Syekh Ibrahim Musa Parabek, Pendiri Sumatera Thawalib

Minggu, 05 Juni 2016 - 05:01 WIB
Syekh Ibrahim Musa Parabek,...
Syekh Ibrahim Musa Parabek, Pendiri Sumatera Thawalib
A A A
CERITA Pagi kali ini membahas sosok Syekh Ibrahim Musa Parabek, pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia

Syekh Ibrahim Musa Parabek lahir tanggal 12 Syawal 1301 H/1882 M di Desa Parabek, Banuhampu, Bukittinggi, Sumatera Barat.

Dia adalah anak dari Syekh Muhammad Musa bin Abdul Malik Al Qarhawy, seorang ulama yang terkenal di kampungnya, Karatau, Parabek. Ibunya bernama Ureh, berasal dari suku Pisang.

Ibrahim Musa yang pada masa kecilnya diberi nama Luthan, belajar Alquran di bawah bimbingan ayahnya. Pada usia 13 tahun ia sudah khatam Alquran.

Di usia yang masih muda itu, seperti dikutip dari http://thawalibparabek.tripod.com, Ibrahim Musa dilepas orangtuanya pergi mengaji ke Surau Tuanku Mato Aia Pakandangan Pariaman. Di sana dia mempelajari ilmu nahwu dan sharaf.

Selanjutnya, Ibrahim Musa pindah ke Batu Taba di surau Tuanku Mato Angin dan belajar fikih . Kemudian ke Ladang Laweh mengaji dengan Tuanku Abdul Samad di surau Biaro Ampek Angkek.

Ibrahim Musa juga belajar dengan Syekh Jalaluddin Alkasai di Sungai Landai Banuhampu. Terakhir, Ibrahim Musa belajar dengan Tuanku Abdul Hamid di Suliki Payakumbuh.

Pada 1901, Ibrahim Musa berangkat ke Mekkah untuk mendalami ilmu agama bersama kakaknya, Abdul Malik

Menurut pemerhati sejarah Sumatera Barat Fikrul Hanif Sufyan, di Mekkah Ibrahim Musa belajar pada Syech Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, seorang ulama karismatik asal Minangkabau yang kemampuan keilmuannya di bidang agama Islam diakui di Jazirah Arabia terutama di Mekkah.

Melalui Syekh Ahmad Khatib, jelas Fikrul Hanif, Ibrahim Musa belajar tentang ilmu fikih mazhab Syafii. Setelah belajar fikih dengan pelopor gerakan modernis Islam awal abad XX ini, Ibrahim Musa melanjutkan petualangannya dalam menuntut ilmu.

Ulama yang ditemuinya adalah Syekh Muhammad Djamil Djambek. (Baca juga: Syekh Muhammad Djamil Djambek, Ulama Besar Minangkabau).

Dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek ini, Ibrahim Musa belajar tentang seluk-beluk ilmu falak. Selanjutnya belajar kepada Syekh Mukhtar AI-Jawi dan Syekh Yusuf Al-Hayat. Setelah tujuh tahun bermukim di Mekkah, Ibrahim Musa kembali ke kampung halamannya.

Dia lalu mengadakan pengajian secara halaqah di Parabek. Anak muda dari pelosok Minangkabau pun berdatangan ke Parabek ingin menuntut Ilmu kepada beliau.

Tahun 1914, Ibrahim Musa kembali ke Mekkah untuk menambah ilmunya. Kali ini, dia pergi bersama sang istri, Syarifah Ghani dan anaknya, Thaher Ibrahim.

Dua tahun di Mekkah, Ibrahim Musa kembali. Pada tahun 1918, Ibrahim Musa menyatukan murid-muridnya dalam satu organisasi yang diberi nama Muzakaratul Ikhwan dan terakhir diberi nama Jamiatul Ikhwan.

Pada tahun 1920-an, bersama dengan Syekh H. Abdul Karim Amarullah, Ibrahim Musa sepakat mendirikan Sumatera Thawalib. Di Padang Panjang didirikan oleh Inyiak De-er, sedangkan di Parabek didirikan oleh Ibrahim Musa sendiri dan diubahlah organisasi pelajar Jamiatul Ikhwan menjadi Sumatera Thawalib .

Menurut Fikrul Hanif yang juga dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh, secara historis, lembaga pendidikan Sumatera Thawalib Parabek berasal dari perkumpulan beberapa orang murid di Surau Parabek. Perkumpulan ini diberi nama Muzakaratul Ikhwan.

Karena kegiatan murid-murid ini makin hari makin bertambah intens dan diikuti oleh banyak murid, perkumpulan ini berubah menjadi Sumatera Thawalib setelah terinspirasi dengan berdirinya Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

Pada tanggal 21 September 1921, tambah Fikrul Hanif, Surau Parabek yang memakai sistem belajar secara konvensional dan konservatif (sistem halaqah) diubah menjadi sistem berkelas atau klasikal.

Saat suhu politik yang juga ditandai dengan kebijakan Ordonansi Sekolah Liar dan Ordonansi Guru, Syekh Ibrahim Musa mendapat peringatan dari pemerintah Hindia Belanda Belanda. Inyiak Parabek pun melawan kebijakan tersebut.

Akhirnya, pemerintah Belanda menawarkan bantuan subsidi untuk Thawalib Parabek, namun Syek Ibrahim Musa menolaknya secara halus dan bijaksana.

Menurut Fikrul, pemerintahan Belanda masih tetap curiga. Sebab, meski dalam kurikulum Sumatera Thawalib tidak terdapat pelajaran yang berbau politik, ternyata banyak dari lulusan Sumatera Thawalib aktif dan di bidang politik, seperti Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang dipelopori oleh Ali Imran Jamil, Abdul Gafar Ismail, Abdul Malik Sidik, dan lain-lainnya.

Selain kecurigaan-kecurigaan Belanda di atas, banyak lagi hal-hal dan cobaan yang dialami oleh Syekh Ibrahim Musa, seperti terjadinya kebakaran di Parabek, yang menghanguskan sekolah, kantor, asrama bertingkat. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 17-18 Oktober 1937.

Lima tahun kemudian, terjadi lagi kebakaran yang menghanguskan asrama putri, juga bertingkat dua.

Selain di bidang pendidikan, Ibrahim Musa juga tercatat sebagai anggota pendiri Lasykar Rakyat di Bukittinggi (1943) dan membentuk barisan Sabilillah (1946) menjadi Imam Jihad 1946.

Ibrahim Musa yang pernah menjadi anggota Majelis Syura Wal Fatwa Sumatera Tengah itu meninggal dunia pada Kamis, 20 Juli 1963. Keesokan harinya, setelah Salat Jumat, jenazah Ibrahim Musa dilepas seluruh kerabat dan keluarga besar Sumatera Thawalib Parabek.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1114 seconds (0.1#10.140)