Riwayat Haji Misbach, Pergulatan Seorang Islam Komunis (II)

Jum'at, 24 Juni 2016 - 05:05 WIB
Riwayat Haji Misbach, Pergulatan Seorang Islam Komunis (II)
Riwayat Haji Misbach, Pergulatan Seorang Islam Komunis (II)
A A A
HAJI Misbach adalah seorang revolusioner yang sejak awal memandang Islam sebagai agama mulia yang menghendaki perdamaian dunia dengan jalan memusuhi dan membasmi kedustaan, kejahatan, penghisapan, dan penindasan.

Keyakinan Misbach itulah yang menyebabkan dirinya berhadapan dengan kekuatan kolonial Pemerintah Hindia Belanda. Misbach menolak semua perbudakan yang dilakukan pemerintah terhadap para petani di pedalaman desa Surakarta.

Atas sikapnya itu, Misbach ditangkap pada 7 Mei 1919, dengan tuduhan menghasut petani melakukan pemogokan. Selama enam bulan, Misbach mendekam dalam penjara. Pada 22 Oktober 1919, dia akhirnya dibebaskan dari semua tuduhan.

Soerjosasmojo, Redaktur Islam Bergerak menulis pembebasan Misbach tersebut, "Enam bulan lamanya pahlawan kita dalam penjara berpisah dengan anak dan istri, teman serta rakyat, pergerakan serta kemajuan, sebagai burung dalam sangkar.. Enam bulan lamanya saudara kita itu hidup dalam pertapaan, karena kehilangan kemerdekaannya."

Awal perkenalan Misbach dengan hukum sebenarnya telah terjadi sejak 1915. Saat itu, Misbach menolak menjalankan peraturan pembangunan dan pemeliharan rumah yang ditetapkan pemerintah untuk perbaikan kesehatan masyarakat.

Meski aturan itu sebenarnya baik dijalankan, namun pada masyarakat Indonesia saat itu, aturan ini sangat tidak bisa dipahami, karena tidak berhubungan dengan kepentingan pribadi mereka. Hal inilah yang menyebabkan Misbach melawan.

Tidak lama setelah pembebasannya, pada 22 Oktober, Misbach menggantikan Nyonya Vogel sebagai pemimpin Sarekat Hindia (SH) Surakarta. Sementara Tjiptomangunkusumo tetap menjabat sebagai Sekretaris SH Surakarta mendampingi Misbach.

Pada 1 November 1919, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan tentang hak berkumpul dan berserikat. Pada masa yang sama, pemerintah juga mengeluarkan Pasal 173 Hukum Pidana Belanda yang menetapkan bagi siapa saja yang menghalangi pertemuan publik dengan jalan kekerasan ataupun ancaman, akan dikenakan hukuman penjara maksimal satu tahun.

Adanya peraturan tersebut semakin meningkatkan pergerakan SH di Surakarta. Ketika keresahan buruh makin meningkat akibat rendahnya upah yang mereka terima atas tingginya inflasi, Misbach menderikan serikat buruh-serikat buruh.

Sejurus kemudian, para pemimpin kring Insuline yang telah dibebaskan akibat pemogokan petani, kembali mengorganisir petani di pedalaman Surakarta untuk mendapatkan hak-haknya dalam tanah komunal desa yang menjadi sumber keresahan petani.

Saat Kongres SH Surakarta, pada 21 Maret 1919, Misbach dan Tjiptomangunkusumo tampil sebagai pembicara utama. Dalam pidatonya, mereka menekankan pentingnya berserikat, dan pemerintah tidak kuasa menahan keinginan rakyat itu.

Menurut laporan Sismadi Sastrosiwojo, Misbach lah yang menjadi api dalam kongres itu. Dia berpidato, "SH akan melawan dengan sekuat-kuatnya segala tindasan dan isapan, baik dari pihak mana juga. SH berharap kepada sekalian perhimpunan rakyat Hindia akan bekerja berat bersama dengan SH, menyusun maksud mencapai kemerdekaan Tanah Hindia."

Misbach juga menyatakan kepada setiap kaum pergerakan rakyat jangan takut dengan hukuman penjara dan pembuangan oleh pemerintah kolonial, serta mencontoh perjuangan Nabi Muhammad SAW yang penuh dengan kesulitan, dan bahaya.

Pidato-pidato Misbach tersebut nyata menjadi bara dalam dada petani. Misbach berhasil memainkan peran kunci sebagai tokoh pergerakan rakyat yang utama di tengah keresahan para petani. Dalam rapat akbar di Delanggu, Misbach menyatakan:

"Coba ingatlah! Siapakah yang punya tanah ini? Toh bukan Ratu atau gouvernement. Mana ada Ratu atau gouvernement punya tanah? Toh tidak.. Tanah ini dulu-dulunya yang punya toh embah-embah kita sendiri.. Maka saudara, ayo! Ingatlah bila tanah ini bukan punyanya siapa-siapa, terang bila punya kita sendiri. Tidak boleh tidak, ini tanah tentu kembali kepada kita."

Sejak rapat umum di Delanggu, pada 29 Februari 1920, gelombang rapat umum mulai terjadi. Serikat-serikat buruh mulai didirikan di semua pabrik gula di Surakarta. Ketidakpuasan akibat upah yang rendah semakin meningkat.

Puncaknya, terjadi permogokan buruh pabrik gula Bangak, di Distrik Banyudono, Kabupaten Boyolali, pada 16 Maret 1920. Pemogokan tidak hanya melibatkan buruh pabrik, tetapi mandor kuli-kuli lapangan yang jumlahnya mencapai 120 orang.

Pemogokan buru pabrik gula di Bangak menyebar ke pabrik-pabrik gula lainnya. Pemogokan kedua terjadi di pabrik gula Wonosari, Distrik Delanggu, Kabupaten Klaten, pada 5 April 1920. Aksi pemogokan juga terjadi di pabrik gula Mangkunegaran di Tasikmadu, pada 7 April, dan diikuti pemogokan buruh pabrik gula Karanganom, di Klaten.

Pada 4 April 1920, Misbach berpidato dalam rapat buruh pabrik di Delanggu. Rapat ini dihadiri oleh 2.200 orang. Selain Misbach, Mas Marco Kartodikromo juga tampil sebagai pembicara utama. Pidato keduanya menyemangati buruh yang mogok.

"Pemerintah telah membeli beras seharga 9 gulden, dan menjualnya ke orang kecil seharga 18 gulden. Siapa yang mengatongi untung? Pemerintah memproduksi garam murah, dan menjualnya mahal kepada orang kecil, siapa yang untung? Pemerintah terus memperluas jaringan polisi, siapa yang membiayai? Siapa yang mengantongi keuntungan?" uangkap Misbach.

Saat terjadi pemogokan, rapat-rapat terbuka hampir digelar setiap hari. Dalam setiap rapat itu, anggota polisi selalu hadir, tetapi tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya mencatat apa yang disampaikan para pemimpin buruh dan tani.

Pada awal Mei 1920, pemogokan buruh meluas. Buruh pabrik gula Ceper, Ponggok, Delanggu, dan Wonosari di Distrik Ponggok dan Delanggu terlibat aksi pemogokan. Begitupun dengan buruh pabrik gula Bangak di Distrik Kartasura, dan buruh pabrik gula Tasikmadu, di Mangkunegaran. Pemogokan juga dilakukan para petani perkebunan tembakau, di Polanharjo dan Tegalgondo.

Akibat pemogokan buruh tani di pabrik tebu dan tembakau ini, aktivitas ekonomi kolonial Pemerintah Hindia Belanda lumpuh. Sebagai reaksinya, pemerintah melakukan sejumlah penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin buruh dan tani.

Saat akan melanjutkan tur propagandanya ke Kebumen, Misbach akhirnya ditangkap. Dia diciduk saat sedang menunggu kereta api di Stasiun NIS Balapan, pada 16 Mei 1920. Misbach dituduh telah melanggar peraturan berbicara di depan publik.

Setelah diputus bersalah oleh pengadilan kolonial, Misbach kemudian dimasukkan penjara Pekalongan. Dia mendekam dalam bui selama dua tahun tiga bulan, dan dibebaskan pada 21 Agustus 1922. Selama dalam tahanan, Misbach banyak membaca Alquran.

Setelah bebas, Misbach kembali kerumahnya, di Kauman, Surakarta. Saat itu, situasi politik di Surakarta telah banyak mengalami perubahan. Jaman pemogokan telah berakhir, SH telah dibubarkan, dan SATV menjadi Muhammadiyah cabang Surakarta.

Tidak lama setelah tiba di Surakarta, Misbach dipanggil oleh Residen Van der Marel yang memintanya untuk tidak bergerak lagi di politik. Dia juga meminta Misbach tidak melawan pemerintah dan mengguncang kekuasaan negara. Menanggapi permintaan itu, Misbach tidak berkomentar. Namun pertemuan itu berakhir dengan suasana yang bersahabat.

Tidak mau terlalu terburu-buru, Misbach membaca kembali koran-koran terbitan lama Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Setelah paham dengan situasi yang dihadapinya, Misbach mencari perhubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah yakin hanya PKI yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat dan benar-benar revolusioner, Misbach akhirnya memilih PKI.

Meski demikian, Misbach tetap seorang Islam yang taat. Mas Marco Kartodikromo menyebutnya orang Islam yang bergerak dalam kalangan PKI. Saat Kongres PKI dan SI Merah di Bandung dan Sukabumi, Maret 1923, Misbach telah menjadi propagandis PKI.

Dalam kongres itu, Misbach banyak berbicara tentang Islam komunis. Menurutnya, komunisme ada dalam prinsip Islam dan tidak ada yang salah dengan sikap netral PKI terhadap agama. Sebab itu, berarti PKI tidak menggunakan Islam sebagai topeng.

"Saya bukan haji, tapi Mohammad Misbach. Seorang Jawa yang telah memenuhi tugasnya sebagai Muslim dengan melakukan perjalanan suci ke Makkah dan Madinah. Dengan mendasarkan pada Alquran, ada beberapa hal yang berkesesuaian antara Alquran dengan komunisme. Misalnya, Alquran mengakui hak asasi manusia. Hal ini juga ada pada komunisme," katanya.

Kesamaan lainnya, menurut Misbach ada dalam perintah Allah SWT untuk melawan setiap penindasan dan penghisapan. Hal itu juga ada dan menjadi salah satu sasaran dari komunisme. Maka itu, mereka yang tidak mengakui komunisme bukan Islam sejati.

Bergabungnya Misbach dengan PKI dengan menjadi propagandisnya menjadi awal kembalinya dia dalam pergerakan rakyat. Saat tahu Misbach telah menjadi propagandis PKI, Residen Surakarta Van der Marel kembali memanggil dan menasehatinya.

Namun, kali ini dia tidak diam seperti yang pertama. Sebaliknya, dengan tegas dia menjawab akan terus bergerak bersama rakyat dan terjun dalam gerakan politik. Dia juga mengatakan akan terus memobilisasi rakyat sebagaimana seharusnya.

Pada Mei 1923, ketika pecah pemogokan buruh kereta api Vereeniging voor Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP), Misbach kembali diingatkan agar tidak turut campur. Selain itu, rumahnya pun digerebek polisi selama tiga hari berturut-turut untuk mencari para propagandis VSTP yang dilaporkan datang dari Madiun, untuk memimpin pemogokan buruh kereta api.

Dalam situasi yang penuh pengawasan polisi seperti itu Misbach banyak melakukan aktivitas jurnalistiknya dengan menulis di Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Sedang propagandanya untuk sementara dilakukan di luar Karesidenan Surakarta.

Di tengah situasi tersebut, Misbach diam-diam mendirikan PKI afdeling Surakarta dengan keanggotaan yang sangat rahasia. Hal ini untuk menghindari pengawasan polisi kolonial. Islam Bergerak yang sebelumnya banyak memuat pandangan Islam komunis dijadikan corong PKI afdeling Surakarta, dan namanya diubah menjadi Rakyat Bergerak, pada September 1923.

Selain mendirikan PKI afdeling Surakarta, Misbach juga mendirikan Sarekat Rakyat (SR) afdeling Surakarta. Berdirinya SR Surakarta segera diikuti dengan SR Yogyakarta, Madiun, Nganjuk, dan beberapa daerah lain yang ada SI merahnya.

Pada bulan-bulan setelah hancurnya pemogokan buruh kereta api, terjadi sejumlah teror. Aksi ini dilakukan secara mandiri di wilayah yang menjadi basis PKI dan SI merah, seperti di Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Madiun, dan lainnya.

Teror dilakukan dengan cara melempari kantor-kantor pemerintah dengan kotoran manusia, mencopoti potret-potret Ratu Wilhelmina, melumuri kotoran dan mencoret potret Ratu Wilhelmina dengan kata-kata kasar, membakari ijazah-ijazah sekolah bumiputera Angka Dua, serta membakar buku-buku yang diterbitkan oleh Volkslectuur dan Muhammadiyah.

Beberapa usaha untuk menggelincirkan kereta di Yogyakarta, Semarang, dan Madiun juga terjadi. Ketika Gubernur Jenderal datang ke Yogyakarta, pada Mei 1923, bom dilemparkan ke sebuah kereta api di Surakarta. Kejadian seperti ini mengalami peningkatan menjelang perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina, pada Agustus dan awal September 1923.

Di Yogyakarta, sebuah kereta api berhasil digelincirkan. Di Madiun, pada akhir Agustus 1923, seorang aktivis SR dan mantan buruh kereta api negara terbunuh, serta beberapa orang lainnya terluka setelah bom buatan mereka meledak tiba-tiba.

Sementara di Semarang, mulai akhir Agustus 1923 hingga awal September 1923, sedikitnya ada delapan bom yang dilemparkan. Menghadapi aksi ini, polisi kolonial tidak berdaya. Mereka hanya mempu bergerak di Madiun dengan menangkapi sejumlah aktivis SR dan para guru sekolah SI. Meski begitu, aksi teror berlanjut dan terus menjalar ke semua kota.

Saat perayaan dan menjelang upacara Sekaten, yakni peringatan hari lahir Muhammad SAW di Surakarta, aksi pelemparan bom juga terjadi. Di kawasan Surakarta, aksi teror ini mengalami peningkatan pada pertengahan Oktober 1923. Dimulai dari pembakaran bangsal untuk acara Sekaten, pembakaran kayu untuk pembangunan sekolah pemerintah dan masjid Mangkunegaran.

Sementara di wilayah pedesaan, terjadi pembakaran-pembakaran di wilayah perkebunan. Seperti di perkebunan Manang Polanharjo, dua los tempat pengeringan tembakau ludes dibakar. Tidak satupun orang ditangkap akibat aksi ini.

Aksi teror tersebut mengakibatkan ketakutan bagi Pangeran Kasunanan dan para pejabat tinggi pemerintahan. Mereka lantas menuding Misbach berada di balik aksi-aksi tersebut. Penggerebekan pun beberapa kali dilakukan di rumah Misbach. Namun hasilnya nihil. Aparat kolonial tidak menemukan bukti apa-apa di rumah Misbach dan teror masih saja terus terjadi.

Pada 17 Oktober 1923, Keraton Mangkunegaran dilempar bom. Mobil sunan dan rumah peristirahatan RMA Woerjaningrat, mantan Ketua Boedi Oetomo dan saudara patih pun tidak luput dari lemparan bom. Namun begitu, hanya sedikit bom yang meledak.

Tidak adanya bukti membuat pemerintah menggunakan cara licik untuk menangkap Misbach, yakni dengan memakai kesaksian palsu Hadikoesoemo, seorang pedagang batik dari Kauman dan anggota pendiri SR Surakarta, dan beberapa aktivis SR Madiun.

Kesaksian bohong itu mengatakan, mereka melihat dan mendengar Misbach dan sejumlah pemimpin PKI lainnya mengirim seseorang untuk mengikuti pelatihan membuat bom di Semarang dan Yogyakarta, dan melemparnya di kawasan Surakarta dan Yogyakarta.

Karena kesaksian palsu yang memberatkan itu, pemerintah menangkap Misbach dan sejumlah pemimpin PKI lainnya, pada 20 Oktober 1923. Misbach kemudian dijerat Pasal 47 Regeering Reglements dan dihukum buang ke tempat perpencil di luar Jawa.

Setelah penangkapan Misbach, Moedio dan Darmosoesastro menunjukkan kepada Sismadi kontrak tertulis mereka dengan seorang agen polisi Hardjosoemarto agar memberikan kesaksian palsu dengan sejumlah imbalan uang. Mereka juga mengatakan, bahwa yang mengedarkan pamflet tengkorak manusia dengan gambar palu arit dan sejumlah teror bom lainnya adalah Hardjosoemarto.

Moedio dan Darmosoesastro kemudian ditangkap, setelah membeberkan hal itu di surat kabar Penggoegah. Sementara agen polisi Hardjosoemarto langsung menghilang dari Surakarta. Untuk seketika, kasus inipun mengalami kebuntuan.

Namun, pemerintah tidak pernah kehilangan akal. Dengan memakai berbagai dokumen terkait Misbach yang dikumpulkan sejak 1918-1920, laporan dan usulan Residen Harloff, laporan tentang PKI dan SI, dan keterangan sejumlah aktivis PKI dan SI, maka rencana untuk menjerat Misbach dengan Pasal 47 Regeering Reglements dan hukum buang berhasil dilakukan.

Pada 27 Juni 1923, pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya memutuskan untuk membuang Misbach ke Manokwari, di Nieuw Guinea utara, Keresidenan Ambon. Istri Misbach dan tiga anaknya juga memutuskan ikut dalam pembuangan itu.

Sejak penangkapannya, Misbach ditahan dipenjara Semarang dan hanya diizinkan membaca ayat suci Alquran. Pada 18 Juli 1924, Misbach beserta istri dan ketiga anaknya berangkat ke Manokwari. Misbach meninggalkan Jawa dalam keadaan terpencilkan.

Misbach dan keluarga sampai di Manokwari pada 7 Agustus 1924, setelah 20 hari perjalanan. Setibanya di Manokwari, penyakit TBC yang diderita Istri Misbach semakin bertambah parah, sampai akhirnya meninggal pada Juli 1925. Misbach sendiri meninggal pada 24 Mei 1926 dan dikubur di samping makam istrinya oleh anggota SR Manokwari, di tempat pemakaman Penindi.

Sumber Tulisan
* Ruth T McVey, Kemunculan Komunisme di Indonesia, KOmunitas Bambau, Cetakan Pertama, Januari 2010.
* Dr Syamsul Bakri, Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1924, LKiS, Cetakan I, 2015.
* Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisasi Rayat di Jawa 1912-1926, Grafiti, Cetakan 2, 2005.
* Edi Cahyono, Jaman Bergerak di Hindia Belanda, Yayasan Pancur Siwah-Yayasan Penebar, Cetakan Pertama, November 2003.
* Zainul Munasichin, Berebut Kiri, Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926, LKiS, Cetakan I, September 2005.
* Soewarsono dan Thung Ju Lan, Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digul, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Edisi Pertama, Juli 2013.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5016 seconds (0.1#10.140)