18 Tahun Mundurnya Soeharto dan Pengaruh Rezim Orde Baru

Senin, 23 Mei 2016 - 05:05 WIB
18 Tahun Mundurnya Soeharto...
18 Tahun Mundurnya Soeharto dan Pengaruh Rezim Orde Baru
A A A
SOEHARTO mundur sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) ke-2, pada 21 Mei 1998. Peristiwa itu kerap disebut-sebut sebagai kemenangan demokrasi rakyat atas hancurnya rezim Orde Baru, setelah 32 tahun lebih berkuasa.

Kini, setelah 18 tahun berlalu, ternyata pengaruh Orde Baru masih sangat kuat. Masyarakat pun kembali bertanya-tanya, benarkah tumbangnya Soeharto diiringi dengan hancurnya rezim Orde Baru?

Sejarah perjuangan Orde Baru dimulai sejak 1966, ditandai dengan lahirnya Surat Perintah (SP) 11 Maret 1966, dan mencapai puncaknya pada Maret 1968, saat diangkatnya Soeharto menjadi Presiden RI ke-2 menggantikan Presiden Soekarno.

Fokus pertama Soeharto, pada tahun-tahun pertama masa jabatannya adalah memimpin Orde Baru dalam menjalankan berbagai ekonomi kerakyatan dan melaksanakan pembangunan ekonomi, serta meluruskan amalan Pancasila dan UUD 1945.

Selama seperempat abad Orde Baru, Indonesia yang sebelumnya terpecah belah akibat berbagai pemberontakan di daerah, karena terjadinya kesenjangan sosial, dan perbedaan ideologi yang tajam, berhasil disatukan dalam satu kesatuan.

Perekonomian Indonesia yang sempat mengalami inflasi hingga 1.000% juga berhasil ditekan. Dalam seperempat abad tersebut, Soeharto berhasil melaksanakan program Orde Baru dalam menjaga stabilitas politik dan ekonomi di atas permukaan.

Berbeda dengan rezim Soekarno yang mengambil jarak terhadap kubu Amerika Serikat (AS) dan menjalin hubungan mesra dengan Republik Rakyat Cina (RRC), dan Blok Komunis, Soeharto malah mendekat ke AS, dan merapat ke Blok Kapitalis.

Dengan merapat ke Kubu Kapitalisme, Soeharto berhasil menekan angka kemiskinan di Indonesia, dan melahirkan kelas baru dalam masyarakat, yakni kelas menengah. Kelas ini memiliki pola konsumsi dan pemikiran sendiri terhadap media massa.

Namun, tidak ada makan siang yang gratis. Di balik keberhasilannya tersebut, ternyata ada harga yang harus dibayar. Salah satunya berkaitan dengan fakta bahwa Soeharto memiliki kekuasaan atas negara dan ekonomi yang tidak terbatas.

Melalui doktrin Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Soeharto campur tangan promosi dan pengalihan tugas tentara. Hingga pertengahan 1970, tercatat lebih dari 20.000 tentara menduduki jabatan kekaryaan.

Mulai dari menteri, duta besar, anggota DPR, direktur perusahaan-perusahaan negara, perbankan, jabatan tinggi pemerintah, rektor universitas, gubernur, bupati, dan kepala desa. Semua posisi itu diduduki tentara dan orang terdekatnya.

Soeharto juga memanfaatkan ABRI untuk kepentingannya politiknya sendiri, dengan jalan mendukung Partai Golkar yang menjadi kendaraan politiknya. Dengan strategi ini, Soeharto membangun Orde Baru dengan korup, represif, dan otoriter.

Mereka yang berani melawan dan menentang kepentingan politik Soeharto, akan berhadapan dengan tentara. Sejarah mencatat, catatan kebebasan sipil masa Orde Baru sangat buruk. Kebebasan pers, dan hak berserikat dibungkam.

Kesenjangan antara yang kaya dan miskin dalam masyarakat pun semakin tajam. Angka kemiskinan yang disebut-sebut menurun ternyata hanya kamuflase, akibat dari Upah Minimal Pekerja (UMR) yang diletakkan pada level paling rendah.

Begitupun dengan kekacauan yang terjadi di daerah, hanya tampak permukaannya saja bisa ditekan. Padahal sebenarnya teror terhadap masyarakat sipil terus berlangsung di bawah pemukaan, tanpa adanya pemberitaan besar-besaran media massa.

Setelah pembantaian massal anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1966, terjadi huru-hara Malari 1974 yang timbul sebagai akibat dari penolakan masyarakat atas ekspansi ekonomi Jepang di Indonesia.

Dalam peristiwa itu, 11 orang dinyatakan tewas, 200 orang lainnya luka-luka, dan lebih dari 800 orang ditangkap. Sebanyak 12 penerbit dicabut SIUPP-nya, termasuk Nusantara, Harian KAMI, Indonesia Raya, dan The Jakarta Times.

Tahun 1974 sering disebut-sebut sebagai awal dari kematian kebebasan intelektual di bawah rezim Orde Baru. Karena sejak terjadinya peristiwa itu, Orde Baru dengan ketat mengontrol sumber-sumber ide kebebasan di masyarakat.

Di tengah masih menghangatnya kerusuhan Malari, terjadi kerusuhan lain di daerah. Soeharto melakukan invasi dengan mengerahkan kekuatan tentara ke Timor-Timur yang menginginkan kemerdekaan atas Indonesia, pada tahun 1975-1976.

Dampak atas berbagai peristiwa itu adalah protes-protes mahasiswa menjelang Pemilu 1977. Senada dengan peristiwa Malari, aksi demonstrasi ini didukung oleh kekuatan militer yang mengambil jarak dari pemerintahan Soeharto.

Pada tahun ini, tuntutan untuk Soeharto turun dari jabatannya sudah mulai terdengar secara terang-terangan. Sebagai reaksi atas demo tersebut, Soeharto mengirimkan pasukan ABRI ke dalam kampus dan menangkapi 223 pimpinan mahasiwsa.

Untuk menekan gerakan mahasiswa, Soeharto kemudian membuat Undang-undang Normalisasi Kampus, pada 1978. Melalui undang-undang ini, gerakan mahasiswa di dalam kampus menjadi sangat terbatas dan selalu dalam pengawasan.

Para pemimpin mahasiswa yang berhasil ditangkap, dan masih berkeliaran di dalam dan luar kampus, kemudian dicap komunis. Kebiasaan ini biasa dilakukan Soeharto dan tentara, ketika menghadapi krisis yang terjadi di tengah masyarakat.

Tidak hanya mencekal berbagai kegiatan politik mahasiswa di dalam kampus, melalui undang-undang itu juga Soeharto dan berusaha menertibkan pers kampus, dan mencabut kembali SIUPP tujuh surat kabar di Indonesia.

Memasuki tahun 1980, Soeharto kembali menggunakan bahaya laten komunisme untuk menekan gerakan prodemokrasi. Kali ini sasarannya adalah gerakan buruh. Tercatat 2.000 buruh tambang dipecat karena tuduhan itu, pada 1986.

Penyelewengan kekuasaan yang dilakukan Soeharto terhadap Pancasila untuk membungkam gerakan demokrasi, akhirnya melahirkan kelompok Petisi 50 yang terdiri dari 50 tokoh untuk melakukan kritik terbuka terhadap rezim Orde Baru.

Balasan Soeharto atas kritik ini adalah tuduhan komunis kepada mereka, dan larangan kepada 50 tokoh itu bepergian ke luar negeri. Mereka juga dilarang membuat keterangan pers dan berbicara pada pertemuan-pertemuan umum, serta diasingkan.

Kerusuhan serius pada masa ini terjadi pada September 1984, di Tanjung Priok yang dipicu oleh perbuatan tidak pantas sejumlah oknum polisi di sebuah masjid. Aksi para oknum polisi itu dinilai menghina dan melecehkan umat Islam.

Dalam peristiwa ini, 200 orang dinyatakan tewas ditembak mati. Namun angka yang dikeluarkan pemerintah hanya menyebut 60 orang saja. Sedang ratusan orang lainnya mengalami luka-luka, dan 30 orang lainnya ditangkap.

Pada tahun yang sama, pembunuhan terhadap umat Islam juga terjadi Lampung, Sumatera Selatan, pada Februari 1989. Dalam setiap gesekan terhadap umat Islam, Soeharto dan rezimnya menggunakan dalih gerakan radikal dan terorisme.

Teror rezim Orde Baru di tengah masyarakat juga dilakukan dengan melakukan rangkaian pembunuhan secara berencana oleh tentara terhadap para pelaku kriminal. Operasi senyap ini dikenal juga dengan Penembak Misterius (Petrus).

Dalam operasi itu, pihak keamanan seluruhnya dinyatakan terlibat. Selama Maret 1983 hingga 1985, tercatat sebanyak 5.000 hingga 10.000 orang tewas dengan cara tragis, dan mayat mereka sengaja dibuang ke tempat-tempat umum.

Di tengah pembantaian massal itu, Soeharto kembali melakukan pembredelan terhadap pers. Koran dan majalah seperti Jurnal Ekuin dibredel pada 1983 Expo, Topik, dan Fokus pada 1984, dan Sinar Harapan, pada Oktober 1986.

Tercatat, selama 1989 hingga 1990 terdapat lebih dari 100 perlawanan politik oleh mahasiswa, intelektual, pengajar Muslim, dan nasionalis. Termasuk perjuangan tiga aktivis mahasiswa di Yogyakarta yang menjual karya Pramoedya Ananta Toer.

Sepanjang tahun 1980, ada sekitar 14 judul buku yang masuk daftar cekal oleh pemerintah Orde Baru. Hingga tahun 1996, sedikitnya sudah 2.000 judul buku yang telah masuk daftar cekal. Pencekalan buku-buku itu, kini terjadi lagi.

Memasuki tahun 1990, teror rezim Orde Baru kian mengganas. Mulai dari kekerasan militer terhadap masyarakat sipil pada kerusuhan di Dili Timor Timur, di akhir 1991. Dilanjutkan pada gejolak politik yang melibatkan negara tahun 1996.

Saat itu, markas PDI mendapat serangan kekerasan untuk menggeser Megawati Soekarnoputri yang telah dipilih sebagai ketua PDI sejak 1993 terhadap orang yang disukai Soeharto, pada 27 Juli 1996, mengakibatkan kerusuhan di Jakarta.

Sebagai kambing hitam atas peristiwa itu, Soeharto menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalangnya, karena dianggap berbau komunis. Soeharto juga memainkan kerusuhan kelompok agama dan etnis disejumlah daerah.

Kerusuhan meluap di Situbondo, Jawa Timur, dan Taskmalaya, Jawa Barat, pada 1996. Di Kalimantan Timur, diciptakan bentrok berdarah antara suku Dayak di pedalaman dengan Madura. Di tengah suasana bentrok itu, Pemilu 1997 digelar.

Sejarah mencatat, rumbangnya setiap rezim di Indonesia, selalu ditandai dengan adanya krisis ekonomi yang berlanjut menjadi kerusuhan massal dengan korban jiwa yang sangat banyak. Dugaan keterlibatan asing pun kembali menyeruak.

Dari sejumlah rentetan peristiwa itu, diketahui bahwa ketidakpuasan terhadap Soeharto dan rezim Orde Baru telah sangat luas. Perhatian atas situasi keamanan dan politik nasional itu juga menarik perhatian dunia internasional.

Pada pertengahan 1997, terjadi krisis moneter multidimensional yang sangat menyengsarakan rakyat. Krisis ini merupakan efek domino yang terjadi di Thailand. Dimulai dengan turunnya nilai mata uang Thailand baht terhadap dolar AS.

Puncak dari krisis moneter di Thailand itu adalah penutupan 56, dari 58 lembaga keuangan utama, pada 8 Desember 1997. Krisis penurunan nilai mata uang bath ini diikuti krisi di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Dampak dari krisis di negara-negara itu adalah larinya modal asing, dan ambruknya sistem perbankan. Di Indonesia, tanda-tanda datangnya krisis moneter terjadi pada minggu kedua, di bulan Juli 1997.

Saat itu, kurs rupiah merosot dari Rp2.432 perdolar AS menjadi Rp3.000 perdolar AS. Langkah Presiden Soeharto untuk menangani krisis ini adalah dengan meminta bantuan Dana Monoter Internasional (IMF) pada 8 Oktober 1997.

Namun langkah itu tidak banyak membantu. Soeharto kemudian menutup 16 bank. Tetapi nilai rupiah semakin terperosok pada level Rp5.097 perdolar AS dan Rp9.800 pada 8 Januari 1998. Puncaknya mencapai Rp11.050, pada akhir Januari 1998.

Dampak krisis moneter bagi Indonesia adalah peningkatan jumlah pengangguran terbuka, dari 4,68 juta orang pada 1997 menjadi 5,46 juta orang pada 1998. Hal ini secara langsung berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat.

Di tengah situasi seperti itulah, masyarakat menjadi lebih berani menyampaikan keluhan-keluhan mereka. Unjukrasa mahasiswa pun semakin berani. Sejak itu, tuntutan Soeharto mundur semakin nyaring terdengar.

Pada 1997, sebenarnya Soeharto sudah menyiratkan akan mundur. Hal ini tampak pada malam HUT Golkar ke-33, pada 20 Oktober 1997, di mana Soeharto menyatakan pencalonan kembali dirinya sebagai Presiden agar ditimang-timang lagi.

Namun ternyata Soeharto terpilih lagi sebagai Presiden. Protes-protes mahasiswa pun kian bertambah kencang. Tuntutan awal mereka adalah turunkan harga sembako, pemilihan ulang Soeharto, dan reformasi di bidang politik dan ekonomi.

Aksi mahasiswa dimulai pada Desember 1997 hingga Januari 1998, di kampus-kampus daerah seperti Lampung dan Solo, kemudian menyebar ke seluruh provinsi. Pada akhir Februari 1998, aksi mahasiswa dimulai dari Universitas Indonesia (UI).

Dari kampus UI di Jakarta, aksi demo kemudian menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Yogyakarta, Bandung, Ujung Pandang, Semarang, Solo, Medan, dan Surabaya. Suara mahasiswa ini terdengar hampir setiap hari dan mendapat reaksi beragam.

Barisan jenderal di seputar Soeharto menanggapi aksi mahasiswa ini berbeda-beda. Ada yang bersikap lunak, berada di pihak Wiranto, tetapi ada juga yang bersikap galak, di pihak Prabowo, yang melakukan penculikan-penculikan aktivis mahasiswa.

Puncak dari aksi mahasiswa itu adalah tertembaknya empat mahasiswa Trisakti yang disusul dengan kerusuhan massal di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Saat peristiwa ini, Soeharto sedang menghadiri KTT G-15 di Kairo, Mesir.

Dari luar negeri, Soeharto yang melihat Indonesia dilanda kekacauan menyatakan bahwa dirinya tidak akan mempertahankan kekuasaannya dengan senjata. Namun, dia menekankan semuanya harus dilakukan secara konstitusional.

Pada awalnya, Soeharto akan mundur dari jabatannya sebagai Presiden, pada 23 Mei 1998. Namun akhirnya dimajukan menjadi 21 Mei 1998. Sesuai UUD 45, Soeharto kemudian menyerahkan mandatnya kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

Dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden dan terpilihnya Habibie, Soeharto berhasil mempertahankan rezim Orde Baru yang telah dipimpinnya selama 32 tahun. Hingga kini, berbagai warisan Soeharto masih ada di tengah masyarakat.

Sumber Tulisan
* G Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Penerbit PT Citra Lamtoro Gung Persada, Cetakan Kedua, 1989.
* RE Elson, Suharto, Sebuah Biografi Politik, Penerbit Pustaka Minda Utama, Cetakan III, Januari 2000.
* David Jenkins, Soeharto dan Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975-1983, Penerbit Komunitas Bambu, Cetakan Pertama, April 2010.
* Harry Aveling, Rahasia Membutuhkan Kata, Puisi Indonesia 1966-1998, Penerbit IndonesiaTera, Cetakan Pertama, November 2003.
* Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Penerbit THC Mandiri, Cetakan Kedua, September 2006.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1258 seconds (0.1#10.140)