Bunga-Bunga Revolusi, Pelacur Bandung dalam Perjuangan Kemerdekaan

Senin, 25 Juli 2016 - 05:05 WIB
Bunga-Bunga Revolusi, Pelacur Bandung dalam Perjuangan Kemerdekaan
Bunga-Bunga Revolusi, Pelacur Bandung dalam Perjuangan Kemerdekaan
A A A
PERAN wanita dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Tercatat, ada sejumlah nama besar pahlawan perang wanita Indonesia, yang dengan menyebut namanya saja sanggup membuat bergidik para serdadu Belanda.

Sebut saja pahlawan perang wanita asal Aceh Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia, yang dengan gagah berani mengangkat senjata bertempur dengan pasukan Belanda. Juga ada Martha Christina Tiahahu, wanita tangguh dari Maluku.

Namun, kali ini pembahasan kita bukan wanita perkasa yang mengangkat senjata di medan perang, dan banyak membunuh para serdadu Belanda. Pahlawan wanita kita saat ini adalah kaum marjinal, kupu-kupu malam, pelacur jalanan.

Dengan menggunakan tipu muslihat dan kemolekan tubuhnya, para wanita malang ini ikut berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kisah mereka diabadikan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Mereka inilah yang disebut sebagai bunga-bunga revolusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama mereka memang tidak pernah disebut, bahkan diingat dalam sejarah resmi perjuangan kemerdekaan yang disusun oleh pemerintah.

Mengorganisir para pelacur dan tempat prostitusi atau lokalisasi untuk perjuangan kemerdekaan, bagi sebagian orang memang dianggap hal yang memalukan dan menjijikan. Tetapi tidak menurut Presiden Indonesia pertama Ir Soekarno.

Menurutnya, para pelacur merupakan tenaga potensial yang bisa dimanfaatkan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam dada mereka juga terdapat nasionalisme, seperti rakyat Indonesia lainnya yang menginginkan kemerdekaan.

Sebagai contoh, Soekarno mengambil Madame Pompadour, pelacur yang sangat tersohor dalam sejarah. Juga Theroigne de Merricourt, pemimpin revolusi Prancis. Serta barisan roti di Versailles, di mana para pelacur berperan besar.

Di Bandung, Soekarno memiliki tentara khusus yang terdiri dari wanita cantik, berprofesi sebagai pelacur. Mereka semua telah mendapatkan pendidikan dan lahan khusus dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di bidang politik.

"Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia. Aku telah membuktikannya di Bandung. Dalam keanggotaan PNI di Bandung, terdapat 670 orang perempuan yang berprofesi demikian," katanya, seperti dikutip dalam buku Cindy Adams.

Lebih jauh, Soekarno mengatakan, "Kalau menghendaki mata-mata yang hebat, berilah aku seorang pelacur yang baik."

Saat PNI tengah melangsungkan rapat, para pelacur ini akan bekerja mendekati polisi-polisi Belanda dan membuatnya terlibat dalam permainan cinta yang penuh nafsu, semata-mata agar mereka mengabaikan tugasnya memata-matai PNI.

Begitupun ketika Soekarno memerlukan suatu informasi penting dari seorang polisi Belanda, maka para pelacur itulah yang akan bekerja untuknya. Dari para pelacur inilah, Soekarno dan PNI dapat mengetahui informasi rahasia itu.

"Polisi-polisi yang tolol ini tidak pernah mengetahui, dari mana datangnya informasi yang kami peroleh. Tak satu pun laki-laki anggota partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas ini untukku!" sambung Soekarno.

Manfaat besar lainnya yang bisa diperoleh Soekarno dan PNI dengan mengorganisir para pelacur itu adalah penyumbang keuangan partai. Ketimbang anggota PNI lainnya, para pelacur inilah yang rela menyisihkan uangnya untuk partai.

Bukan hanya penyumbang terbesar keuangan partai, para pelacur ini ternyata menjadi magnet bagi PNI setiap kali ada rapat. Para anggota biasa banyak yang tertarik datang rapat, hanya agar bisa melihat para wanita cantik itu.

"Tentara khusus ini, yang semula jasanya diperlukan untuk mengambil bagian di bidang politik saja, ternyata (juga) memperlihatkan hasil yang hebat di bidang lain. Mereka memiliki daya tarik seperti besi berani," ungkap Soekarno.

Sumbangan lain yang bisa dipetik dengan mengorganisir para pelacur dan tempat-tempat prostitusi itu adalah untuk mengetahui siapa saja anggota-anggota partai yang dibayar oleh Belanda untuk menjadi musuh dalam selimut.

Dalam setiap partai, selalu saja ada cecunguk-cecunguk macam ini. Tidak jarang, para pelacur itu jugalah yang jadi cecunguknya. Soekarno yang sadar akan masalah penting ini, lantas membuat penyaringan berlapis keanggotaan partai.

Selama enam bulan sampai setahun, para perempuan malam ini akan menjadi calon anggota. Dengan begitu, Soekarno dan anggota partai lainnya dapat mengawasi mereka sambil terus menerima informasi-informasi penting dari mereka.

Setelah berhasil melawati berbagai ujian itu, dan merasa yakin para pelacur tersebut bisa dipercaya dan tidak akan membocorkan rahasia partai, mereka akan diangkat sebagai mata-mata. Mereka inilah yang disebut pasukan khusus.

Sebagai pelacur jalanan, pasukan khusus Soekarno dan PNI ini kerap berhadapan dengan hukum. Pernah suatu ketika, mereka terjaring razia polisi kolonial dan diancam dengan hukuman penjara tujuh hari atau denda lima rupiah.

Saat itu, Soekarno meminta kepada mereka yang terjaring razia agar memilih dipenjara saja. Instruksi Soekarno ini dipatuhi dan sebanyak 40 orang pelacur dipenjara. Hal ini membuat penjara di kantor polisi saat itu penuh sesak.

Selama berada dipenjara, para wanita ini diharuskan mengenali dan mengingat satu persatu nama Belanda polisi yang menangkap mereka. Tujuannya, agar setelah bebas mereka bisa merayu para polisi itu saat bersama istrinya.

Dengan taknik ini, Soekarno berhasil menciptakan perang urat saraf dan membuat para polisi berada dalam kesulitan, karena masing-masing istri polisi itu mengira suami mereka telah bermain mata dengan wanita tidak terhormat.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang bunga-bunga revolusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, ini diakhiri. Semoga memberikan manfaat kepada pembaca.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0793 seconds (0.1#10.140)