Jejak Perjuangan dan Keteladanan Kasman Singodimedjo
A
A
A
RADEN Kasman Singodimedjo sangat berjasa bagi negeri ini. Siapa dia dan seperti apa perjuangannya?
Kasman Singodimedjo lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904. Ayahnya adalah H Singodimedjo, pernah menjabat sebagai penghulu, carik (sekretaris desa), dan Polisi Pamong Praja di Lampung Tengah.
Kasman mengenyam pendidikan awal di sekolah desa di Purworejo. Selanjutnya, dia masuk Holland Indische School (HIS) di Kwitang, Jakarta. Ia pindah ke HIS Kutoarjo, kemudian ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelang.
Selain menuntut ilmu, Kasman juga belajar pengetahuan agama kepada KH Ahmad Dahlan dan KH Abdul Aziz. Setelah menyelesaikan pendidikannya di MULO, Kasman masuk School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta.
Saat di STOVIA inilah dia mulai berorganisasi, dalam hal ini Jong Java. Bersama Syamsuridjal, Ki Musa al-Mahfudz, dan Suhodo, Kasman mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925. Dia menjadi ketua Umum JIB pada 1930-1935.
Johan Prasetya dalam Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penerbit Saufa), menulis, pada 1935 Kasman aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, terutama di Bogor yang sekarang markasnya menjadi Museum Perjuangan Bogor.
Tiga tahun kemudian, dia ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama KH Mas Mansur, Farid Ma'ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadijoyo. Pada Muktamar 7 November 1945, Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Masyumi.
Pada 1940, Kasman ditangkap dan ditahan Belanda karena aktivitas politiknya.
Saat pendudukan Jepang, dia menjadi Komandan Pembela Tanah Air (Peta). Dia juga ikut mengamankan rapat umum di Lapangan Ikada.
Setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terbentuk, atas saran Soekarno, anggota PPKI yang awalnya berjumlah 21 orang, ditambah enam orang. Kasman menjadi salah satu orang yang dimasukkan menjadi anggota PPKI tersebut.
Jasa Kasman bagi perjalanan negara ini terlihat jelang pengesahan UUD 1945. Saat itu, terjadi permasalahan terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang akan menjadi Pembukaan UUD 1945.
Permasalahan yang dimaksud adalah aspirasi perwakilan kawasan Indonesia Timur yang keberatan terhadap tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Piagam Jakarta merupakan hasil kesepakatan yang telah dicapai dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena itu, tidak mudah mengubahnya. Butuh persetujuan, terutama dari tokoh Islam.
Di antara tokoh Islam yang mempertahankan tujuh kata itu adalah Ki Bagus Hadikusumo. Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011) menulis, usaha untuk "membujuk" Ki Bagus dilakukan oleh Teuku Hasan dan Kasman. Teuku Hasan adalah salah satu anggota PPKI asal Aceh. Dengan pelbagai argumen persuasi yang dikemukakan, akhirnya Ki Bagus bersedia menerima usul perubahan itu.
Pada 29 Agustus 1945, Kasman terpilih sebagai ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal Parlemen RI.
Selanjutnya, pada 1945-1946, Kasman diangkat menjadi Jaksa Agung. Dia juga pernah menjabat Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Syarifuddin II, 11 November 1947-29 Januari 1948.
Menurut Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, pada 19 Desember 1948, saat Agresi Militer Belanda II, Syafruddin Prawiranegara memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.
Tapi, kata Hidayat, di Jawa, Kasman Singodimedjo lah tokoh yang berkeliling ke berbagai wilayah di Jawa untuk menegaskan bahwa Indonesia masih ada, masih merdeka. "Itu luar biasa," kata Hidayat dalam Seminar Berguru pada Kepahlawanan Kasman Singodimedjo di Jakarta, pertengahan Juni 2016.
Di acara yang sama pula, anggota DPD RI AM Fatwa mengenang saat menjabat sebagai sekretaris Raden Kasman Singodimedjo di Biro Majelis Hikmah Muhammadiyah.
Menurut Fatwa, Kasman Singodimedjo adalah orang yang berkomitmen penuh dalam menjaga amanah sebagai ketua di Biro Majelis Hikmah tersebut. Di usianya yang sudah tidak tergolong muda, Raden Kasman senantiasa menjaga agar Muhammadiyah terus memberikan sebesar-besarnya kebermanfaatan untuk umat melalui kesolidan sebagai sebuah persyarikatan.
"Saya kira yang saya ingat betul perkataan beliau,'AM Fatwa, saya ingin mati dalam memimpin sidang," kenang Fatwa.
AM Fatwa juga bercerita, berdasarkan kesaksian dari Jenderal Nasution, anak-anak muda Indonesia kala zaman revolusi sulit sekali untuk digerakkan melawan penjajah kalau tidak ada tiga tokoh yang disegani yakni Bung Karno, Bung Hatta, dan Kasman. Di saat itulah, Kasman tampil sebagai tokoh militer yang turut pula melahirkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini.
"Kasman adalah tokoh militer terdepan dari konflik ini, karena, ketika itu Otto Iskandar Dinata hilang tanpa bekas, Kasman yang menjadi wakilnya menjadi Ketua BKR. Lalu, Kasman juga yang mengetuai TKR, tapi saat ketika menjadi Ketua KNIP (DPR/MPR, red), Kasman membubarkan TKR lalu membentuk TNI. Jadi, Kasman itu adalah inisiator lahirnya TNI," jelas Fatwa, seperti dikutip dari http://fraksidpr.pks.id.
Kasman yang merupakan tokoh Muhammadiyah, meninggal dunia pada 25 Oktober 1982. Sejumlah pihak seperti Muhammadiyah dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI pun mengusulkan agar Kasman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Akankah terwujud?
Kasman Singodimedjo lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Februari 1904. Ayahnya adalah H Singodimedjo, pernah menjabat sebagai penghulu, carik (sekretaris desa), dan Polisi Pamong Praja di Lampung Tengah.
Kasman mengenyam pendidikan awal di sekolah desa di Purworejo. Selanjutnya, dia masuk Holland Indische School (HIS) di Kwitang, Jakarta. Ia pindah ke HIS Kutoarjo, kemudian ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelang.
Selain menuntut ilmu, Kasman juga belajar pengetahuan agama kepada KH Ahmad Dahlan dan KH Abdul Aziz. Setelah menyelesaikan pendidikannya di MULO, Kasman masuk School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta.
Saat di STOVIA inilah dia mulai berorganisasi, dalam hal ini Jong Java. Bersama Syamsuridjal, Ki Musa al-Mahfudz, dan Suhodo, Kasman mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925. Dia menjadi ketua Umum JIB pada 1930-1935.
Johan Prasetya dalam Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penerbit Saufa), menulis, pada 1935 Kasman aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, terutama di Bogor yang sekarang markasnya menjadi Museum Perjuangan Bogor.
Tiga tahun kemudian, dia ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama KH Mas Mansur, Farid Ma'ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadijoyo. Pada Muktamar 7 November 1945, Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Masyumi.
Pada 1940, Kasman ditangkap dan ditahan Belanda karena aktivitas politiknya.
Saat pendudukan Jepang, dia menjadi Komandan Pembela Tanah Air (Peta). Dia juga ikut mengamankan rapat umum di Lapangan Ikada.
Setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terbentuk, atas saran Soekarno, anggota PPKI yang awalnya berjumlah 21 orang, ditambah enam orang. Kasman menjadi salah satu orang yang dimasukkan menjadi anggota PPKI tersebut.
Jasa Kasman bagi perjalanan negara ini terlihat jelang pengesahan UUD 1945. Saat itu, terjadi permasalahan terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang akan menjadi Pembukaan UUD 1945.
Permasalahan yang dimaksud adalah aspirasi perwakilan kawasan Indonesia Timur yang keberatan terhadap tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Piagam Jakarta merupakan hasil kesepakatan yang telah dicapai dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Karena itu, tidak mudah mengubahnya. Butuh persetujuan, terutama dari tokoh Islam.
Di antara tokoh Islam yang mempertahankan tujuh kata itu adalah Ki Bagus Hadikusumo. Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011) menulis, usaha untuk "membujuk" Ki Bagus dilakukan oleh Teuku Hasan dan Kasman. Teuku Hasan adalah salah satu anggota PPKI asal Aceh. Dengan pelbagai argumen persuasi yang dikemukakan, akhirnya Ki Bagus bersedia menerima usul perubahan itu.
Pada 29 Agustus 1945, Kasman terpilih sebagai ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), cikal bakal Parlemen RI.
Selanjutnya, pada 1945-1946, Kasman diangkat menjadi Jaksa Agung. Dia juga pernah menjabat Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Syarifuddin II, 11 November 1947-29 Januari 1948.
Menurut Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, pada 19 Desember 1948, saat Agresi Militer Belanda II, Syafruddin Prawiranegara memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera.
Tapi, kata Hidayat, di Jawa, Kasman Singodimedjo lah tokoh yang berkeliling ke berbagai wilayah di Jawa untuk menegaskan bahwa Indonesia masih ada, masih merdeka. "Itu luar biasa," kata Hidayat dalam Seminar Berguru pada Kepahlawanan Kasman Singodimedjo di Jakarta, pertengahan Juni 2016.
Di acara yang sama pula, anggota DPD RI AM Fatwa mengenang saat menjabat sebagai sekretaris Raden Kasman Singodimedjo di Biro Majelis Hikmah Muhammadiyah.
Menurut Fatwa, Kasman Singodimedjo adalah orang yang berkomitmen penuh dalam menjaga amanah sebagai ketua di Biro Majelis Hikmah tersebut. Di usianya yang sudah tidak tergolong muda, Raden Kasman senantiasa menjaga agar Muhammadiyah terus memberikan sebesar-besarnya kebermanfaatan untuk umat melalui kesolidan sebagai sebuah persyarikatan.
"Saya kira yang saya ingat betul perkataan beliau,'AM Fatwa, saya ingin mati dalam memimpin sidang," kenang Fatwa.
AM Fatwa juga bercerita, berdasarkan kesaksian dari Jenderal Nasution, anak-anak muda Indonesia kala zaman revolusi sulit sekali untuk digerakkan melawan penjajah kalau tidak ada tiga tokoh yang disegani yakni Bung Karno, Bung Hatta, dan Kasman. Di saat itulah, Kasman tampil sebagai tokoh militer yang turut pula melahirkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini.
"Kasman adalah tokoh militer terdepan dari konflik ini, karena, ketika itu Otto Iskandar Dinata hilang tanpa bekas, Kasman yang menjadi wakilnya menjadi Ketua BKR. Lalu, Kasman juga yang mengetuai TKR, tapi saat ketika menjadi Ketua KNIP (DPR/MPR, red), Kasman membubarkan TKR lalu membentuk TNI. Jadi, Kasman itu adalah inisiator lahirnya TNI," jelas Fatwa, seperti dikutip dari http://fraksidpr.pks.id.
Kasman yang merupakan tokoh Muhammadiyah, meninggal dunia pada 25 Oktober 1982. Sejumlah pihak seperti Muhammadiyah dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI pun mengusulkan agar Kasman dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Akankah terwujud?
(zik)