Rahmah El Yunusiyah, Pejuang Wanita dari Ranah Minang
A
A
A
Rahmah El Yunusiyah lahir pada tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 20 Desember 1900. Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatera Barat.
Anak bungsu dari lima bersaudara ini terlahir dari seorang Ayah yang bekerja sebagai Hakim dan ahli Ilmu Falak (astronomi) bernama Muhammad Yunus bin Imanuddin dengan seorang ibu bernama Rafi’ah.
Rahmah kecil telah mendapat pendidikan formal sekolah dasar selama tiga tahun di kota kelahirannya, Padang Panjang.
Saat ia berusia 15 tahun, pendidikan bahasa Arab dan Latin ia dapatkan dari Diniyah School (1915) dan dari kedua kakaknya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid.
Setiap sore, Rahmah remaja rutin mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Saat berumur 23 tahun, Rahmah nampak sempurna dan begitu istimewa untuk ukuran perempuan seusianya. Keinginan besarnya untuk memajukan keilmuan kaumnya dan mengeluarkan kaumnya dari kebodohan begitu bergelora.
Karena bagi Rahmah sendiri, perempuan memiliki peran yang penting dalam kehidupan, utamanya dalam rumah tangga. Karena rumah tangga adalah bagian dari tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara.
Tentulah ia tidak mau, kaumnya yang mempunyai peran penting dalam tiang negara dan pendidikan anak-anaknya tertinggal dari laki-laki.
Akhirnya pada tanggal 01 November 1923, Rahmah dengan dukungan dari kakaknya, Zaenuddin Labay dan teman-teman perempuannya di PMDS (Persatuan Murid-murid Diniyyah School) memutuskan untuk mendirikan sekolah khusus Perempuan yang dinamai Diniyah School Putri atau Madrasah Diniyah li al-Banat yang bertempat di Masjid Pasar Usang.
Saat itu, muridnya masih berjumlah 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda, termasuk putri dari Teungku Panglima Polim dan Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Pelajaran yang diajarkan yaitu ilmu agama dan tata bahasa Arab, namun belakangan sekolah ini menerapkan pendidikan modern dengan menggabungkan pendidikan agama, pendidikan sekuler dan pendidikan keterampilan.
Tiga tahun kemudian, gempa hebat mengguncang Sumatera Barat pada tahun 1926, bangunan sekolah dan asrama yang baru ia rintis luluh lantak, meski begitu Rahmah tidak menangis, Rahmah langsung bangkit kembali.
Dengan susah payah, ia membangun kembali sekolahnya dengan batangan bambu dua lantai berukuran 12×7 m2 dan menghimpun kembali para muridnya.
Namun, rupanya hal itu tidak cukup, bersama pamannya ia menjelajahi Aceh, Sumatera Utara, hingga menyeberangi Selat Malaka untuk mencari bantuan dana ke Malaysia.
Ternyata usahanya tidak sia-sia, Rahmah berhasil mengumpulkan dana yang cukup besar, yaitu sekitar 1569 gulden.
Kiprahnya dalam memajukan pendidikan bagi perempuan, tidak hanya membangun Diniyyah Putri School, tapi Rahmah juga mempelopori sekolah khusus perempuan.
Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al Azhar Kairo, Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri School, ia tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang ada di sekolah tersebut. Dari sana, ia menimba pengalaman dari sekolah yang didirikan oleh Rahmah.
Tidak lama setelah kunjungan tersebut, kampus Islam tertua di dunia itu membuka pendidikan khusus Perempuan yang bernama kulliyyât al-banât. Waktu itu memang, Al Azhar belum memiliki sekolah pendidikan khusus perempuan.
Dari rektor Al Azhar ini pula, pada tahun 1957, Rahmah mendapat gelar Syaikhah, gelar istimewa yang diberikan hanya untuk orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu dan menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Gelar tersebut setara dengan gelar Syaikh Mahmoud Shaltout, yang merupakan mantan Rektor Al Azhar.
Pada saat Rahmah masih hidup, gelombang dan wacana tentang emansipasi dan kesetaraan gender di Barat masih terus berlanjut.
Meski demikian hal ini tidak mempengaruhi sikap dan pemikirannya, ia tetap pada fitrahnya sebagai perempuan. Cicit atau keturunan keempat Rahmah, Fauziah Fauzan El Muhammady pun mengakui hal ini.
Meski menentang pembatasan mencari ilmu bagi perempuan, namun Rahmah tidak serta merta menjadi seorang Feminis, hal ini terlihat saat Rahmah mengikuti kongres Kaum Perempuan di Batavia pada tahun 1935, ia mewakili kaum ibu Sumatera Tengah.
Dalam kongres tersebut ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, dalam kongres tersebut, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.
Jati dirinya sebagai mujahidah sejati, tetap ia buktikan saat menentang pemerintah Jepang yang kala itu masih menjajah Indonesia, ia dan temannya mendirikan organisasi sosial politik seperti ADI (Anggota Daerah Ibu) Sumatera Tengah, tujuannya untuk menentang pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang.
Kelompok ini menuntut pemerintah Jepang agar menutup rumah kuning (istilah untuk prostitusi waktu itu) karena tidak sesuai dengan kebudayaan dan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia.
Ternyata tuntutan itu berhasil. Perempuan Indonesia tidak lagi menjadi budak pemuas nafsu seks tentara Jepang. Sebagai gantinya, Jepang mendatangkan perempuan-perempuan dari Singapura dan Korea.
Begitu pun saat masa pemerintahan Soekarno, Rahmah berani dan rela dikucilkan Soekarno, karena menentang kedekatan antara presiden Indonesia pertama ini dengan Komunis. Meski dicap sebagai pemberontak oleh pemerintah pusat saat itu karena bergabung dengan PRRI/PERMESTA, namun Rahmah tidak perduli dan menerima kebencian Soekarno pada dirinya dengan lapang dada.
Tidak cukup berhenti sampai di situ, pada tanggal 12 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang anggotanya berasal dari Gyu Gun Ko En Kai atau Laskar Rakyat.
Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih muda usia.
Ia tidak hanya terkait dengan BKR, TKR, TRI (kemudian berubah jadi TNI), tetapi juga mengayomi barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti laskar Sabilillah, laskar Hizbullah dan lain-lain.
Karena sifatnya yang mengayomi, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo Kanduang dari barisan perjuangan.
Pada tahun 1952-1954, Rahmah menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di Jakarta dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara untuk periode tahun 1955-1958.
Rahmah menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Idul Adha, tanggal 26 Februari 1969. Setidaknya ia telah memberikan kaum perempuan banyak pelajaran, bahwa menjadi pejuang, menjadi seorang Mujahidah, tidak perlu sampai mengorbankan kewajiban kita sebagai Ibu dan Wanita.
Cukuplah Khadijah radhiyallahu’anha, Aisyah radhiyallahu’anha, Khansa radhiyallahu’anha dan Rahmah El Yunusiyah sebagai contoh kita bahwa betapa mulianya tugas kita di hadapan-Nya.
Sumber:
wikipedia
gemaislam.info
diolah dari berbagai sumber
Anak bungsu dari lima bersaudara ini terlahir dari seorang Ayah yang bekerja sebagai Hakim dan ahli Ilmu Falak (astronomi) bernama Muhammad Yunus bin Imanuddin dengan seorang ibu bernama Rafi’ah.
Rahmah kecil telah mendapat pendidikan formal sekolah dasar selama tiga tahun di kota kelahirannya, Padang Panjang.
Saat ia berusia 15 tahun, pendidikan bahasa Arab dan Latin ia dapatkan dari Diniyah School (1915) dan dari kedua kakaknya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid.
Setiap sore, Rahmah remaja rutin mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Saat berumur 23 tahun, Rahmah nampak sempurna dan begitu istimewa untuk ukuran perempuan seusianya. Keinginan besarnya untuk memajukan keilmuan kaumnya dan mengeluarkan kaumnya dari kebodohan begitu bergelora.
Karena bagi Rahmah sendiri, perempuan memiliki peran yang penting dalam kehidupan, utamanya dalam rumah tangga. Karena rumah tangga adalah bagian dari tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara.
Tentulah ia tidak mau, kaumnya yang mempunyai peran penting dalam tiang negara dan pendidikan anak-anaknya tertinggal dari laki-laki.
Akhirnya pada tanggal 01 November 1923, Rahmah dengan dukungan dari kakaknya, Zaenuddin Labay dan teman-teman perempuannya di PMDS (Persatuan Murid-murid Diniyyah School) memutuskan untuk mendirikan sekolah khusus Perempuan yang dinamai Diniyah School Putri atau Madrasah Diniyah li al-Banat yang bertempat di Masjid Pasar Usang.
Saat itu, muridnya masih berjumlah 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda, termasuk putri dari Teungku Panglima Polim dan Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Pelajaran yang diajarkan yaitu ilmu agama dan tata bahasa Arab, namun belakangan sekolah ini menerapkan pendidikan modern dengan menggabungkan pendidikan agama, pendidikan sekuler dan pendidikan keterampilan.
Tiga tahun kemudian, gempa hebat mengguncang Sumatera Barat pada tahun 1926, bangunan sekolah dan asrama yang baru ia rintis luluh lantak, meski begitu Rahmah tidak menangis, Rahmah langsung bangkit kembali.
Dengan susah payah, ia membangun kembali sekolahnya dengan batangan bambu dua lantai berukuran 12×7 m2 dan menghimpun kembali para muridnya.
Namun, rupanya hal itu tidak cukup, bersama pamannya ia menjelajahi Aceh, Sumatera Utara, hingga menyeberangi Selat Malaka untuk mencari bantuan dana ke Malaysia.
Ternyata usahanya tidak sia-sia, Rahmah berhasil mengumpulkan dana yang cukup besar, yaitu sekitar 1569 gulden.
Kiprahnya dalam memajukan pendidikan bagi perempuan, tidak hanya membangun Diniyyah Putri School, tapi Rahmah juga mempelopori sekolah khusus perempuan.
Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al Azhar Kairo, Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri School, ia tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang ada di sekolah tersebut. Dari sana, ia menimba pengalaman dari sekolah yang didirikan oleh Rahmah.
Tidak lama setelah kunjungan tersebut, kampus Islam tertua di dunia itu membuka pendidikan khusus Perempuan yang bernama kulliyyât al-banât. Waktu itu memang, Al Azhar belum memiliki sekolah pendidikan khusus perempuan.
Dari rektor Al Azhar ini pula, pada tahun 1957, Rahmah mendapat gelar Syaikhah, gelar istimewa yang diberikan hanya untuk orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu dan menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Gelar tersebut setara dengan gelar Syaikh Mahmoud Shaltout, yang merupakan mantan Rektor Al Azhar.
Pada saat Rahmah masih hidup, gelombang dan wacana tentang emansipasi dan kesetaraan gender di Barat masih terus berlanjut.
Meski demikian hal ini tidak mempengaruhi sikap dan pemikirannya, ia tetap pada fitrahnya sebagai perempuan. Cicit atau keturunan keempat Rahmah, Fauziah Fauzan El Muhammady pun mengakui hal ini.
Meski menentang pembatasan mencari ilmu bagi perempuan, namun Rahmah tidak serta merta menjadi seorang Feminis, hal ini terlihat saat Rahmah mengikuti kongres Kaum Perempuan di Batavia pada tahun 1935, ia mewakili kaum ibu Sumatera Tengah.
Dalam kongres tersebut ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, dalam kongres tersebut, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.
Jati dirinya sebagai mujahidah sejati, tetap ia buktikan saat menentang pemerintah Jepang yang kala itu masih menjajah Indonesia, ia dan temannya mendirikan organisasi sosial politik seperti ADI (Anggota Daerah Ibu) Sumatera Tengah, tujuannya untuk menentang pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang.
Kelompok ini menuntut pemerintah Jepang agar menutup rumah kuning (istilah untuk prostitusi waktu itu) karena tidak sesuai dengan kebudayaan dan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia.
Ternyata tuntutan itu berhasil. Perempuan Indonesia tidak lagi menjadi budak pemuas nafsu seks tentara Jepang. Sebagai gantinya, Jepang mendatangkan perempuan-perempuan dari Singapura dan Korea.
Begitu pun saat masa pemerintahan Soekarno, Rahmah berani dan rela dikucilkan Soekarno, karena menentang kedekatan antara presiden Indonesia pertama ini dengan Komunis. Meski dicap sebagai pemberontak oleh pemerintah pusat saat itu karena bergabung dengan PRRI/PERMESTA, namun Rahmah tidak perduli dan menerima kebencian Soekarno pada dirinya dengan lapang dada.
Tidak cukup berhenti sampai di situ, pada tanggal 12 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang anggotanya berasal dari Gyu Gun Ko En Kai atau Laskar Rakyat.
Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih muda usia.
Ia tidak hanya terkait dengan BKR, TKR, TRI (kemudian berubah jadi TNI), tetapi juga mengayomi barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti laskar Sabilillah, laskar Hizbullah dan lain-lain.
Karena sifatnya yang mengayomi, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo Kanduang dari barisan perjuangan.
Pada tahun 1952-1954, Rahmah menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di Jakarta dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara untuk periode tahun 1955-1958.
Rahmah menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Idul Adha, tanggal 26 Februari 1969. Setidaknya ia telah memberikan kaum perempuan banyak pelajaran, bahwa menjadi pejuang, menjadi seorang Mujahidah, tidak perlu sampai mengorbankan kewajiban kita sebagai Ibu dan Wanita.
Cukuplah Khadijah radhiyallahu’anha, Aisyah radhiyallahu’anha, Khansa radhiyallahu’anha dan Rahmah El Yunusiyah sebagai contoh kita bahwa betapa mulianya tugas kita di hadapan-Nya.
Sumber:
wikipedia
gemaislam.info
diolah dari berbagai sumber
(nag)