Dua Buah Batu Cikabuyutan di Pangandaran Hilang
A
A
A
PANGANDARAN - Keberadaan dua buah batu Cikabuyutan yang merupakan batu sejarah warga Dusun Binangun, Desa Kondangjajar, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran masih dicari sejumlah tokoh budayawan.
Salah satu budayawan Kabupaten Pangandaran Abah Kundil mengatakan, batu bersejarah tersebut berbentuk gajah yang terdiri dari tiga buah diantaranya kepala, badan dan ekor, namun dari ke tiga buah batu hanya ada bagian kepalanya saja.
"Berdasarkan keterangan ahli sejarah, batu Cikabuyutan ini sudah ada sejak tahun 1800, masyarakat meyakini batu tersebut merupakan salah satu simbol pemberi informasi jika akan terjadi bencana alam," kata Abah Kundil.
Batu tersebut pertama kali digunakan oleh para orangtua terdahulu bernama Aki Geude dan Nini Geude. Bila akan terjadi bencana alam, batu Cikabuyutan biasanya berputar dan mengeluarkan dentuman suara yang menggelegar.
"Kalau batu itu berputar dan mengeluarkan suara mengelegar Aki Geude dan Nini Geude langsung memberi kabar ke masyarakat akan terjadi bencana alam dan harus berhati-hati," tambah Abah Kundil.
Pada tahun 1970 ke tiga batu Cikabuyutan sempat menghilang dan ditemukan oleh Eyang Ajasana namun tidak lama setelah ditemukan kembali menghilang dan pada tahun 1990 ditemukan lagi oleh Abah Asnawi namun ditempat yang berbeda.
"Abah Asnawi menemukan batu Cikabuyutan di komplek Bandara Udara Nusawiru dan berdasarkan kesepakatan para tokoh akhirnya dikembalikan ke tempat asal," papar Abah Kundil.
Abah Kundil menjelaskan, saat ini para tokoh budayawan masih mencari keberadaan sebagian dua batu Cikabuyutan bagian badan dan ekornya.
Sementara Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Pangandaran Erik Krisna Yudha Astawijaya Saputra mengatakan, pihaknya akan melakukan pendataan barang purbakala dan diajukan sebagai objek wisata edukasi.
"Kami akan kembali mendata barang peninggalan bersejarah dan kedepannya akan dijadikan lokasi penelitian ilmiah," kata Erik.
Erik berpesan, masyarakat yang mengetahui keberadaan dua batu Cikabuyutan untuk berkoordinasi dengannya supaya barang bersejarah tersebut terdata dan tertata sesuai keasliannya.
Salah satu budayawan Kabupaten Pangandaran Abah Kundil mengatakan, batu bersejarah tersebut berbentuk gajah yang terdiri dari tiga buah diantaranya kepala, badan dan ekor, namun dari ke tiga buah batu hanya ada bagian kepalanya saja.
"Berdasarkan keterangan ahli sejarah, batu Cikabuyutan ini sudah ada sejak tahun 1800, masyarakat meyakini batu tersebut merupakan salah satu simbol pemberi informasi jika akan terjadi bencana alam," kata Abah Kundil.
Batu tersebut pertama kali digunakan oleh para orangtua terdahulu bernama Aki Geude dan Nini Geude. Bila akan terjadi bencana alam, batu Cikabuyutan biasanya berputar dan mengeluarkan dentuman suara yang menggelegar.
"Kalau batu itu berputar dan mengeluarkan suara mengelegar Aki Geude dan Nini Geude langsung memberi kabar ke masyarakat akan terjadi bencana alam dan harus berhati-hati," tambah Abah Kundil.
Pada tahun 1970 ke tiga batu Cikabuyutan sempat menghilang dan ditemukan oleh Eyang Ajasana namun tidak lama setelah ditemukan kembali menghilang dan pada tahun 1990 ditemukan lagi oleh Abah Asnawi namun ditempat yang berbeda.
"Abah Asnawi menemukan batu Cikabuyutan di komplek Bandara Udara Nusawiru dan berdasarkan kesepakatan para tokoh akhirnya dikembalikan ke tempat asal," papar Abah Kundil.
Abah Kundil menjelaskan, saat ini para tokoh budayawan masih mencari keberadaan sebagian dua batu Cikabuyutan bagian badan dan ekornya.
Sementara Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Pangandaran Erik Krisna Yudha Astawijaya Saputra mengatakan, pihaknya akan melakukan pendataan barang purbakala dan diajukan sebagai objek wisata edukasi.
"Kami akan kembali mendata barang peninggalan bersejarah dan kedepannya akan dijadikan lokasi penelitian ilmiah," kata Erik.
Erik berpesan, masyarakat yang mengetahui keberadaan dua batu Cikabuyutan untuk berkoordinasi dengannya supaya barang bersejarah tersebut terdata dan tertata sesuai keasliannya.
(nag)