Syeikh Sulaiman, Ulama yang Sangat Peduli Pendidikan dan Politik
A
A
A
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli al-Minangkabawi, lahir di Candung, sekitar 10 km sebelah timur Bukittinggi, Sumatera Barat, 1287 H/1871 M.
Oleh para muridnya beliau kebih dikenal dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman. Sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya.
Sebelum meneruskan studinya ke Mekkah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur, Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara, Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi.
Kemudian, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dan masih banyak lagi.
Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak, Tok Kenali.
Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukittinggi, Sumatera.
Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928.
Meski begitu, kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.
Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren.
Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia.
Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian.
Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh, Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah madzhab Syafii.
Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafii.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Beliau seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya.
Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafii.
Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama.
Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafii dan tarekat Naqsybandiyah.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabiul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.
Pada hari beliau dikebumikan, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.
Sumber:
wikipedia
sachrony.wordpress
diolah dari berbagai sumber
Oleh para muridnya beliau kebih dikenal dengan nama Maulana Syeikh Sulaiman. Sejak kecil memperoleh pendidikan awal, terutama dalam bidang pelajaran agama, dari ayahnya.
Sebelum meneruskan studinya ke Mekkah, Sulaiman ar-Rasuli pernah belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Pada masa itu Masyarakat Minang masih menggunakan sistem pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan keagamaan.
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur, Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara, Syeikh Khathib Ali al-Minangkabawi.
Kemudian, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minangkabawi dan masih banyak lagi.
Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak, Tok Kenali.
Sekembalinya dari Mekah, Syeikh Sulaiman mendirikan pondok pesantren di tanah kelahirannya di Bukittinggi, Sumatera.
Beliau berusaha untuk mempertahankan pengajaran menurut sistem pondok. Namun pada akhirnya, pengajian sistem pondok secara halaqah dengan bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mulai dikombinasikan menjadi sistem persekolahan, duduk di bangku pada 1928.
Meski begitu, kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah. Bahkan sistem halaqoh ala pondok pesantren juga tetap dilaksanakan hingga saat ini.
Dalam waktu singkat, pesantren yang didirikannya mendapat dukungan penuh dari masyarakat sekitarnya. Dukungan ini mendorong bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu di pesantren.
Murid-murid yang belajar di pesantren tersebut tidak hanya berasal dari daerah setempat, melainkan juga datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan, ada yang datang dari Malaysia.
Selain aktif di dunia pendidikan agama, Syeikh Sulaiman juga aktif di dunia politik dan keorganisasian.
Sejak tahun 1921, ia bersama dua teman akrabnya, Syeikh Abbas dan Syeikh Muhammad Jamil, serta sejumlah ulama ‘kaum tua‘ (golongan ulama yang tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh, Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, membentuk organisasi bernama ‘Ittihadul Ulama Sumatera‘ (Persatuan Ulama Sumatera) yang bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah madzhab Syafii.
Salah satu kegiatannya adalah menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafii.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, sempat dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Beliau seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang mengunjunginya.
Demikian juga pemimpin-pemimpin bangsa setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa, sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.
Tokoh ini adalah seorang ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Beliau adalah golongan Kaum Tua yang sangat gigih mempertahankan Mazhab Syafii.
Syeikh Sulaiman menyampaikan pesan bahwa dengan memajukan pendidikan, maka umat Islam akan dapat bangkit dan berkiprah lebih aktif dalam usaha membangun bangsa dan agama.
Syeikh Sulaiman berjasa besar dalam mengembangkan paham Sunni Syafii dan tarekat Naqsybandiyah.
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli wafat dalam usia 85 tahun, yaitu bertepatan dengan tanggal 28 Rabiul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, dan dimakamkan di Komplek Madrasah Tarbiyyah Islamiyyah, Candung, Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.
Pada hari beliau dikebumikan, diperkirakan tiga puluh ribu umat Islam dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya hadir untuk memberikan penghormatan terakhir pada jasad Beliau, termasuk para pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.
Sumber:
wikipedia
sachrony.wordpress
diolah dari berbagai sumber
(nag)