Kisah Tombak Sulu sulu dan Sisingamangaraja
A
A
A
Raja Sisingamangaraja merupakan salah satu raja di tanah Batak yang tersohor ke berbagai negeri. Masyarakat Batak meyakini bahwa Raja Sisingamangaraja merupakan utusan Tuhan yang dilahirkan di Negeri Bakkara. Kehidupan masyarakat Batak di era itu tidak lepas dari ajaran dan aturan kehidupan yang diberikan oleh Raja Sisingamangaraja.
Sisingamangaraja sendiri merupakan panutan dan penuntun kehidupan bagi masyarakat Batak. Karena mewariskan berbagai pesan hidup yang sampai saat ini banyak dijadikan dasar perilaku masyarakat Batak yang baik. Salah satunya Dalihan Na Tolu atau tiga falsafah kehidupan hidup.
Secara turun temurun, Sisingamangaraja memegang tampuk pimpinan dalam tatanan sosial masyarakat Batak, terlebih di lembah Bakkara yang saat ini berada di wilayah adminsitrasi Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) Sumatera Utara (Sumut).
Hingga pada era penjajahan Belanda, kejayaan dan dinasti Raja Sisingamangaraja masih tetap terjaga dan menjadi raja penuntun hidup.
Bahkan pada saat dinasti Raja Sisingamangaraja ke XII, sangat dikenal dalam melawan penjajah. Hingga Raja Sisingamangaraja ke XII dijadikan sebagai pahlawan nasional dari tanah Batak.
Namun tidak begitu banyak yang mengetahui dimana Raja Sisingamangaraja pertama sekali dilahirkan.
Serta seperti apa tempat kelahiran Raja Sisingamangaraja yang diyakini memiliki banyak kesaktian dan menjadi penolong bagi sebahagian besar masyarakat batak pada era itu. Pasalnya tidak begitu banyak juga literatur yang mencatat tempat kelahiran sang raja tersebut.
Raja Sisingamangaraja yang pertama diyakini lahir di salah satu goa dalam hutan kecil yang ada di Desa Marbun, di Kecamatan baktiraja.
Hutan tersebut bernama Tombak Sulusulu, atau hutan pemberi terang. Konon di dalam goa kecil yang ada di hutan tersebut, ibu dari Sisingamangaraja yang pertama yakni Boru Pasaribu memohon kepada Tuhan sang pencipta atau Mula Jadi Nabolon agar diberikan anak laki-laki.
Dalam salah satu wawancara dengan pakar Arkeolog, Lukas Pertanda mengatakan bahwa Tombak Sulusulu secara alami merupakan sebuah goa.
Dalam cerita rakyat disebutkan sebagai tempat lahirnya Sisingamangaraja I hingga pada akhirnya menurunkan Sisingamangaraja ke XII.
Tombak Sulusulu merupakan satu lokasi yang dinilai memiliki nilai lebih bagi masyarakat batak di kawasan Baktiraja.
Hal itu juga yang harus dilihat sebagai catatan penting untuk menjadikan Tombak Sulusulu sebagai bagian dari cagar budaya.
“Yang pertama tadi diyakini sebagai tempat lahirnya Sisingamangaraja. Kedua dapat dikaitkan dengan Sisingamangaraja ke XII. Sehingga sangat berpotensi jika diangkat sebagai cagar budaya lokal maupun nasional,” paparnya.
Lukas Pertanda mengatakan, bahwa secara fisik Tombak Sulusulu adalah goa dalam satu kawasan hutan kecil. Tombak memiliki arti sebagai hutan.
Sementara Sulusulu adalah obor atau terang. Jika kaitkan dengan goa yang tidak terlalu besar namun keramat karena disanalah lahir Sisingamangaraja yang pertama.
Menurut keyakinan warga lahirnya Sisingamangaraja ditandai dengan adanya cahaya putih dari dalam goa memancar ditengah hutan. Sehingga disebut Tombak Sulusulu.
“Pintu masuknya hanya dapat dilalui dua orang saja. Namun di dalam masih dapat kita temukan mata air dan lesung batu. Mata air tersebut mengeluarkan air secara terus menerus dan menetes ke dalam lesung. Oleh masyarakat air itu digunakan sebagai tempat maranggir atau menggunakan jeruk purut yang bagi masyarakat sangat diyakini sebagai proses pembersihan diri,” katanya.
Lukas mengharapkan agar masyarakat dan pemerintah menjaga cagar budaya tersebut. Pasalnya banyak hal yang sifatnya sangat alami di dalam kawasan Tombak Sulusulu.
Karena itu, jika dilakukan pengembangan maka sangat diharapkan agar pengembangan tersebut tidak merusak situs-situs yang ada.
Serta mempertahankan kearifan local dalam menjaga goa tersebut. Selain itu, sisi pemamfaatan harus dilakukan.
Karena ke depan Tombak Sulusulu bukan sekedar berbicara tentang goa dan hutan. Melainkan harus dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan masyarakat misalnya sebagai lokasi wisata.
Sementara itu, dari berbagai kisah yang dituturkan maysarakat menyebutkan bahwa Tombak Sulusulu merupakan kawasan sakral yang harus dijaga dengan baik.
Untuk masuk ke dalam Tombak Sulusulu pengunjung harus benar-benar bersih baik dari sisi kejiwaan maupun badan.
Harus masuk dengan niatan yang baik, serta terhindar dari makanan-makanan yang diharamkan seperti daging babi dan daging anjing.
Selain itu bagi kaum hawa yang sedang datang bulan juga tidak diperkenankan masuk. Apabila dilanggar maka akan terjadi sesuatu yang tidak baik, bagi pengunjung yang melanggarnya.
Direktur Batakologi Nommensen, Manguji Nababan memaparkan bahwa Tombak Sulusulu sangat sarat dengan nilai-nilai sarat cagar budaya. Hal tersebut dapat dilihat dalam muatan tutur lisan yang disampaikan leluhur batak.
Secara turun temuran tuturan dari mulut ke telinga menyebutkan tentang kesakralan dan nilai-nilai falsaf hidup yang ada di Tombak Sulusulu. Salah satunya lahirnya Dalian Na Tolu yang saat ini menjadi dasar hidup masyarakat batak.
Lulusan Sastra Batak Univesitas Sumatera Utara (USU) tersebut memaparkan bahwa lahirnya Dalian Na Tolu tidak lepas dari perjalanan Sisingamangaraja.
Karena itu, masyarakat tetap melestarikan segala aspek yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan yang tersirat dalam situs-situs peninggalan Raja Sisingamangaraja.
Bahkan khusus untuk Tombak Sulusulu sendiri masyarakat menjaganya dengan berbagai mitos karena di Tombak Sulusulu juga terdapat sejumlah tanaman endemik yang diyakni mampu dijadikan sebagai bahan baku obat-obatan. Cara penjagaan itu juga yang secara lisan menjadi acuan untuk menjaga alam di sekitar masyarakat.
“Nilai tersebut pantas dilestarikan dalam cagar budaya. Serta harus diwariskan dan diturunkan pada generasi baru. Sekalipun sejara yang dibangun secara mitos. Karena mitos itu juga menjadi sumber sejarah. Karena di dalam mitos tersebut sarat pesan-pesan moral. Khususnya di lingkungan Bakkara,” katanya.
Selain itu, Sisingamangaraja diakui sebagai pelatak dasar adat batak di kawasan tersebut juga peduli dengan bagaimana kesejahteraan dari warga.
Ini terlihat dari adanya beberapa ritual yang berkaitan dengan perekonomian misilanya menentukan bibit padi sesuai musimnya dan dilakukan ritual.
Demikian juga keyakinan masyarakat bahwa Sisingamangaraja juga membuat berbagai sumber kehidupan lewat mata air dan sampai saat ini dapat dinikmati.
Manguji memaparkan bahwa potensi alam sangat mendukung bagaimana orang yang ingin berdoa secara khusus.
Pasalnya dalam kepercayaan yang dianut masyarakat batak pada masa lampau adalah keyakinan pada mula jadi Na Bolon atau Tuhan pencipta semesta.
Serta kawasan Bakkara merupakan kawasan yang tepat untuk tempat berteduh dan menyampaikan doa kepada Tuhan sebagaimana agama yang dianut masyarakat saat ini.
“Karena dari segi keindahan dan keteduhan alam, dapat mendekatkan manusia pada ketenangan untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya saat ini,” paparnya.
Sisingamangaraja sendiri merupakan panutan dan penuntun kehidupan bagi masyarakat Batak. Karena mewariskan berbagai pesan hidup yang sampai saat ini banyak dijadikan dasar perilaku masyarakat Batak yang baik. Salah satunya Dalihan Na Tolu atau tiga falsafah kehidupan hidup.
Secara turun temurun, Sisingamangaraja memegang tampuk pimpinan dalam tatanan sosial masyarakat Batak, terlebih di lembah Bakkara yang saat ini berada di wilayah adminsitrasi Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) Sumatera Utara (Sumut).
Hingga pada era penjajahan Belanda, kejayaan dan dinasti Raja Sisingamangaraja masih tetap terjaga dan menjadi raja penuntun hidup.
Bahkan pada saat dinasti Raja Sisingamangaraja ke XII, sangat dikenal dalam melawan penjajah. Hingga Raja Sisingamangaraja ke XII dijadikan sebagai pahlawan nasional dari tanah Batak.
Namun tidak begitu banyak yang mengetahui dimana Raja Sisingamangaraja pertama sekali dilahirkan.
Serta seperti apa tempat kelahiran Raja Sisingamangaraja yang diyakini memiliki banyak kesaktian dan menjadi penolong bagi sebahagian besar masyarakat batak pada era itu. Pasalnya tidak begitu banyak juga literatur yang mencatat tempat kelahiran sang raja tersebut.
Raja Sisingamangaraja yang pertama diyakini lahir di salah satu goa dalam hutan kecil yang ada di Desa Marbun, di Kecamatan baktiraja.
Hutan tersebut bernama Tombak Sulusulu, atau hutan pemberi terang. Konon di dalam goa kecil yang ada di hutan tersebut, ibu dari Sisingamangaraja yang pertama yakni Boru Pasaribu memohon kepada Tuhan sang pencipta atau Mula Jadi Nabolon agar diberikan anak laki-laki.
Dalam salah satu wawancara dengan pakar Arkeolog, Lukas Pertanda mengatakan bahwa Tombak Sulusulu secara alami merupakan sebuah goa.
Dalam cerita rakyat disebutkan sebagai tempat lahirnya Sisingamangaraja I hingga pada akhirnya menurunkan Sisingamangaraja ke XII.
Tombak Sulusulu merupakan satu lokasi yang dinilai memiliki nilai lebih bagi masyarakat batak di kawasan Baktiraja.
Hal itu juga yang harus dilihat sebagai catatan penting untuk menjadikan Tombak Sulusulu sebagai bagian dari cagar budaya.
“Yang pertama tadi diyakini sebagai tempat lahirnya Sisingamangaraja. Kedua dapat dikaitkan dengan Sisingamangaraja ke XII. Sehingga sangat berpotensi jika diangkat sebagai cagar budaya lokal maupun nasional,” paparnya.
Lukas Pertanda mengatakan, bahwa secara fisik Tombak Sulusulu adalah goa dalam satu kawasan hutan kecil. Tombak memiliki arti sebagai hutan.
Sementara Sulusulu adalah obor atau terang. Jika kaitkan dengan goa yang tidak terlalu besar namun keramat karena disanalah lahir Sisingamangaraja yang pertama.
Menurut keyakinan warga lahirnya Sisingamangaraja ditandai dengan adanya cahaya putih dari dalam goa memancar ditengah hutan. Sehingga disebut Tombak Sulusulu.
“Pintu masuknya hanya dapat dilalui dua orang saja. Namun di dalam masih dapat kita temukan mata air dan lesung batu. Mata air tersebut mengeluarkan air secara terus menerus dan menetes ke dalam lesung. Oleh masyarakat air itu digunakan sebagai tempat maranggir atau menggunakan jeruk purut yang bagi masyarakat sangat diyakini sebagai proses pembersihan diri,” katanya.
Lukas mengharapkan agar masyarakat dan pemerintah menjaga cagar budaya tersebut. Pasalnya banyak hal yang sifatnya sangat alami di dalam kawasan Tombak Sulusulu.
Karena itu, jika dilakukan pengembangan maka sangat diharapkan agar pengembangan tersebut tidak merusak situs-situs yang ada.
Serta mempertahankan kearifan local dalam menjaga goa tersebut. Selain itu, sisi pemamfaatan harus dilakukan.
Karena ke depan Tombak Sulusulu bukan sekedar berbicara tentang goa dan hutan. Melainkan harus dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan masyarakat misalnya sebagai lokasi wisata.
Sementara itu, dari berbagai kisah yang dituturkan maysarakat menyebutkan bahwa Tombak Sulusulu merupakan kawasan sakral yang harus dijaga dengan baik.
Untuk masuk ke dalam Tombak Sulusulu pengunjung harus benar-benar bersih baik dari sisi kejiwaan maupun badan.
Harus masuk dengan niatan yang baik, serta terhindar dari makanan-makanan yang diharamkan seperti daging babi dan daging anjing.
Selain itu bagi kaum hawa yang sedang datang bulan juga tidak diperkenankan masuk. Apabila dilanggar maka akan terjadi sesuatu yang tidak baik, bagi pengunjung yang melanggarnya.
Direktur Batakologi Nommensen, Manguji Nababan memaparkan bahwa Tombak Sulusulu sangat sarat dengan nilai-nilai sarat cagar budaya. Hal tersebut dapat dilihat dalam muatan tutur lisan yang disampaikan leluhur batak.
Secara turun temuran tuturan dari mulut ke telinga menyebutkan tentang kesakralan dan nilai-nilai falsaf hidup yang ada di Tombak Sulusulu. Salah satunya lahirnya Dalian Na Tolu yang saat ini menjadi dasar hidup masyarakat batak.
Lulusan Sastra Batak Univesitas Sumatera Utara (USU) tersebut memaparkan bahwa lahirnya Dalian Na Tolu tidak lepas dari perjalanan Sisingamangaraja.
Karena itu, masyarakat tetap melestarikan segala aspek yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan yang tersirat dalam situs-situs peninggalan Raja Sisingamangaraja.
Bahkan khusus untuk Tombak Sulusulu sendiri masyarakat menjaganya dengan berbagai mitos karena di Tombak Sulusulu juga terdapat sejumlah tanaman endemik yang diyakni mampu dijadikan sebagai bahan baku obat-obatan. Cara penjagaan itu juga yang secara lisan menjadi acuan untuk menjaga alam di sekitar masyarakat.
“Nilai tersebut pantas dilestarikan dalam cagar budaya. Serta harus diwariskan dan diturunkan pada generasi baru. Sekalipun sejara yang dibangun secara mitos. Karena mitos itu juga menjadi sumber sejarah. Karena di dalam mitos tersebut sarat pesan-pesan moral. Khususnya di lingkungan Bakkara,” katanya.
Selain itu, Sisingamangaraja diakui sebagai pelatak dasar adat batak di kawasan tersebut juga peduli dengan bagaimana kesejahteraan dari warga.
Ini terlihat dari adanya beberapa ritual yang berkaitan dengan perekonomian misilanya menentukan bibit padi sesuai musimnya dan dilakukan ritual.
Demikian juga keyakinan masyarakat bahwa Sisingamangaraja juga membuat berbagai sumber kehidupan lewat mata air dan sampai saat ini dapat dinikmati.
Manguji memaparkan bahwa potensi alam sangat mendukung bagaimana orang yang ingin berdoa secara khusus.
Pasalnya dalam kepercayaan yang dianut masyarakat batak pada masa lampau adalah keyakinan pada mula jadi Na Bolon atau Tuhan pencipta semesta.
Serta kawasan Bakkara merupakan kawasan yang tepat untuk tempat berteduh dan menyampaikan doa kepada Tuhan sebagaimana agama yang dianut masyarakat saat ini.
“Karena dari segi keindahan dan keteduhan alam, dapat mendekatkan manusia pada ketenangan untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya saat ini,” paparnya.
(sms)