Tuntut Hak, Buruh PT Yakita Mulia Dicap Komunis
A
A
A
MEDAN - Ratusan buruh/pekerja pabrik PT Yakita Mulia, di Jalan Pulau Pinang II, Kawasan Industri Medan (KIM) II Mabar protes pernyataan pengusaha yang menyebut pekerjanya komunis.
Suprayitno, salah satu pekerja dalam orasinya mengatakan, pernyataan pimpinan perusahaan itu sangat menyesatkan, dan menimbulkan keresahan bagi para pekerja. Tuduhan komunis itu dapat menimbulkan kerusuhan berbau SARA.
“Kami tidak terima dengan pernyataan Susi Angat (pemilik perusahaan) itu. Sebab kami selaku pekerja dituduhnya sebagai komunis,” kata Suprayitno, dalam orasinya, Kamis (4/8/2016).
Padahal, sambung dia, selama ini pimpinan perusahaan tempatnya bekerja sudah melakukan intimidasi dan beberapa orang diantaranya sudah dipecat. Namun, karena pekerjanya terus melakukan perlawanan, timbullah tuduhan komunis itu.
"Pemimpin perusahaan itu menuduh Komunis agar para pekerja takut dan tidak meminta haknya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003," terangnya.
Menurutnya, cara ini dilakukan pengusaha agar tidak membayarkan hak para pekerja, yang sudah bekerja selama 25 tahun di pabrik itu. Terlebih, tuduhan komunis itu sangat menyakitkan.
“Aku tak menyangka, ternyata cara Orde Baru masih digunakan sampai saat ini. Karena pada jaman itu memang kata komunis itu sangat ampuh untuk mengusir, atau bahkan menghakimi seseorang agar meninggalkan harta bendanya," terangnya.
Dia menjelaskan, selain menyinggung perasaan para pekerja tersebut, pernyataan manajemen perusahaan juga menyinggung soal SARA. “Yang melontarkan kata-kata itu berbeda agama dengan kami pekerja, jadi tidak pantas diungkapkan," jelasnya.
Apalagi, perusahaan tempatnya bekerja selama ini memproduksi kulit dan daging binatang/hewan yang dilindungi.
“Pabrik ini mengolah kulit hewan menjadi bahan pembuat tas, dompet, sepatu, dan lainnya. Sedangkan daging hewan tersebut dikirim ke Singapura, dan Cina, serta negara-negara barat,” ungkap dia.
Menurut dia, pabrik tempatnya bekerja menjadikan kulit tringgiling dan buaya sebagai bahan utamanya. Namun, pasca penggerebekan Tim Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Mabes Polri pada 2015, kini hanya fokus mengolah kulit buaya.
“Saat penggerebekan itu, pabrik ini langsung membakar habis seluruh tringgiling yang sudah diawetkan. Dan sekarang bahan utamanya adalah kulit buaya,” terangnya.
Sementara itu, Kasubbid Penerangan Masyarakat (Penmas) Polda Sumut Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) MP MP Nainggolan meminta agar para pekerja/buruh melapor ke polres atau Polda Sumut.
“Silahkan dulu dilaporkan pengusahanya ke polres atau ke polda, supaya kita pelajari apakah ada unsur pidananya atau tidak,” kata Nainggolan.
Sedangkan pengolahan kulit binatang yang dijadikan sebagai bahan produksi utama pabrik tersebut akan segera diselidiki dan ditindak lanjuti oleh Polda Sumut.
“Untuk kasus ini, kita akan selidiki benar atau tidak, jika itu benar, maka pemilik pabrik ini bisa dipidana,” pungkasnya.
Suprayitno, salah satu pekerja dalam orasinya mengatakan, pernyataan pimpinan perusahaan itu sangat menyesatkan, dan menimbulkan keresahan bagi para pekerja. Tuduhan komunis itu dapat menimbulkan kerusuhan berbau SARA.
“Kami tidak terima dengan pernyataan Susi Angat (pemilik perusahaan) itu. Sebab kami selaku pekerja dituduhnya sebagai komunis,” kata Suprayitno, dalam orasinya, Kamis (4/8/2016).
Padahal, sambung dia, selama ini pimpinan perusahaan tempatnya bekerja sudah melakukan intimidasi dan beberapa orang diantaranya sudah dipecat. Namun, karena pekerjanya terus melakukan perlawanan, timbullah tuduhan komunis itu.
"Pemimpin perusahaan itu menuduh Komunis agar para pekerja takut dan tidak meminta haknya, sebagaimana diatur dalam Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003," terangnya.
Menurutnya, cara ini dilakukan pengusaha agar tidak membayarkan hak para pekerja, yang sudah bekerja selama 25 tahun di pabrik itu. Terlebih, tuduhan komunis itu sangat menyakitkan.
“Aku tak menyangka, ternyata cara Orde Baru masih digunakan sampai saat ini. Karena pada jaman itu memang kata komunis itu sangat ampuh untuk mengusir, atau bahkan menghakimi seseorang agar meninggalkan harta bendanya," terangnya.
Dia menjelaskan, selain menyinggung perasaan para pekerja tersebut, pernyataan manajemen perusahaan juga menyinggung soal SARA. “Yang melontarkan kata-kata itu berbeda agama dengan kami pekerja, jadi tidak pantas diungkapkan," jelasnya.
Apalagi, perusahaan tempatnya bekerja selama ini memproduksi kulit dan daging binatang/hewan yang dilindungi.
“Pabrik ini mengolah kulit hewan menjadi bahan pembuat tas, dompet, sepatu, dan lainnya. Sedangkan daging hewan tersebut dikirim ke Singapura, dan Cina, serta negara-negara barat,” ungkap dia.
Menurut dia, pabrik tempatnya bekerja menjadikan kulit tringgiling dan buaya sebagai bahan utamanya. Namun, pasca penggerebekan Tim Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Mabes Polri pada 2015, kini hanya fokus mengolah kulit buaya.
“Saat penggerebekan itu, pabrik ini langsung membakar habis seluruh tringgiling yang sudah diawetkan. Dan sekarang bahan utamanya adalah kulit buaya,” terangnya.
Sementara itu, Kasubbid Penerangan Masyarakat (Penmas) Polda Sumut Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) MP MP Nainggolan meminta agar para pekerja/buruh melapor ke polres atau Polda Sumut.
“Silahkan dulu dilaporkan pengusahanya ke polres atau ke polda, supaya kita pelajari apakah ada unsur pidananya atau tidak,” kata Nainggolan.
Sedangkan pengolahan kulit binatang yang dijadikan sebagai bahan produksi utama pabrik tersebut akan segera diselidiki dan ditindak lanjuti oleh Polda Sumut.
“Untuk kasus ini, kita akan selidiki benar atau tidak, jika itu benar, maka pemilik pabrik ini bisa dipidana,” pungkasnya.
(san)