan makin banyak opini ahli hukum yang menyatakan jika Ovi sebenarnya secara etik sudah tidak bisa menjadi pemimpin Kabupaten Ogan Ilir.

Pakar hukum asal Palembang, Jimly Asshiddiqie menyatakan peluang Ovi untuk kembali menjadi bupati memang bisa. Akan tetapi, dia mengingatkan agar hukum yang menjadi panglima hendaknya dibuat lebih beretika.

“Saya menilai keputusan hakim tidak sebanding. Ada pengguna narkoba lain, tapi dihukum lebih berat. Ini, cerminan jika hukum sudah dibuat tidak beretika lagi,” ujarnya usai melantik kepengurusan ICMI Sumsel, di Griya Agung, beberapa waktu yang lalu.

Dia mengatakan dari segi etik, penggunaan narkoba oleh kepala daerah merupakan masalah serius. Sehingga, penegak hukum sebaiknya tidak berlindung dibalik kontekstual hukum.

“Roh hukum itu dietik, hukum jangan jadi alat yang dipermain-maikan, sehingga menjadi tidak beretika. Roh hukum itu, pada etik. Jadi sangat disayangkan, jika kepala daerah pengguna narkoba harus dipercaya lagi,” ungkapnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6489 seconds (0.1#10.140)