Jejak Dakwah Ahmad Hassan di Indonesia
A
A
A
SAAT menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, Presiden Joko Widodo menyebut sejumlah tokoh santri yang dianggap ikut menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka adalah KH Hasyim As'yari (Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Ahmad Hassan (Persis), Ahmad Soorhati (Al-Irsyad), dan Mas Abdul Rahman (Matlaul Anwar).
Nah, Cerita Pagi kali ini akan mengupas sosok Ahmad Hassan. yang banyak melahirkan sejumlah tokoh nasional, seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary. (Baca juga: Isa Anshary, Tokoh Persis Penentang Komunisme).
Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887. Nama kecilnya Hassan bin Ahmad. Sang ayah, Ahmad, merupakan pedagang, pengarang, dan wartawan terkenal di Singapura. Ahmad menjadi pemimpin redaksi surat kabar Nurul Islam di Singapura.
Sementara, ibunya, Hajah Muznah, berasal dari Madras, India dan mempunyai asal-usul dari Mesir, tetapi lahir di Surabaya.
Sang ayah berharap Ahmad Hassan menjadi penulis, meneruskan jejaknya. Pendidikan yang terbaik pun dia upayakan bagi anaknya itu.
Saat berusia tujuh tahun, Ahmad Hassan sudah mempelajari Alquran dan dasar-dasar pengetahuan agama. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua pelajaran ini dapat diselesaikannya dalam tempo dua tahun.
Setelah itu, dia masuk sekolah Melayu selama empat tahun dan mempelajari bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris.
Ahmad Hassan belajar ilmu Nahwu dan Sharaf pada Muhammad Thaib, guru terkenal di Minto Road atau Kampung Rokoh. Lalu ia memperdalam bahasa Arab pada Said Abdullah al-Munawi al Manusili.
Selain itu, dia juga memperdalam agama dengan Abdul Lathif, seorang guru yang terkenal di Melaka dan Singapura, Haji Hassan (Syekh dari Malabar), dan Syekh Ibrahim India. Semua proses belajar seperti itu ditekuni Ahmad Hassan hingga 1910 atau saat usianya mencapai 23 tahun.
Setelah menyelesaikan proses belajar tersebut, Ahmad Hassan mulai mengabdikan diri sebagai guru. Dia mengajar orang-orang India di beberapa tempat madrasah, yakni di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang Singapura. Selain itu, Ahmad Hassan mulai jadi penulis. Pada 1912-1913, dia membantu Utusan Melayu yang terbit di Singapura.
Ahmad Hassan banyak menulis artikel tentang Islam. Selain itu, ia pun sering menyampaikan ide-idenya dalam pidato.
Pikiran-pikiran Ahmad Hassan sangat tajam dan kritis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (Persis), pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid'ah, dan khurafat bisa dikatakan sama dengan Muhammadiyah. Karena itu, ada pula sebagian warga Muhammadiyah mengutip dari Ahmad Hassan.
Pada 1921, Ahmad Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya. Dia berniat meneruskan pengelolaan toko tekstil milik pamannya, tetapi mengalami kerugian. Dia pun kembali ke profesi awal sebagai tukang vulkanisir ban mobil.
Sambil usaha, dia menjalin persahabatan dengan tokoh Sarekat Islam seperti HOS Tjokroaminoto, AM Sangaji, dan Haji Agus Salim.
Ahmad Hassan juga pernah belajar menenun di Kediri. Tak puas, pada tahun 1925 dia pindah ke Bandung dan mendapat ijazah menenun di kota tersebut.
Di Bandung, dia bertemu dengan sejumlah saudagar Persis seperti Asy'ari, Tamim, dan Zamzam. Di Bandung, Ahmad Hassan tinggal di rumah keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis.
Ahmad Hassan sering diundang untuk ceramah dan memberikan pelajaran pada pengajian-pengajian jamaah Persis.
Dengan metode dakwah, kepribadian, dan pengetahuan yang luas, jamaah Persis tertarik pada Ahmad Hassan sehingga dikukuhkan sebagai guru dan tokoh Persis. Hal ini membuatnya batal balik ke Surabaya.
Setelah 17 tahun berjuang dan berdakwah di Bandung, pada 1941 Ahmad Hassan hijrah ke Bangil. Sosok yang suka memakai peci hitam dan sarung dari kain pelekat, jas putih tutup leher, dan sepasang sepatu ini membawa serta percetakannya untuk bekal hidup.
Sebagaimana yang dilakukan semasa di Bandung, di tempat barunya dia terus berdakwah melalui penulisan, tabligh, pengajian, dialog, dan perdebatan. Ia menulis buku, mencetak, dan menerbitkannya sendiri.
Di Bangil, Ahmad Hassan yang kerap memanggil orang dengan sebutan 'Tuan' ini mendirikan Pesantren Persis di samping pesantren putri yang sampai kini dihuni oleh para santri dari berbagai daerah.
Di Bangil pula, Ahmad Hassan mencurahkan perhatiannya kepada penelitian agama Islam, langsung dari sumber pokoknya, Alquran dan Sunah.
Ahmad Hasan telah menghasilkan 80 judul buku. Puncaknya, ia berhasil menyusun tafsir Alquran yang berjudul Al-Furqan. Al-Furqan merupakan kitab tafsir Alquran pertama di Indonesia. Pada 1956 untuk kali pertama, tafsirnya diterbitkan secara lengkap.
Hubungan dengan Bung Karno
Ahmad Hassan juga disebut memberikan andil besar terhadap pemikiran keislaman Presiden Soekarno. Bung Karno kerap meminta buku dan majalah karya Ahmad Hassan saat menjalani masa pembuangan oleh penjajah Belanda di Ende, Flores.
Surat-surat Bung Karno kepada Ahmad Hasan menjadi saksi kedekatan mereka meski sebelumnya terjadi perdebatan pemikiran berkepanjangan tentang Islam dan nasionalisme di antaranya keduanya.
Ketika Bung Karno ditahan di penjara Sukamiskin, Ahmad Hasan kerap mengunjunginya dan memberikan buku-buku bacaan. Ahmad Hassan menganggap Bung Karno sebagai kawannya.
Sebaliknya, ketika Ahmad Hassan dirawat di Rumah Sakit Malang, Bung Karno memberikan sejumlah uang untuk biaya pengobatan.
Ahmad Hassan meninggal pada 10 November 1958 di Surabaya. Umat Islam di Indonesia pun kehilangan sosok yang berperan dalam gerakan pemurnian ajaran Islam di Tanah Air.
Sumber:
- Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan, penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014.
- http://serunaihati.blogspot.co.id
Nah, Cerita Pagi kali ini akan mengupas sosok Ahmad Hassan. yang banyak melahirkan sejumlah tokoh nasional, seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshary. (Baca juga: Isa Anshary, Tokoh Persis Penentang Komunisme).
Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887. Nama kecilnya Hassan bin Ahmad. Sang ayah, Ahmad, merupakan pedagang, pengarang, dan wartawan terkenal di Singapura. Ahmad menjadi pemimpin redaksi surat kabar Nurul Islam di Singapura.
Sementara, ibunya, Hajah Muznah, berasal dari Madras, India dan mempunyai asal-usul dari Mesir, tetapi lahir di Surabaya.
Sang ayah berharap Ahmad Hassan menjadi penulis, meneruskan jejaknya. Pendidikan yang terbaik pun dia upayakan bagi anaknya itu.
Saat berusia tujuh tahun, Ahmad Hassan sudah mempelajari Alquran dan dasar-dasar pengetahuan agama. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, kedua pelajaran ini dapat diselesaikannya dalam tempo dua tahun.
Setelah itu, dia masuk sekolah Melayu selama empat tahun dan mempelajari bahasa Arab, bahasa Melayu, bahasa Tamil, dan bahasa Inggris.
Ahmad Hassan belajar ilmu Nahwu dan Sharaf pada Muhammad Thaib, guru terkenal di Minto Road atau Kampung Rokoh. Lalu ia memperdalam bahasa Arab pada Said Abdullah al-Munawi al Manusili.
Selain itu, dia juga memperdalam agama dengan Abdul Lathif, seorang guru yang terkenal di Melaka dan Singapura, Haji Hassan (Syekh dari Malabar), dan Syekh Ibrahim India. Semua proses belajar seperti itu ditekuni Ahmad Hassan hingga 1910 atau saat usianya mencapai 23 tahun.
Setelah menyelesaikan proses belajar tersebut, Ahmad Hassan mulai mengabdikan diri sebagai guru. Dia mengajar orang-orang India di beberapa tempat madrasah, yakni di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang Singapura. Selain itu, Ahmad Hassan mulai jadi penulis. Pada 1912-1913, dia membantu Utusan Melayu yang terbit di Singapura.
Ahmad Hassan banyak menulis artikel tentang Islam. Selain itu, ia pun sering menyampaikan ide-idenya dalam pidato.
Pikiran-pikiran Ahmad Hassan sangat tajam dan kritis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (Persis), pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid'ah, dan khurafat bisa dikatakan sama dengan Muhammadiyah. Karena itu, ada pula sebagian warga Muhammadiyah mengutip dari Ahmad Hassan.
Pada 1921, Ahmad Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya. Dia berniat meneruskan pengelolaan toko tekstil milik pamannya, tetapi mengalami kerugian. Dia pun kembali ke profesi awal sebagai tukang vulkanisir ban mobil.
Sambil usaha, dia menjalin persahabatan dengan tokoh Sarekat Islam seperti HOS Tjokroaminoto, AM Sangaji, dan Haji Agus Salim.
Ahmad Hassan juga pernah belajar menenun di Kediri. Tak puas, pada tahun 1925 dia pindah ke Bandung dan mendapat ijazah menenun di kota tersebut.
Di Bandung, dia bertemu dengan sejumlah saudagar Persis seperti Asy'ari, Tamim, dan Zamzam. Di Bandung, Ahmad Hassan tinggal di rumah keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri Persis.
Ahmad Hassan sering diundang untuk ceramah dan memberikan pelajaran pada pengajian-pengajian jamaah Persis.
Dengan metode dakwah, kepribadian, dan pengetahuan yang luas, jamaah Persis tertarik pada Ahmad Hassan sehingga dikukuhkan sebagai guru dan tokoh Persis. Hal ini membuatnya batal balik ke Surabaya.
Setelah 17 tahun berjuang dan berdakwah di Bandung, pada 1941 Ahmad Hassan hijrah ke Bangil. Sosok yang suka memakai peci hitam dan sarung dari kain pelekat, jas putih tutup leher, dan sepasang sepatu ini membawa serta percetakannya untuk bekal hidup.
Sebagaimana yang dilakukan semasa di Bandung, di tempat barunya dia terus berdakwah melalui penulisan, tabligh, pengajian, dialog, dan perdebatan. Ia menulis buku, mencetak, dan menerbitkannya sendiri.
Di Bangil, Ahmad Hassan yang kerap memanggil orang dengan sebutan 'Tuan' ini mendirikan Pesantren Persis di samping pesantren putri yang sampai kini dihuni oleh para santri dari berbagai daerah.
Di Bangil pula, Ahmad Hassan mencurahkan perhatiannya kepada penelitian agama Islam, langsung dari sumber pokoknya, Alquran dan Sunah.
Ahmad Hasan telah menghasilkan 80 judul buku. Puncaknya, ia berhasil menyusun tafsir Alquran yang berjudul Al-Furqan. Al-Furqan merupakan kitab tafsir Alquran pertama di Indonesia. Pada 1956 untuk kali pertama, tafsirnya diterbitkan secara lengkap.
Hubungan dengan Bung Karno
Ahmad Hassan juga disebut memberikan andil besar terhadap pemikiran keislaman Presiden Soekarno. Bung Karno kerap meminta buku dan majalah karya Ahmad Hassan saat menjalani masa pembuangan oleh penjajah Belanda di Ende, Flores.
Surat-surat Bung Karno kepada Ahmad Hasan menjadi saksi kedekatan mereka meski sebelumnya terjadi perdebatan pemikiran berkepanjangan tentang Islam dan nasionalisme di antaranya keduanya.
Ketika Bung Karno ditahan di penjara Sukamiskin, Ahmad Hasan kerap mengunjunginya dan memberikan buku-buku bacaan. Ahmad Hassan menganggap Bung Karno sebagai kawannya.
Sebaliknya, ketika Ahmad Hassan dirawat di Rumah Sakit Malang, Bung Karno memberikan sejumlah uang untuk biaya pengobatan.
Ahmad Hassan meninggal pada 10 November 1958 di Surabaya. Umat Islam di Indonesia pun kehilangan sosok yang berperan dalam gerakan pemurnian ajaran Islam di Tanah Air.
Sumber:
- Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan, penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014.
- http://serunaihati.blogspot.co.id
(zik)