Pulau Berhala, Surga bagi Penikmat Olahan Ikan
A
A
A
LINGGA - Melaut menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk Pulau Berhala. Mereka biasanya turun ke laut pada saat angin tenang. Ikan hasil tangkapannya pun aneka ragam. Mulai ikan dengan ukuran puluhan kilogram, hingga ikan bilis (teri) yang berenang bergerombol.
"Tok..tok...tok.." bunyi kapal kayu yang dipukul-pukul memecah kesunyian malam. Di langit, bulan bersembunyi di balik awan. Nun di kejauhan, terlihat kerlap-kerlip cahaya di tengah laut. Cahaya itu berasal dari lampu petromaks yang dibawa nelayan mencari ikan di laut.
"Cuaca sedang bagus, anginnya tenang, kami akan mencari ikan bilis. Mereka akan muncul jika bulan tertutup awan," kata seorang nelayan sambil menenteng petromaks.
Ia menuju sebuah kapal kayu yang tertambat di tepi pantai. Langkahnya bergegas. Tangannya cekatan melepaskan tali tambang yang mengikat kapal. Di kejauhan, samar-samar suara tok..tok..tok terus bergema.
"Mari kita tunggu, saya penasaran dengan hasil tangkapan si bapak nelayan," tutur Yusuf, seorang peserta Famtrip dari Pecinta Alam Kepri (Pari).
Yusuf dan keempat rekannya lalu setia menanti para nelayan itu di pelantar. Dia melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 20.00. Di langit, awan terus bergerak. Sesekali menutupi bulan, sesekali membiarkan bulan bersinar terang. Sekitar dua jam menunggu, para nelayan tak jua kembali. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke kantor desa tempat rombongan menginap.
Hampir tengah malam, beberapa orang dari rombongan itu nyaris terlelap, ketika Yossi, seorang peserta Famtrip berteriak memanggil peserta lain yang masih terjaga.
"Lihat, ada nelayan pulang melaut, mereka membawa ikan," kata Yossi yang langsung meloncat dari hammock (tempat tidur gantung). Telunjuknya mengarah ke nyala tungku dari pondok kecil di tepi pantai.
Segera rekan-rekannya yang lain ikut meloncat dari tempat tidur. Beberapa langsung mengambil kamera. Bergegas mereka mendatangi pondok tak berdinding itu. Sampai di sana, tampak seorang laki-laki berusia 40-an tahun tengah mengaduk kuali. Ikan bilis tampak memenuhi kuali tersebut.
Lelaki tersebut bernama Awang. Malam itu, dia baru saja pulang melaut. Hasilnya berupa sembilan keranjang ikan bilis. Kata Awang, masing-masing keranjang itu beratnya sekitar 5 kilogram.
Haryo, anaknya yang berusia belasan tahun ikut membantu Awang. Dia kelihatan bersemangat memasukkan kayu-kayu ke dalam tungku, menjaga agar api tetap menyala.
"Ini hasil tangkapan dua orang, saya dengan tetangga," kata Awang sambil terus mengaduk. Di atasnya sebuah lampu petromaks menerangi aktivitasnya.
Ikan bilis itu nantinya dijual sebagai ikan kering. Namun, sebelum dijemur, ikan harus direbus dulu selama 5-10 menit. Air yang digunakan untuk merebus adalah air laut dicampur garam. Setelah itu ditiriskan ke dalam keranjang. Lalu esok harinya ikan-ikan itu dijemur di bawah terik matahari selama tiga hingga empat jam.
"Tergantung panasnya," kata Awang.
Setelah kering, barulah ikan bilis itu dijual ke Dabo, salah satu kelurahan di Singkep, Lingga, Kepulauan Riau. Harga per kilonya Rp45 ribu. Cara menangkap ikan bilis, menurut Awang, gampang-gampang susah. Maka dibutuhkan trik khusus, dengan memancing ikan bilis untuk mendekat perahu.
"Lampu petromaks dan suara perahu kayu yang dipukul-pukul itu menarik perhatian mereka," sebut Awang.
Meskipun sekali menangkap mereka bisa mendapatkan puluhan kilo, tak setiap hari mereka bisa menemukan ikan bilis.
"Kadang bisa menemukan ikan bilis selama empat hari berturut-turut, lalu sepanjang tahun tak ketemu-ketemu lagi," lanjutnya.
Laut di sekitar Pulau Berhala memang tempat sasaran melaut yang bagus. Sekali turun melaut, para nelayan bisa menemukan berbagai jenis ikan. KORAN SINDO BATAM sempat berkunjung ke salah satu pengepul ikan. Di sana biasanya para nelayan menjual ikan. Pengepul itu nantinya membawa ikan tangkapan nelayan ke Dabo untuk dijual.
Seorang pengepul lalu menunjukkan belasan peti es yang berisi ikan. Ada ikan kerapu, jaring gigi, bawal, tenggiri, mejan, pari, bagok, dan ikan kaci di sana. Ikan mejan yang ada di sana besar-besar, beratnya mencapai puluhan kilo. Sementara satu ekor ikan pari beratnya rata-rata belasan kilo.
"Kalau ikan tenggiri di sini ada, tapi jarang," katanya.
Ikan-ikan itu dijual dengan harga puluhan ribu hingga ratusan ribu, tergantung jenisnya. Jika untuk mencari ikan bilis para nelayan menggunakan perahu kayu, maka untuk mencari ikan-ikan besar mereka menggunakan pompong. Untuk menangkap ikan mereka menggunakan jaring dan pancing.
Ikan hasil tangkapan nelayan itu tak hanya dijual ke tengkulak, tapi juga diolah untuk lauk makan sehari-hari. Saat rombongan Famtrip baru datang misalnya, langsung disambut oleh masyarakat desa. Hidangan yang disajikan pun nyaris semua terbuat dari ikan. Ada ikan bakar, ikan gulai, dan ikan goreng.
Meskipun punya potensi perikanan yang bagus, bukan berarti setiap hari nelayan bisa melaut. Saat musim utara dan selatan, mereka mau tidak mau harus tetap tinggal di rumah.
"Kedua musim itu anginnya kuat, kadang juga terjadi badai. Cuacanya riskan untuk melaut," tutur Ketua Dusun II Desa Pulau Berhala Idris.
Maka, untuk mengisi waktu, para nelayan ini lalu berkebun. Umumnya mereka menanam singkong. Orang di sana menyebutnya ubi. Ubi itu diolah menjadi makanan yang bisa menggantikan nasi.
"Orang sini menyebutnya sagu ubi, bentuknya memang mirip sagu rendang, bulat kecil-kecil," kata Idris sambil mengajak KORAN SINDO BATAM mengunjungi orangtua menantunya untuk melihat proses pembuatan sagu ubi.
Sampai di rumah Megawati (besan Idris), tampak pemandangan ubi yang sudah dipotong kecil-kecil. Ubi itu direndam di dalam kaleng-kaleng berisi air.
"Ini adalah salah satu proses pembuatan ubi sagu," kata Megawati.
Megawati dan keluarganya menanam ubi bukit yang tak jauh dari rumah mereka. Setelah cukup besar, ubi dicabut, lalu dikupas, dan dicincang halus. Setelah itu dimasukkan ke dalam penampungan.
Di sana ubi direndam hingga tiga hari sampai empuk. Setelah itu barulah patinya yang masam dibuang. Setelah kering, ubi diapit dengan karung, barulah ditumbuk, lalu dilenggang menjadi butiran-butiran kecil mirip beras.
Tak jauh dengan Megawati, Musiyah, perempuan berumur 58 tahun di Pulau Berhala menjadi orang yang sudah cukup lama mengolah ubi. Baginya, nasi menjadi pilihan keduanya setelah ubi untuk dijadikan makanan pokok.
"Saya mengolah ubi sagu itu sejak masih gadis dulu," kata nenek dari 14 cucu itu.
Musiyah menanam singkong di belakang rumahnya. Ubi sagu hasil produksinya tak hanya dikonsumsi sendiri. Biasanya ubi sagu itu dijualnya, harganya Rp7 ribu tiap satu kaleng susu.
Selain berkebun singkong, untuk mendapatkan tambahan, para nelayan di Pulau Berhala rata-rata juga memelihara ayam kampung. Melihat kearifan dan ekonomi lokal serta beberapa tempat dan peninggalan sejarah yang masih ada, Kasi Promosi Dispar Kepri Yuli Seperi menyebut potensi wisata yang ada di Pulau Berhala sangat menjanjikan. Dia berharap wisatawan dari Batam, Bintan, dan seluruh Kepri bisa berkunjung ke sana.
"Desanya masih tradisional, alami, dan segar. Tempat ini juga bisa jadi wisata alam dan snorkeling," katanya.
Laki-laki yang akrab disapa Feri ini menyebut rencana ke depan yang digagas Dispar Kepri adalah membangun pondok-pondok wisata di sana.
"Saat ini sedang dipersiapkan, apa saja fasilitas yang akan dibangun. Intinya kami ingin menjadikan Pulau Berhala sebagai desa wisata," ujarnya.
Disinggung soal kedatangan wisatawan Jambi yang sudah lebih sering ke sana, Yuli mengatakan itu tak jadi masalah. Masyarakat Pulau Berhala toh akan diuntungkan oleh wisatawan dari Jambi atau dari mana saja.
"Masyarakat kan bisa menyediakan ikan, menghidangkan makanan, juga menyediakan tempat menginap," katanya.
Memang, diperlukan manajemen yang bagus untuk mengelola Pulau Berhala. Ke depannya itu juga akan jadi agenda Dispar. Sementara itu, pihaknya juga mengimbau kepada pihak swasta untuk membuat paket wisata khusus ke Pulau Berhala.
"Untuk paket wisata, memang bagusnya dari pihak swasta," ucapnya.
"Tok..tok...tok.." bunyi kapal kayu yang dipukul-pukul memecah kesunyian malam. Di langit, bulan bersembunyi di balik awan. Nun di kejauhan, terlihat kerlap-kerlip cahaya di tengah laut. Cahaya itu berasal dari lampu petromaks yang dibawa nelayan mencari ikan di laut.
"Cuaca sedang bagus, anginnya tenang, kami akan mencari ikan bilis. Mereka akan muncul jika bulan tertutup awan," kata seorang nelayan sambil menenteng petromaks.
Ia menuju sebuah kapal kayu yang tertambat di tepi pantai. Langkahnya bergegas. Tangannya cekatan melepaskan tali tambang yang mengikat kapal. Di kejauhan, samar-samar suara tok..tok..tok terus bergema.
"Mari kita tunggu, saya penasaran dengan hasil tangkapan si bapak nelayan," tutur Yusuf, seorang peserta Famtrip dari Pecinta Alam Kepri (Pari).
Yusuf dan keempat rekannya lalu setia menanti para nelayan itu di pelantar. Dia melirik jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 20.00. Di langit, awan terus bergerak. Sesekali menutupi bulan, sesekali membiarkan bulan bersinar terang. Sekitar dua jam menunggu, para nelayan tak jua kembali. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke kantor desa tempat rombongan menginap.
Hampir tengah malam, beberapa orang dari rombongan itu nyaris terlelap, ketika Yossi, seorang peserta Famtrip berteriak memanggil peserta lain yang masih terjaga.
"Lihat, ada nelayan pulang melaut, mereka membawa ikan," kata Yossi yang langsung meloncat dari hammock (tempat tidur gantung). Telunjuknya mengarah ke nyala tungku dari pondok kecil di tepi pantai.
Segera rekan-rekannya yang lain ikut meloncat dari tempat tidur. Beberapa langsung mengambil kamera. Bergegas mereka mendatangi pondok tak berdinding itu. Sampai di sana, tampak seorang laki-laki berusia 40-an tahun tengah mengaduk kuali. Ikan bilis tampak memenuhi kuali tersebut.
Lelaki tersebut bernama Awang. Malam itu, dia baru saja pulang melaut. Hasilnya berupa sembilan keranjang ikan bilis. Kata Awang, masing-masing keranjang itu beratnya sekitar 5 kilogram.
Haryo, anaknya yang berusia belasan tahun ikut membantu Awang. Dia kelihatan bersemangat memasukkan kayu-kayu ke dalam tungku, menjaga agar api tetap menyala.
"Ini hasil tangkapan dua orang, saya dengan tetangga," kata Awang sambil terus mengaduk. Di atasnya sebuah lampu petromaks menerangi aktivitasnya.
Ikan bilis itu nantinya dijual sebagai ikan kering. Namun, sebelum dijemur, ikan harus direbus dulu selama 5-10 menit. Air yang digunakan untuk merebus adalah air laut dicampur garam. Setelah itu ditiriskan ke dalam keranjang. Lalu esok harinya ikan-ikan itu dijemur di bawah terik matahari selama tiga hingga empat jam.
"Tergantung panasnya," kata Awang.
Setelah kering, barulah ikan bilis itu dijual ke Dabo, salah satu kelurahan di Singkep, Lingga, Kepulauan Riau. Harga per kilonya Rp45 ribu. Cara menangkap ikan bilis, menurut Awang, gampang-gampang susah. Maka dibutuhkan trik khusus, dengan memancing ikan bilis untuk mendekat perahu.
"Lampu petromaks dan suara perahu kayu yang dipukul-pukul itu menarik perhatian mereka," sebut Awang.
Meskipun sekali menangkap mereka bisa mendapatkan puluhan kilo, tak setiap hari mereka bisa menemukan ikan bilis.
"Kadang bisa menemukan ikan bilis selama empat hari berturut-turut, lalu sepanjang tahun tak ketemu-ketemu lagi," lanjutnya.
Laut di sekitar Pulau Berhala memang tempat sasaran melaut yang bagus. Sekali turun melaut, para nelayan bisa menemukan berbagai jenis ikan. KORAN SINDO BATAM sempat berkunjung ke salah satu pengepul ikan. Di sana biasanya para nelayan menjual ikan. Pengepul itu nantinya membawa ikan tangkapan nelayan ke Dabo untuk dijual.
Seorang pengepul lalu menunjukkan belasan peti es yang berisi ikan. Ada ikan kerapu, jaring gigi, bawal, tenggiri, mejan, pari, bagok, dan ikan kaci di sana. Ikan mejan yang ada di sana besar-besar, beratnya mencapai puluhan kilo. Sementara satu ekor ikan pari beratnya rata-rata belasan kilo.
"Kalau ikan tenggiri di sini ada, tapi jarang," katanya.
Ikan-ikan itu dijual dengan harga puluhan ribu hingga ratusan ribu, tergantung jenisnya. Jika untuk mencari ikan bilis para nelayan menggunakan perahu kayu, maka untuk mencari ikan-ikan besar mereka menggunakan pompong. Untuk menangkap ikan mereka menggunakan jaring dan pancing.
Ikan hasil tangkapan nelayan itu tak hanya dijual ke tengkulak, tapi juga diolah untuk lauk makan sehari-hari. Saat rombongan Famtrip baru datang misalnya, langsung disambut oleh masyarakat desa. Hidangan yang disajikan pun nyaris semua terbuat dari ikan. Ada ikan bakar, ikan gulai, dan ikan goreng.
Meskipun punya potensi perikanan yang bagus, bukan berarti setiap hari nelayan bisa melaut. Saat musim utara dan selatan, mereka mau tidak mau harus tetap tinggal di rumah.
"Kedua musim itu anginnya kuat, kadang juga terjadi badai. Cuacanya riskan untuk melaut," tutur Ketua Dusun II Desa Pulau Berhala Idris.
Maka, untuk mengisi waktu, para nelayan ini lalu berkebun. Umumnya mereka menanam singkong. Orang di sana menyebutnya ubi. Ubi itu diolah menjadi makanan yang bisa menggantikan nasi.
"Orang sini menyebutnya sagu ubi, bentuknya memang mirip sagu rendang, bulat kecil-kecil," kata Idris sambil mengajak KORAN SINDO BATAM mengunjungi orangtua menantunya untuk melihat proses pembuatan sagu ubi.
Sampai di rumah Megawati (besan Idris), tampak pemandangan ubi yang sudah dipotong kecil-kecil. Ubi itu direndam di dalam kaleng-kaleng berisi air.
"Ini adalah salah satu proses pembuatan ubi sagu," kata Megawati.
Megawati dan keluarganya menanam ubi bukit yang tak jauh dari rumah mereka. Setelah cukup besar, ubi dicabut, lalu dikupas, dan dicincang halus. Setelah itu dimasukkan ke dalam penampungan.
Di sana ubi direndam hingga tiga hari sampai empuk. Setelah itu barulah patinya yang masam dibuang. Setelah kering, ubi diapit dengan karung, barulah ditumbuk, lalu dilenggang menjadi butiran-butiran kecil mirip beras.
Tak jauh dengan Megawati, Musiyah, perempuan berumur 58 tahun di Pulau Berhala menjadi orang yang sudah cukup lama mengolah ubi. Baginya, nasi menjadi pilihan keduanya setelah ubi untuk dijadikan makanan pokok.
"Saya mengolah ubi sagu itu sejak masih gadis dulu," kata nenek dari 14 cucu itu.
Musiyah menanam singkong di belakang rumahnya. Ubi sagu hasil produksinya tak hanya dikonsumsi sendiri. Biasanya ubi sagu itu dijualnya, harganya Rp7 ribu tiap satu kaleng susu.
Selain berkebun singkong, untuk mendapatkan tambahan, para nelayan di Pulau Berhala rata-rata juga memelihara ayam kampung. Melihat kearifan dan ekonomi lokal serta beberapa tempat dan peninggalan sejarah yang masih ada, Kasi Promosi Dispar Kepri Yuli Seperi menyebut potensi wisata yang ada di Pulau Berhala sangat menjanjikan. Dia berharap wisatawan dari Batam, Bintan, dan seluruh Kepri bisa berkunjung ke sana.
"Desanya masih tradisional, alami, dan segar. Tempat ini juga bisa jadi wisata alam dan snorkeling," katanya.
Laki-laki yang akrab disapa Feri ini menyebut rencana ke depan yang digagas Dispar Kepri adalah membangun pondok-pondok wisata di sana.
"Saat ini sedang dipersiapkan, apa saja fasilitas yang akan dibangun. Intinya kami ingin menjadikan Pulau Berhala sebagai desa wisata," ujarnya.
Disinggung soal kedatangan wisatawan Jambi yang sudah lebih sering ke sana, Yuli mengatakan itu tak jadi masalah. Masyarakat Pulau Berhala toh akan diuntungkan oleh wisatawan dari Jambi atau dari mana saja.
"Masyarakat kan bisa menyediakan ikan, menghidangkan makanan, juga menyediakan tempat menginap," katanya.
Memang, diperlukan manajemen yang bagus untuk mengelola Pulau Berhala. Ke depannya itu juga akan jadi agenda Dispar. Sementara itu, pihaknya juga mengimbau kepada pihak swasta untuk membuat paket wisata khusus ke Pulau Berhala.
"Untuk paket wisata, memang bagusnya dari pihak swasta," ucapnya.
(zik)