Kartini Menggugat, Mengungkap Fakta yang Ditutupi

Senin, 25 April 2016 - 05:05 WIB
Kartini Menggugat, Mengungkap...
Kartini Menggugat, Mengungkap Fakta yang Ditutupi
A A A
KARTINI memang bukan pahlawan yang berjuang mengangkat parang dan senjata di medan perang, bukan pula pejuang yang menang karena menghabisi nyawa lawan-lawannya dalam pertempuran. Kartini sangat jauh dari sosok perkasa seperti itu.

Medan perjuangan Kartini juga tidak sama dengan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang sangat menguncang Hindia Belanda, menguras 20 juta gulden kas Negeri Belanda dan menewaskan 15.000 serdadu Kompeni.

Sesungguhnya, perjuangan Kartini sangat jauh berbeda, bahkan jauh lebih berat dari itu semua. Sebab dia bergerak sendirian tanpa pasukan dan dukungan dari organisasi massa yang saat itu belum lahir. Perjuangan Kartini adalah perjuangan moral.

Senjata Kartini hanya pena dan ilmu pengetahuan. Melalui tulisan-tulisannya, dengan menggunakan bahasa yang sangat indah, Kartini berhasil mengguncang dunia Barat yang dikaguminya dan menimbulkan simpati dunia internasional.

Dengan membaca surat-suratnya, kita mengetahui tempat Kartini yang seharusnya dalam sejarah perjuangan pembebasan rakyat. Kartini adalah salah satu perintis kebangkitan dan kesadaran nasional, jauh sebelum Budi Utomo lahir pada 1908.

Dalam tulisannya itu juga dapat diketahui bahwa Kartini-lah orang pertama yang memimpikan adanya pergerakan kebangsaan yang menyatukan para kesatria yang berjuang di tengah rakyat. Organisasi bernama Jong Java, lahir pada 1915.

Masyarakat Indonesia, terutama golongan wanitanya, sebenarnya patut merasa beruntung memiliki Kartini yang bisa dijadikan simbol emansipasi dan inspirasi yang tidak pernah kering dalam upayanya memperjuangan pembebasan rakyat.

Sayangnya, pengingkaran atas pengaruh Kartini yang begitu luas masih saja terus terjadi. Upaya ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mengabaikan dan tidak memiliki pengetahuan apa-apa tentang sejarah pergerakan wanita di Indonesia.

Anak Selir Bupati Jepara

Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April 1879. Ibu kandungnya bernama Mas Adjeng Ngasirah, seorang selir Asisten-Wedana Onder Distrik Mayong, Kabupaten Jepara, Raden Mas (RM) Adipati Ario Sosroningrat yang kemudian menjadi Bupati Jepara.

Semasa kecil, Kartini tinggal bersama ibu kandungnya. Masa-masa bersama Ngasirah, pernah diceritakannya kepada sahabat penanya Stella Zeehandelaar, sebagai masa-masa yang sangat indah, penuh kasih sayang, dan tidak terlupakan.

Meski begitu, Kartini tidak pernah bicara terus terang dan buka-bukaan tentang ibu kandungnya ini. Bagi para pembacanya, sikap Kartini ini menimbulkan kekecewaan, sekaligus tanda tanya besar, apakah Kartini malu menjadi anak seorang selir?

Ibu kandung Kartini, Ngasirah merupakan anak Kiai Modirono dengan Nyai Hajah Siti Aminah dari Telukawur Mayong. Dari ibu yang melahirkannya inilah, Kartini belajar dan paham tentang beratnya penderitaan seorang wanita yang menjadi selir.

Namun, Kartini tidak pernah menyalahkan dan mengugat ayahnya. Kartini terlalu lemah untuk itu. Sebaliknya, dia mengaku sangat sayang kepada ayahnya. Rasa sayangnya, bahkan telah melebihi rasa cintanya terhadap dirinya sendiri.

"Ayahlah orang yang berhak atas diri saya. Kalau seorang di antara kami berdua mutlak harus celaka juga, biarlah saya yang celaka," katanya. Sikap Kartini yang demikian, kerap dianggap sebagai bentuk persetujuan tidak langsung atas poligami.

Perkenalan dengan Dunia Barat

Kartini dikenalkan dengan peradaban Barat oleh ayahnya. Namun, secara langsung dia baru mulai mengenal dunia Barat dan praktik kolonialisme terhadap rakyatnya, saat menjadi murid sekolah dasar Belanda Europesche Lagere School (ELS).

Meski begitu, Kartini tidak pernah anti dan bersikap bermusuhan terhadap teman-temannya yang berbangsa Belanda. Bahkan, dia banyak menjalin hubungan rapat dengan anak-anak perempuan bangsa Eropa dan melakukan surat-menyurat dengannya.

Setelah lulus ELS, Kartini ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS). Namun niat Kartini ini mendapat banyak halangan, dan yang paling besar datang justru dari ayah yang sangat disayanginya.

Sebagai pelipur lara, RM Adipati Ario Sosroningrat tetap membolehkan Kartini tetap belajar di rumah dengan membaca banyak buku, majalah, surat kabar, dan melakukan surat-menyurat kepada teman-temannya yang berada jauh di Negeri Belanda.

Melalui surat-menyurat itulah, Kartini mulai menemukan kebebasannya dan belajar mengutarakan pemikiran-pemikirannya dalam bahasa tulisan. Mulai dari kedudukan wanita dalam masyarakat, seni ukir Jepara, karya sastra sampai ide-ide sosialisme.

Bahwa pandangan Kartini masa itu berkiblat dan dipengaruhi bangsa Eropa, terutama Belanda, menimbulkan kesan seolah-olah perjuangan Kartini bersifat kolonial. Hal ini terasa wajar, mengingat masa hidup Kartini dalam zaman Belanda.

Namun sesungguhnya, Kartini hanya mengambil dari Barat apa yang tidak dapat diberikan oleh negerinya, seperti pendidikan bagi kaum perempuan dan masyarakat umumnya. Dia juga ingin menyerap kebaikan peradaban Barat untuk kemuliaan bangsanya.

Kartini terlalu lemah untuk menjadi seorang Eropa. Jiwanya terlalu halus, hingga selalu melayang ketika mendengar suara gamelan ke masa silam. Meski memuji setinggi langit budaya Jawa, dia tidak segan melakukan kritik membangun.

Merintis Keluarga Berencana

Kartini merupakan perintis Keluarga Berencana (KB), jauh sebelum Orde Baru Soeharto mempopulerkan KB. Hal ini terungkap dari surat-suratnya kepada Nyonya Abendanon. Namun, ide Kartini saat itu melawan arus adat dan kebiasaan orang Jawa.

"Pendidikan sekolah bagi anak-anak pada waktu sekarang merupakan hal yang biasa sekali, tetapi kalau jumlah anak mencapai 25 orang, bagaimana mungkin pendidikan yang sebaik-baiknya itu dapat diusahakan bagi mereka semua," tulisnya.

Menurutnya, orang tidak berhak melahirkan anak, apabila dia tidak mampu menghidupinya. Karena, seorang anak juga memiliki hak untuk hidup layak, berpendidikan otak dan akhlak, bukan hanya hidup sembarangan hidup saja.

Namun, ide Kartini untuk membuat suatu keluarga berencana Indonesia saat itu tidak populer, sehingga sulit diwujudkan. Terlebih, pendidikan saat itu masih menjadi barang mahal yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang kaya saja.

Menjadi Selir Bupati Rembang

Kartini yang semula gigih melawan perkawinan di luar kehendak si anak gadis, seperti dinyatakan kepada Nyonya Ovink-Soer, istri Kontrolir Jepara, Wakil Binnenlandsch Bestuur atau pegawai administrasi kolonial, menjadi senjata makan tuan.

Nyatanya, Kartini menikah dengan orang yang tidak pernah dikenalnya dan tidak dicintainya. Bahkan, orang itu telah punya tiga orang selir dan enam orang anak. Kartini mengulang sejarah ibu kandungnya, menjadi selir seorang bupati.

Perkawinan Kartini dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojoadiningrat sempat mengejutkan banyak teman-temannya yang ada di Belanda. Sejak perkawinannya itu, Kartini kerap sakit-sakitan dan mulai jarang menulis surat kepada teman-temannya.

Tidak hanya itu, pendirian Kartini pun mulai mengalami perubahan. Kepada sahabatnya Stella, Kartini menulis, kebahagiaan seorang wanita yang paling tinggi, sejak berabad-abad lalu adalah hidup selaras dengan laki-laki.

Kartini juga mengatakan, pernikahan dengan Bupati Rembang justru telah membebaskannya dari kekangan. Sejak itu, dia bisa lebih cepat bekerja untuk rakyat dan terjun langsung ke lapangan. Semua tindakannya ini mendapat restu sang suami.

Setelah perkawinannya dan menjadi Raden Ayu di Rembang, Kartini baru bisa membuka sekolah kecil untuk anak-anaknya dan anak perempuan yang lebih besar. Maka itu, Kartini belum bisa dikatakan berhasil melaksanakan angan-angannya.

Meski tidak bisa melaksanakan semua ide-idenya, Kartini patut merasa bangga telah menjadi seorang ibu yang sejati. Usai melahirkan anak pertamanya, lima hari kemudian Kartini menghembuskan napas terakhirnya, pada usia 25 tahun.

Merintis Kebangkitan Nasional

Kartini adalah seorang perintis kebangkitan dan kesadaran nasional yang terlupakan. Gagasannya menuju persatuan dan ajakan langsung untuk bersatu, telah berkali-kali diutarakan Kartini, jauh sebelum Budi Utomo lahir pada 20 Mei 1908.

"Kami akan menggoyah-goyahkan gedung feodalisme itu dengan segala tenaga yang ada pada kami, dan andaikan hanya satu potong batu yang jatuh, kami akan menganggap hidup kami tidak sia-sia," tulis Kartini kepada Nyonya Ovink-Soer.

Pandangan Kartini saat itu sangat maju. Sebagai anak kandung dari feodalisme, dia merasa bahwa bangunan yang ditempatinya sedari kecil itulah yang menjadi biang keladi, penghambat kemajuan kaum bumi putera dalam mencapai kemerdekaannya.

"Tetapi sebelum itu, kami akan mencoba memperoleh kerjasama, meski dari hanya satu orang pria yang paling baik dan terpelajar di Jawa. Kami akan menghubungi kaum pria kita yang terpelajar dan progresif," tambahnya lagi.

Dengan bekerjasama kaum pria, Kartini ingin menandaskan bahwa perjuangan pembebasan rakyat yang disuarakannya bukan hanya untuk kaum wanita saja, tetapi juga kaum pria. Untuk itu, dia menyarankan agar terjadinya satu persatuan nasional.

"Sebab kami bukan berjuang untuk memusuhi kaum lelaki, melainkan untuk menentang pendapat-pendapat dan adat yang kolot, yang tidak berguna lagi bagi tanah Jawa di hari depan," sambungnya.

Selain menyerukan persatuan dengan kaum pria, Kartini juga menjalin hubungan dengan kaum wanita Jawa yang bernasib sama dengannya, dari kalangan elite. Namun uluran tangannya untuk ikut berjuang bersama tidak disambut positif.

"Hampir semua wanita yang kukenal mengutuk keadaan sekarang ini. Tetapi kutukan saja takkan menolong sedikitpun. Harus ada perubahan! Maka marikan ibu-ibu dan gadis-gadis, bangkitlah! Marilah kita bergandengan dan bekerjasama," terangnya.

Kartini-pun beranjak lebih jauh dengan pemikirannya mengenai pergerakan nasional. "Kaum muda, wanita dan pria, seharusnya saling berhubungan. Mereka seorang-seorang dapat berbuat sesuatu untuk mengangkat martabat bangsa kita," ungkapnya.

Meski dirasa berat, Kartini yakin, jalan persatuan itulah kuncinya. "Jika kita semua bersatu, menyatupadukan kekuatan kita dan bekerjasama, hasil pekerjaan kita akan lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuataan dan kekuasaan," tukasnya.

Mengagas Jong Java

Gagasan Kartini untuk menggalang front nasional diiringi dengan ide pembentukan satu organisasi gerakan yang disebut Jong Java. Jauh setelah kematiannya, organisasi itu akhirnya berdiri pada 1915, mula-mula dengan nama Trikoro Dharmo.

"Kami telah mendapat banyak pengikut. Angkatan muda kita telah mendukung sepenuhnya. Jong Java akan membangun persatuan, dan sudah tentu kami akan menggabung.. Mereka menamakan saya Ayunda. Saya menjadi kakak mereka," tulis Kartini.

Saat itu, Kartini sudah mendapat banyak pengikut dan kenalan dari sesama bangsanya. Mereka juga telah menjalin hubungan yang rapat dalam bentuk surat-menyurat kepadanya. Ini merupakan satu hal yang sama sekali baru pada waktu itu.

"Yang kami lakukan sekarang ini adalah hal yang baru sama sekali. Belum pernah ada pemudi yang surat menyurat dengan kaum pemuda. Dan kami melakukan itu seperti biasa saja, seolah-olah bukan hal yang aneh," sambungnya kepada Nyonya Ovink-Soer.

Dengan terjalinnya hubungan antara Kartini dengan para pemuda masa itu, maka terbukalah jalan menuju persatuan yang lebih matang. Maka menjadi jelas, bahwa Kartini bukan hanya pelopor emansipasi wanita, tetapi kesadaran nasional Indonesia.

Sumber Tulisan
*William H Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, Sebelum dan Sesudah Revolusi, LP3S, Cetakan Ketiga, Juni 1991.
*Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, Penerbit Djambatan, Oktober 1976.
*Vissia Ita Yulianto, Aku Mau, Feminisme dan Nasionalisme, Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903, Penerbit Buku Kompas, Cetakan Pertama, April 2004.
*Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Lentere Dipantara, Cetakan 3, Maret 2007.
*Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, KPG, Cetakan I, Juli 2008.
*Peter Carey, Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855, KPG, 2011.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0947 seconds (0.1#10.140)