Sekolah Tan Malaka dan Pendidikan Kaum Tertindas

Sabtu, 07 Mei 2016 - 05:05 WIB
Sekolah Tan Malaka dan Pendidikan Kaum Tertindas
Sekolah Tan Malaka dan Pendidikan Kaum Tertindas
A A A
PERINGATAN Hari Pendidikan di Indonesia tidak lengkap rasanya tanpa menyebut sosok Bapak Republik Indonesia Tan Malaka. Pemikiran-pemikirannya mengenai pendidikan kaum tertindas, menjadi perenungan masyarakat dewasa ini.

Minimnya ulasan mengenai aktivitas politik Tan Malaka dalam dunia pendidikan, menjadi suatu ironi tersendiri dalam perkembangan sejarah pendidikan Indonesia modern. Cerita Pagi akan berusaha mengisi celah kosong tersebut.

Sebelum datang orang Belanda, bangsa Indonesia telah mengenal pendidikan, meski dilakukan dengan cara tradisional. Pendidikan pada anak-anak dilakukan dengan jalan beraneka ragam, mulai dengan permainan hingga membajak sawah.

Bahkan, wayang dan gamelan ikut mendidik mereka. Hingga tahun 1600, melalui berbagai pendidikan itu, orang Jawa telah berlayar jauh hingga ke Persia dan Peking. Jepara dan Gresik bahkan punya galangan kapal dan industri.

Namun, semua galangan kapal dan industri itu dihancurkan Belanda. Dengan hilangnya perindustrian, maka hancurlah pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada keadaan sosial.

Pada masa itu, bekerja bagi masyarakat Indonesia bukan suatu paksaan, melainkan kegemaran. Bagi bangsa Indonesia, dalam hal apapun, sejarah telah mencatat mereka tidak kalah hebat dengan bangsa timur dari negeri manapun.

Kejayaan masa lalu tersebut mulai menemui ajalnya setelah masuknya kapitalisme di Indonesia. Pabrik, perkebunan, dan lembaga pemerintah kolonial membutuhkan pegawai rendahan. Untuk itulah orang Indonesia dididik oleh Belanda.

Pendidikan yang hanya mencetak keset atau alas kaki Pemerintah Kolonial Hindia Belanda inilah yang ditentang oleh Tan Malaka dengan jalan ikut mendirikan sekolah-sekolah Sarekat Islam (SI), pada 6 Juni 1921, di Semarang.

Sekolah SI yang dikenal dengan sekolah Tan Malaka ini dimaksudkan sebagai tandingan sekolah pemerintah. Untuk itu, pada hakekatnya sekolah ini selalu mengarahkan tujuan dan impiannya sesuai dengan praktik politik masa itu.

Politik yang dimaksud di sini adalah yang dijalankan Partai Komunis Indonesia (PKI), di mana Tan Malaka kemudian menjadi ketuanya. Tujuan politik pendidikan sekolah SI adalah membebaskan kaum proletar dari ideologi borjuis.

"Bukanlah tujuan kami mendidik rakyat menjadi juru tulis seperti tujuannya sekolah gupernemen. Melainkan, selain buat mencari nafkah buat diri dan keluarga sendiri, juga buat membantu rakyat dalam pergerakannya," katanya.

Dasar sekolah SI adalah kerakyatan dalam masa penjajahan. Hidup bersama rakyat, untuk mengangkat derajat rakyat jelata. Bukan menjadi satu kelas yang terpisah dari rakyat dan dipakai oleh pemerintah kolonial untuk menindas rakyat.

Berhubung dengan dasar dan tujuan itu, maka metode sekolah SI adalah memajukan kecerdasan, perasaan dan kemajuan murid yang disesuaikan dengan kepentingan rakyat jelata, pergerakan, dan organisasi-organisasi kerakyatan.

Dari segi pelajaran, sebenarnya tidak ada yang berbeda antara sekolah Belanda dengan sekolah Tan Malaka. Mata pelajaran yang diberikan sama, meliputi berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa, dan lainnya.

Dalam setiap pelajaran, sekolah Tan Malaka selalu menyelipkan muatan tradisional untuk membangkitkan rasa bangga dan jiwa merdeka pada murid-muridnya kaum bumiputera, seperti menembang lagu Jawa dan menggambar tokoh wayang.

Mata pelajaran dalam sekolah Tan Malaka juga tidak baku sebagaimana yang ada pada sekolah pemerintah. Tidak ada buku panduan yang mengajarkan bagaimana para murid harus melakukan sesuatu, semua diserahkan kepada murid.

Metode ini hampir sama dengan perguruan tinggi di Belanda. Para murid diharuskan mencari dan menggunakan metode sendiri dan mengikuti tempo pelajarannya sendiri, sesuai dengan kemampuannya masing-masing, dan tanpa paksaan.

Penyampaian pelajaran tidak menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, karena akan menyulitkan para muridnya, terutama untuk pelajaran berhitung dan menulis. Meski demikian, penguasaan bahasa Belanda sangat ditekankan.

Untuk melatih dan mendidik para muridnya dalam membangun dan mengorganisir pergerakan rakyat, para murid diminta membangun perkumpulan-perkumpulannya sendiri yang sesuai dengan minat dan bakat yang ada pada masing-masing.

Dengan begitu, Tan Malaka ingin mengembangkan sifat anak yang masih suka bermain-main. Menurutnya, tidak baik bagi anak-anak untuk belajar terlalu keras berhari-hari. Anak-anak, harus mendapatkan haknya untuk bermain-main.

Kalau anak-anak sedang bermain, mereka boleh menggunakan aturannya sendiri. Para guru hanya boleh memantau, dan memiliki hak untuk ikut campur dalam masalah muridnya itu jika terjadi sesuatu yang sulit untuk dipecahkan.

Melalui pola belajar sambil bermain ini, Tan Malaka berhasil mendorong para muridnya untuk membentuk perkumpulan yang bernama Komite Sekolah yang bertugas mengatur semua murid-murid dan dipimpin oleh perwakilan para murid.

Perkumpulan ini juga memiliki uang kas mereka sendiri yang diperuntukan untuk kegiatan sosial dan mengisi buku-buku dalam perpusatakaan sekolah. Anggota perkumpulan ini memakai selendang merah bertuliskan Rasa Merdika.

Setiap rapat-rapat SI, anggota perkumpulan ini selalu hadir menyampaikan pidato mewakili sekolah dan menyanyikan lagu kaum tertindas Internasionale. Paduan suara ini dipimpin langsung oleh Tan Malaka, dan terkadang diwakili.

Saat menyanyikan lagu Internasionale, tidak jarang para murid terbawa oleh suasana, mata mereka menjadi merah dan suara mereka menjadi tinggi. Syair dalam lagu ini sangat disadari oleh para murid, sebagai korban kapitalisme.

"Anak-anak kita yang masuk sekolah SI dan yang tadinya belajar di sekolah Kelas Dua, sama seperti kaum muda Rusia. Mereka rajin dan ingin mencapai sesuatu, dan bila menyanyikan Internasionale mata mereka menyala," ungkapnya.

Lebih jauh, Tan Malaka berharap pola pendidikan yang dilaksanakan dapat mendorong lebih banyak berdirinya suatu perkumpulan-perkumpulan dikalangan murid, seperti perkumpulan wayang, sandiwara, surat kabar dan lainnya.

Penekanan terakhir dan paling sulit dicapai, namun bukan hal yang mustahil, adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab pada semua murid terhadap kepentingan kaum tertindas di Indonesia yang disebut sebagai keluarga Pak Kromo.

Salah satu jalan yang ditempuh untuk menumbuhkan sikap peduli terhadap rakyat miskin ini dilakukan dengan langkah membentuk satu Komite Kebersihan yang menanamkan rasa persamaan dan persaudaraan antarumat manusia di dunia.

Cara ini merupakan pemutakbalikan pendidikan gaya kolonial. Pada sekolah pemerintah, para murid belajar tentang kebersihan yang sebenarnya ingin memisahkan kedudukan murid-muridnya dengan rakyat yang melakukan pekerjaan kotor.

Pekerjaan kotor itu bukan satu tindakan kriminal yang melawan hukum, melainkan pekerjaan buruh rendahan dan tani yang memiliki derajat paling bawah dalam masyarakat kolonial. Pekerjaan inilah yang banyak dilakoni masyarakat.

Setelah keluar sekolah, para murid-murid sekolah pemerintah akan merasa jijik untuk membantu pekerjaan rakyat itu, karena pekerjaan rakyat dianggap tidak bersih atau sederajat dengan kedudukan mereka sebagai kaum terpelajar.

Pemikiran yang ditanamkan pada murid sekolah pemerintah inilah yang obrak-abrik Tan Malaka. Dengan memberikan satu pemahaman bahwa setiap pekerjaan tingkatnya sama, maka akan menciptakan hubungan yang rapat dengan rakyatnya.

Setelah adanya hubungan yang erat dengan rakyat, diharapkan para murid sekolah Tan Malaka dapat menyadari akan arti penting persatuan dan senang mendirikan perkumpulan-perkumpulan rakyat di bawah pimpinan mereka sendiri.

"Di sekolah diceritakan nasib kaum proletar di Hindia dan negara-negara lain, dan juga mengapa nasib mereka begitu buruk.. Kewajiban yang harus mereka pikul setelah mereka dewasa, membela berjuta-juta kaum proletar," tegasnya.

Pada rapat-rapat SI dan gerakan buruh, para murid yang sudah mengerti didorong aggar mau berbicara di muka umum, supaya mengikuti suara kaum Pak Kromo dan mengeluarkan pikiran, serta perasaan kaum miskin yang berjuta-juta.

Dengan mengikuti proses tersebut, setelah dewasa para murid sekolah Tan Malaka akan terbiasa mengeluarkan suara mereka yang mewakili kaum proletar, tidak hanya dalam bentuk buku, melainkan terjun langsung di tengah rakyat.

Sejak pertama didirikan, pada 6 Juni 1921, murid sekolah Tan Malaka langsung berjumlah 50 orang dan menjadi 120 orang pada Agustus 1921. Usulan agar membuka sekolah-sekolah Tan Malaka di lain tempat juga terus bermunculan.

Bahkan banyak gedung sekolah yang sudah dibangun, tetapi tidak ada gurunya. Rendahnya gaji yang ditawarkan pada sekolah ini membuat kesulitan yang harus dihadapi oleh Tan Malaka. Namun kesulitan itu bukan kendala berarti.

Dengan lihai, Tan Malaka mendirikan sekolah guru untuk mengajar di sekolahnya. Setelah persoalan guru berhasil diatasi, timbul masalah lain yang lebih gawat. Tan Malaka ditangkap dan dibuang oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Penangkapan dan pembuangan Tan Malaka bertalian erat dengan aktivitas politiknya dalam PKI. Ketika Semaoen pergi ke Rusia mewakili PKI pada Kongres Bangsa-Bangsa Timur Jauh Oktober 1921, Tan Malaka menggantikan posisinya.

Dalam Kongres PKI di bulan November 1921, Tan Malaka terpilih menjadi Ketua PKI menggantikan Semaoen. Beberapa hari setelah pemilihan itu, terjadi pemogokan pegawai pegadaian, di mana Tan Malaka yang memimpin pemogokan.

Aktivitas Tan Malaka dalam pemogokan inilah yang dijadikan dasar oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda segera menangkap dan membuangnya. Siang dan malam, Tan Malaka diikuti mata-mata Belanda dan pidatonya dicatat.

Pada 13 Februari 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap di Bandung. Di bawah kekuasaan sewenang-wenang perintah Gubernur Jenderal, dia dibuang dan berangkat ke Belanda, pada 24 Maret 1922. Demikian ulasan singkat Cerita Pagi.

Sumber Tulisan
* Harry A Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Jilid I, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Cetakan Pertama, Januari 1988.
* Helen Jarvis, Tan Malaka, Pejuang Revolusioner atau Murtad? Penerbit Cermin, Cetakan Pertama, November 2000.
* Tan Malaka, dari Penjara ke Penjara, Bagian Satu, Penerbit Teplok Press, Cetakan Kedua, Juli 2000.
* Tan Malaka, Naar de Republik Indonesia, Penerbit LPPM Tan Malaka, Cetakan Kelima, 2013.
* Paulo Freire, Pendidikan Masyarakat Kota, Penerbit LKiS, Cetakan Kedua, April 2008.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5518 seconds (0.1#10.140)