Hari-hari Terakhir Pangeran Diponegoro di Pengasingan
A
A
A
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama RA Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Ontowiryo.
Perang antara Pangeran Diponegoro dan Belanda berawal ketika pihak pemerintah kolonial memasang patok di tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Saat itu, dia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Akibat perang ini Belanda harus membayar sangat mahal karena sebanyak 7.000 serdadu pribuminya serta 8.000 tentaranya sendiri tewas. Sementara biaya perang yang harus dikeluarkan mencapai 25 juta gulden (setara dengan USD 2,2 miliar saat ini). Karenanya Belanda dengan memanfaatkan segala cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro untuk menghentikan perang Jawa ini.
Sehingga setelah diperdaya dalam perundingan dengan Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock di Magelang pada 28 Maret 1830 akhirnya pihak Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
Sebelumnya De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan ke Batavia menggunakan Kapal Pollux pada 5 April di tahun yang sama.
Lalu pada 11 April 1830 sang pangeran sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch.
Lalu 30 April 1830 keputusan pun keluar, Pangeran Diponegoro serta para pengikut lainnya dibuang ke Manado.
Pada 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan Kapal Pollux yang dilengkapi 16 meriam laut ke Manado.
Setelah sampai di Manado, 13 Juni 1830 pangeran ditawan pada salah satu ruangan di Benteng Fort Nieuw Amsterdam. Sehingga dimulailah masa tiga tahun pertama pengasingan Pangeran di Sulawesi Utara dengan mendapat tunjangan 600 gulden setiap bulannya.
Pangeran menempati empat kamar bersama pengikut dan keluarga besarnya di Fort Nieuw Amsterdam. Sehingga dunia sang pangeran mendadak menyempit menjadi hanya seluas empat kamar itupun harus berbagi dengan keluarga dan pengikutnya.
Dua kuda pun dibeli untuk pangeran sehingga dia dapat berkeliling di daerah itu. Namun di sini pengalaman bergaulnya dengan penduduk setempat kurang begitu harmonis karena perbedaan agama.
Sehingga dia tidak lagi berminat untuk berkeliling ke desa-desa di sekitarnya. Dengan tunjangan 600 gulden pangeran pun mulai hidup sederhana dan menabung untuk suatu ketika berangkat naik haji ke Mekkah.
Satu-satunya kemewahan yang dilakukannya adalah membeli sarung keris berhiaskan emas untuk keris pusakanya Kanjeng Kiai Bondoyudo.
Karenanya uang tabungannya pun menjadi cukup besar sehingga membuat khawatir Belanda jika uang tersebut digunakan untuk membiayai perang baru. Lalu uang tunjangan Pangeran Diponegoro dipotong menjadi 200 gulden.
Dengan jumlah ini sangat kurang untuk hidup di pengasingan karena hanya cukup untuk membayar pembantu dan membeli makanan.
Hal ini mengakibatkan kondisi kesejahteraan pangeran turun drastis hingga diambang kemiskinan saat kematiannya karena jumlahnya tidak mencukupi mengingat keluarganya yang semakin besar ditambah dengan adik perempuannya Raden Ayu Dipowiyono beserta suaminya.
Ketegangan pun sering terjadi antara Diponegoro dengan adiknya sehingga RA Dipowiyono beserta suaminya. Namun disaat saat itulah sang pangeran sempat merampungkan catatan otobiografinya (Babad Diponegoro) pada 3 Februari 1832. Babad Diponegoro mulai dia ditulis pada 20 Mei 1831.
Naskahnya dibuat dengan aksara pegon dengan panjang 1.151 halaman kertas ukuran folio. Naskah itu terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama menceritakan sejarah Tanah Jawa mulai dari jatuhnya Majapahit hingga perjanjian Giyanti.
Sedang bagian kedua mengisahkan tentang kehidupan dan sepak terjang Pangeran Diponegoro sejak kelahirannya pada 1785 hingga pengasingannya di Manado.
Melalui Babad Diponegoro inilah sumber ajaran sang Pangeran dalam mendidik anak-anaknya yang sedang tumbuh di Manado.
UNESCO lalu menetapkan Babad Diponegoro pada 21 Juni 2013 sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Karena Babad Diponegoro merupakan salah satu karya sastra besar di era Jawa Modern.
Ketegangan dengan adiknya pun berakhir ketika RA Dipowiyono beserta suaminya dipulangkan ke Jawa pada Agustus 1832 oleh pemerintah Belanda.
Kemudian pada 20 Juni 1833 akibat kondisi darurat di Eropa memaksa Pemerintah Belanda memindahkan Pangeran Diponegoro ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
Penjagaan bagi Diponegoro semakin diperketat ketika berada di Makassar. Jika di Fort Nieuw Amsterdam pangerah masih diperkenankan untuk keluar benteng, namun di Fort Rotterdam pangeran dan pengikutnya tidak sama sekali diizinkan untuk keluar.
Pangeran pun dibatasi ruang geraknya karena berita-berita mengenai dirinya bisa bocor ke luar, di mana dia masih bisa berkorespondensi dengan kerabatnya di Yogya. Pangeran pun tidak diizinkan untuk menulis surat, namun dia diperbolehkan menulis untuk kesenangan sendiri dengan buku-buku dan naskah-naskah Jawa yang disalinkan baginya atas biaya pemerintah.
Pada 1838 pangeram mulai menyusun dua naskah dengan aksara pegon yaitu Sejarah Ratu Tanah Jawa dan Hikayat Tanah Jawa.
Sejarah Ratu Tanah Jawa bercerita tentang sejarah Jawa dan legenda-legenda sejarah Jawa, mulai dari Nabi
Adam hingga jatuhnya Majapahit pada sekitar 1510 dan kedatangan Islam. Sementara Hikayat Tanah Jawa isinya seputar pemahaman pangeran tentang Islam, pengalaman-pengalaman religiusnya, doa-doa sufi dan berbagai teknik meditasi serta denah denah mistik.
Dalam dekade terakhir hidupnya pangeran mulai mempersiapkan saat kematiannya dengan apa yang dalam tradisi mistrik Syatariah dikenal dengan plawanganing pati atau membuka pintu gerbang kematian.
Sehingga pada akhir 1848 dia meminta pada Gubernur Jenderal agar diizinkan bertemu lagi dengan kedua putranya Pangeran Dipokusumo dan Raden Mas Raib. Namun hal itu tidak dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pangeran pun mulai diisolasi di dalam Benteng Fort Rotterdam. Karena pengaruh Diponegoro masih dirasakan sehingga ada kekhawatiran pangeran akan coba melarikan diri mengingat Makassar adalah pelabuhan bebas.
Pada 11 Mei 1849 Gubernur Jenderal di Batavia mengirimkan surat rahasia yang memerintahkan bahwa Diponegoro harus tetap menghabiskan sisa hidupnya di dalam benteng. Sampai pada Senin 8 Januari 1855 Pangeran wafat, di mana penyebab kematiannya adalah kondisi fisik yang terus menurun lantaran usia lanjut. Pangeran lalu dimakamkan di Kampung Melayu bersama dengan keris pusakanya Kanjeng Kiai Bondoyudo.
Sumber :
- Buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, Peter Carey
- Wikipedia
Perang antara Pangeran Diponegoro dan Belanda berawal ketika pihak pemerintah kolonial memasang patok di tanah milik Diponegoro di Desa Tegalrejo. Saat itu, dia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Akibat perang ini Belanda harus membayar sangat mahal karena sebanyak 7.000 serdadu pribuminya serta 8.000 tentaranya sendiri tewas. Sementara biaya perang yang harus dikeluarkan mencapai 25 juta gulden (setara dengan USD 2,2 miliar saat ini). Karenanya Belanda dengan memanfaatkan segala cara untuk menangkap Pangeran Diponegoro untuk menghentikan perang Jawa ini.
Sehingga setelah diperdaya dalam perundingan dengan Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock di Magelang pada 28 Maret 1830 akhirnya pihak Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
Sebelumnya De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan ke Batavia menggunakan Kapal Pollux pada 5 April di tahun yang sama.
Lalu pada 11 April 1830 sang pangeran sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch.
Lalu 30 April 1830 keputusan pun keluar, Pangeran Diponegoro serta para pengikut lainnya dibuang ke Manado.
Pada 3 Mei 1830 Pangeran Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan Kapal Pollux yang dilengkapi 16 meriam laut ke Manado.
Setelah sampai di Manado, 13 Juni 1830 pangeran ditawan pada salah satu ruangan di Benteng Fort Nieuw Amsterdam. Sehingga dimulailah masa tiga tahun pertama pengasingan Pangeran di Sulawesi Utara dengan mendapat tunjangan 600 gulden setiap bulannya.
Pangeran menempati empat kamar bersama pengikut dan keluarga besarnya di Fort Nieuw Amsterdam. Sehingga dunia sang pangeran mendadak menyempit menjadi hanya seluas empat kamar itupun harus berbagi dengan keluarga dan pengikutnya.
Dua kuda pun dibeli untuk pangeran sehingga dia dapat berkeliling di daerah itu. Namun di sini pengalaman bergaulnya dengan penduduk setempat kurang begitu harmonis karena perbedaan agama.
Sehingga dia tidak lagi berminat untuk berkeliling ke desa-desa di sekitarnya. Dengan tunjangan 600 gulden pangeran pun mulai hidup sederhana dan menabung untuk suatu ketika berangkat naik haji ke Mekkah.
Satu-satunya kemewahan yang dilakukannya adalah membeli sarung keris berhiaskan emas untuk keris pusakanya Kanjeng Kiai Bondoyudo.
Karenanya uang tabungannya pun menjadi cukup besar sehingga membuat khawatir Belanda jika uang tersebut digunakan untuk membiayai perang baru. Lalu uang tunjangan Pangeran Diponegoro dipotong menjadi 200 gulden.
Dengan jumlah ini sangat kurang untuk hidup di pengasingan karena hanya cukup untuk membayar pembantu dan membeli makanan.
Hal ini mengakibatkan kondisi kesejahteraan pangeran turun drastis hingga diambang kemiskinan saat kematiannya karena jumlahnya tidak mencukupi mengingat keluarganya yang semakin besar ditambah dengan adik perempuannya Raden Ayu Dipowiyono beserta suaminya.
Ketegangan pun sering terjadi antara Diponegoro dengan adiknya sehingga RA Dipowiyono beserta suaminya. Namun disaat saat itulah sang pangeran sempat merampungkan catatan otobiografinya (Babad Diponegoro) pada 3 Februari 1832. Babad Diponegoro mulai dia ditulis pada 20 Mei 1831.
Naskahnya dibuat dengan aksara pegon dengan panjang 1.151 halaman kertas ukuran folio. Naskah itu terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama menceritakan sejarah Tanah Jawa mulai dari jatuhnya Majapahit hingga perjanjian Giyanti.
Sedang bagian kedua mengisahkan tentang kehidupan dan sepak terjang Pangeran Diponegoro sejak kelahirannya pada 1785 hingga pengasingannya di Manado.
Melalui Babad Diponegoro inilah sumber ajaran sang Pangeran dalam mendidik anak-anaknya yang sedang tumbuh di Manado.
UNESCO lalu menetapkan Babad Diponegoro pada 21 Juni 2013 sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Karena Babad Diponegoro merupakan salah satu karya sastra besar di era Jawa Modern.
Ketegangan dengan adiknya pun berakhir ketika RA Dipowiyono beserta suaminya dipulangkan ke Jawa pada Agustus 1832 oleh pemerintah Belanda.
Kemudian pada 20 Juni 1833 akibat kondisi darurat di Eropa memaksa Pemerintah Belanda memindahkan Pangeran Diponegoro ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
Penjagaan bagi Diponegoro semakin diperketat ketika berada di Makassar. Jika di Fort Nieuw Amsterdam pangerah masih diperkenankan untuk keluar benteng, namun di Fort Rotterdam pangeran dan pengikutnya tidak sama sekali diizinkan untuk keluar.
Pangeran pun dibatasi ruang geraknya karena berita-berita mengenai dirinya bisa bocor ke luar, di mana dia masih bisa berkorespondensi dengan kerabatnya di Yogya. Pangeran pun tidak diizinkan untuk menulis surat, namun dia diperbolehkan menulis untuk kesenangan sendiri dengan buku-buku dan naskah-naskah Jawa yang disalinkan baginya atas biaya pemerintah.
Pada 1838 pangeram mulai menyusun dua naskah dengan aksara pegon yaitu Sejarah Ratu Tanah Jawa dan Hikayat Tanah Jawa.
Sejarah Ratu Tanah Jawa bercerita tentang sejarah Jawa dan legenda-legenda sejarah Jawa, mulai dari Nabi
Adam hingga jatuhnya Majapahit pada sekitar 1510 dan kedatangan Islam. Sementara Hikayat Tanah Jawa isinya seputar pemahaman pangeran tentang Islam, pengalaman-pengalaman religiusnya, doa-doa sufi dan berbagai teknik meditasi serta denah denah mistik.
Dalam dekade terakhir hidupnya pangeran mulai mempersiapkan saat kematiannya dengan apa yang dalam tradisi mistrik Syatariah dikenal dengan plawanganing pati atau membuka pintu gerbang kematian.
Sehingga pada akhir 1848 dia meminta pada Gubernur Jenderal agar diizinkan bertemu lagi dengan kedua putranya Pangeran Dipokusumo dan Raden Mas Raib. Namun hal itu tidak dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pangeran pun mulai diisolasi di dalam Benteng Fort Rotterdam. Karena pengaruh Diponegoro masih dirasakan sehingga ada kekhawatiran pangeran akan coba melarikan diri mengingat Makassar adalah pelabuhan bebas.
Pada 11 Mei 1849 Gubernur Jenderal di Batavia mengirimkan surat rahasia yang memerintahkan bahwa Diponegoro harus tetap menghabiskan sisa hidupnya di dalam benteng. Sampai pada Senin 8 Januari 1855 Pangeran wafat, di mana penyebab kematiannya adalah kondisi fisik yang terus menurun lantaran usia lanjut. Pangeran lalu dimakamkan di Kampung Melayu bersama dengan keris pusakanya Kanjeng Kiai Bondoyudo.
Sumber :
- Buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, Peter Carey
- Wikipedia
(sms)