Jejak Bung Karno di Bengkulu

Senin, 29 Agustus 2016 - 05:05 WIB
Jejak Bung Karno di Bengkulu
Jejak Bung Karno di Bengkulu
A A A
BUNG KARNO dipindahkan ke Bengkulu dari Endeh, Flores, pada 1938. Kedatangan Bung Karno ke Bengkulu sebagai orang buangan disambut masyarakat sebagai seorang pemimpin besar. Apa saja kegiatan Bung Karno di Bengkulu?

Dimulai dari kabar sakitnya Bung Karno saat dalam pembuangan Endeh. Di kota kecil daerah pedalaman itu, Bung Karno menderita sakit malaria parah, dan hampir tewas karenanya. Kabarnya sakitnya Bung Karno ini sampai ke Jakarta.

"Ketika berita mengenai keadaanku yang sedang sakit keras sampai di Jakarta, Thamrin mengajukan protes di Volksraad," kata Bung Karno, dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 165.

Protes Thamrin di Voksraad rupanya mendapat perhatian Den Haag yang segera mengambil tindakan terhadap Bung Karno. Dengan menggunakan kapal dagang, Bung Karno diangkut secara diam-diam dari Pelabuhan Merak menuju Bengkulu.

"Terasing oleh jajaran Bukit Barisan.. Negeri ini tidak mempunyai arti penting. Juga tidak dalam hal persahabatan. Daerah yang dikenal sebagai benteng Islam itu masih sangat kolot," sambung Bung Karno, dalam halaman 166.

Meski demikian, Bengkulu tetap lebih baik dari Endeh. Endeh hanya kota kecil di pedalaman pulau terpencil. Sedang Bengkulu, kota provinsi yang ramai, pusat kota keresidenan, dan tempat para saudagar, serta pekebun kecil.

Selama di Bengkulu, Bung Karno menerima uang tunjangan sebesar 150 gulden yang setiap bulan diambilnya dari kantor LCM Jaquet. Dia tinggal bersama istrinya di rumah yang berdiri lepas serta luas, di Jalan Anggoet Atas.

Saat itu, usia Bung Karno telah menginjak 37 tahun. Sedangkan istrinya Inggit Garnasih, telah berusia 50 tahun. Di tempat pengasingan inilah, hubungan rumah tangga Bung Karno dengan Inggit mulai mengalami keretakan.

"Setiap orang memiliki anak. Setiap orang, kecuali Soekarno. Inggit tidak mampu memberiku anak, sehingga sebagian dari diriku dan sebagian dari hidupku terasa hampa," keluh Bung Karno, masih dalam buku yang sama, halaman 168.

Selain Inggit, rumah itu juga dihuni oleh beberapa orang lainnya. Terdiri dari Omi yang kerap dipanggil Ratna, Kartika, Riwu yang merupakan pengawal pribadi Bung Karno, dan dua orang pembantu rumah tangga.

Sebagai pegawai negeri Hindia Belanda yang mengurus tunjangan Bung Karno di Bengkulu, LCM Jaquet kerap berkunjung ke Jalan Anggoet Atas. Saat pertama berkunjung, dia langsung kagum dengan pribadi Bung Karno yang ramah.

Dalam kenangannya, Bung Karno memiliki banyak sekali koleksi buku-buku bacaan, dan foto kegiatan selama berada di Bengkulu. Namun, saat ini buku-buku dan foto-foto tersebut sudah banyak yang hilang tidak jelas rimbanya.

Saat penulis melakukan kunjungan ke rumah pengasingan Bung Karno, pada Kamis 25 Agustus 2016, bangunan itu masih tampak kokoh dengan halaman depan yang hijau dan luas. Rumah itu memiliki beberapa ruangan dan dicat putih.

Pada ruang depan, ada meja kecil dan beberapa lemari buku. Dari buku-buku yang terpampang, penulis menduga itu bukan peninggalan Bung Karno, karena buku-buku tersebut cetakan terbaru. Buku-buku itu juga tidak tertata.

Begitupun dengan foto-foto yang terpampang di dinding kamar, bukan foto aslinya, melainkan hasil kopian. Foto-foto tampak sangat kabur, menunjukkan kualitas cetakan yang rendah. Namun, ada yang menarik dari foto itu.

Pada ruangan yang terdapat lemari pakaian pemain sandiwara Monte Carlo yang dibentuk Bung Karno untuk mengisi rasa jenuh, terdapat satu foto seluruh pemain sandiwara. Bung Karno tampak duduk di tengah-tengah para seniman itu.

Penulis juga melihat ruang kecil yang diduga sebagai tempat bekerja Bung Karno. Ruang itu memiliki satu meja kecil dan bangku. Pada bagian tengah rumah itu, terdapat sepeda Fongers milik Bung Karno yang sangat bersejarah.

Sepeda ini disimpan dalam lemari kaca, dan masih tampak kokoh. Masuk ke kiri dan kanan ruangan, terdapat kamar tidur yang masing-masingnya terdapat satu ranjang sederhana ukuran sedang, dengan kelambu dan seprai putih.

Bagian belakang rumah juga terdapat sedikit halaman. Saat penulis berkunjung ka rumah itu, banyak masyarakat yang datang berkunjung, baik pemuda, maupun orang dewasa dan orangtua dengan anak-anak mereka yang masih kecil.

Jika dalam pembuangan Endeh, Bung Karno tampil sebagai orang yang rajin beribadah. Di Bengkulu, Bung Karno aktif dalam perkumpulan Muhammadiyah. Dia bahkan dipilih sebagai Ketua Dewan Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu.

Bung Karno juga aktif dalam Komite Pembangunan Masjid Jamik yang berada tidak jauh dari rumahnya. Selain itu, dia juga mengajar murid perempuan Taman Siswa di rumahnya setiap Minggu, dan bekerja di perusahaan mebel temannya.

Perusahaan mebel itu milik Oey Tjeng Hien alias Abdul Karim. Bung Karno banyak merancang berbagai bentuk meja, kursi, dan lemari. Keterlibatan Bung Karno dalam usaha ini diabadikan menjadi nama perusahaan.

Nama perusahaan itu adalah "Peroesahaan Meubel Soeka Merindoe du bawah Pimpinan Ir Soekarno." Di samping itu, Bung Karno juga aktif menulis untuk Pandji Islam, majalah Muhammadiyah yang terbit di Medan, dan harian Pemandangan.

Selama berkecimpung di Muhammadiyah cabang Bengkulu, Bung Karno banyak melakukan modernisasi. Seperti melepas tabir atau kain pemisah antara jamaah perempuan dan laki-laki yang berada di dalam musala atau masjid.

Menurut Bung Karno, tabir adalah bentuk diskriminasi dan perbudakan terhadap kaum perempuan yang tidak diharuskan dan dikehendaki oleh Allah SWT. Saat pertama kali melihat tabir, Bung Karno protes dan meninggalkan musala.

Peristiwa itu terjadi pada awal 1939, saat pertama kali dia menghadiri pertemuan sosial dengan istrinya sebagai orang buangan. Sikap tegas Bung Karno terhadap tabir menimbulkan reaksi hebat dari umat Islam waktu itu.

Namun, ada pendapat lain mengenai protes Bung Karno terhadap tabir. Yakni, Bung Karno ingin melihat wanita pujaan hatinya, yaitu Fatmawati, wanita yang kemudian dinikahinya, pada 1943, setelah menceraikan Inggit Garnasih.

Selain soal tabir, terbosan Bung Karno lainnya adalah menganai pembangunan Masjid Jamik. Sebelum mendapat sentuhan Bung Karno, masjid itu tampak sangat tidak bergairah, kotor, tidak terpelihara, dan kelihatan tua.

"Aku kemudian merancang sebuah masjid dengan tiang-tiang yang indah, ukiran sederhana, dan pagar tembok putih yang tidak ruwet," terangnya, seperti dikutip dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, halaman 167.

Saat ini, masjid Jamik masih berdiri kokoh dan terlihat megah. Tiang-tiang besar berdiri mengelilingi masjid. Pada sisi kiri dan kanannya terdapat menara kembar tinggi. Namun sayang, masjid ini terlihat sedikit kotor.

Sampai di sini ulasan singkat Jejak Bung Karno di Bengkulu diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca.

Sumber Tulisan
*Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Edisi Revisi, Yayasan Bung Karno dan Penerbit Media Pressindo, Cetakan Kedua, 2011.
*Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Sebuah Biografi 1901-1945, Hasta Mitra, Jakarta 2003.
*Lambert Giebels, Soekarno, Biografi 1901-1950, Grasindo, Jakarta, 2001.
*Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, LP3ES, Cetakan Pertama, Desember 1987.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3999 seconds (0.1#10.140)