Jejak Pangeran Diponegoro saat Diasingkan di Makassar

Senin, 07 Maret 2016 - 05:00 WIB
Jejak Pangeran Diponegoro saat Diasingkan di Makassar
Jejak Pangeran Diponegoro saat Diasingkan di Makassar
A A A
Cerita demi cerita mewarnai napak tilas kehidupan pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro sejak diasingkan dari tanah kelahirannya, Yogyakarta.

Di tahun 1830, Diponegoro diasingkan ke Benteng Amsterdam, Manado, Sulawesi Utara. Dalam perjalanannya menurut alkisah, beliau sempat melakukan perlawanan kepada serdadu pasukan Pemerintah Hindia Belanda.

Dengan pengawalan ketat sekira 50 pasukan kolonial Belanda, Diponegoro berhasil membunuh kurang lebih empat serdadu saat masih berada di lautan lepas dengan menggunakan kapal yang terbuat dari kayu.

"Hasil penelitian buku, perjalanan pengasingan beliau bukan waktu yang singkat, hampir satu bulan dalam perjalanan dengan situasi yangriscan dengan pengawalan ketat di perahu kayu. Saat itu, beliau melakukan perlawanan yang sempat direkam serdadu Belanda, ada empat orang serdadu meninggal sejak perjalanan," kata Staf Unit Publikasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel, Kamaruddin di Benteng Fort Rotterdam Makassar.

Meski demikian, Diponegoro masih tetap merasakan udara segar hingga berada di Manado bersama dengan tawanan lainnya, tak lain dan tak bukan adalah istri dan juga anaknya.

Selama tiga tahun dalam tawanan di Manado, Diponegoro dikabarkan tidak lagi memberikan perlawanan. Bahkan, kabar yang berkembang saat itu, Belanda mendengar akan ada gerakan rakyat Jawa menuju pulau Sulawesi.

Mendengar hal itu, kata Kamaruddin, Belanda kembali akan mengasingkan Diponegoro yang lokasinya juga berada di pulau Sulawesi.

Bahkan, saat hendak diasingkan, tempatnya dibuat simpang siur, Belanda mengaburkan isu jika Diponegoro akan diasingkan di Ternate padahal di masih kota berjuluk Angin Mammiri ini.

Kamaruddin kembali menjelaskan, hijrahnya tempat pengasingan Diponegoro menjadi pertimbangan matang kolonial Belanda.

Selain alasan adanya gerakan perlawanan rakyat Jawa menuju Manado untuk membebaskan Diponegoro, juga dipengaruhi oleh perubahan peta politik negara-negara Eropa yang dianggap sangat berpotensi mempengaruhi daerah jajahan Belanda saat itu, termasuk Manado.

"Alasan lainnya yaitu, hitungannya kalau di Benteng Fort Rotterdam tempatnya sangat refresentatif untuk pengamanan beliau. Karena di sini merupakan pusat kolonial belanda dan pusat dagang terbesar dibelahan Indonesia timur dan pusat mobilisasi pasukan belanda di kawasan timur, sangat memenuhi persyaratan jika beliau ditahan di benteng ini," jelas Kamaruddin.

Dengan demikian, di tahun 1833 Diponegoro kembali diasingkan ke Benteng Fort Rotterdam, Makassar. Tempat perasingan terakhir hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tahun 1855.

"Dalam buku Peter Carey dijelaskan juga, proses pemindahan dari Manado ke Makassar beliau ditempatkan ditempat yang tidak layak. Sama halnya saat pertama dikurung di tahanan benteng ini, kondisinya memang tidak layak karena panas. Bahkan akses keluar masuk super ketat sekali dari penjagaan, beliau menderita," tutur Kamaruddin.

Staf Unit Publikasi Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel lainnya, Jamal menuturkan, Diponegoro baru bisa merasakan kedamaian hidupnya usai bertemu dengan Pangeran Henrik Putra dari Pengeran William II.

Saat itu di tahun 1837, pertemuan keduanya menjalin komunikasi yang baik. Timbul belas kasih dari Pangeran Henrik agar Diponegoro ditahan di tempat yang layak, selayaknya sandangan pangeran yang melekat di tubuhnya.

"Maka saat itu Pangeran Henrik menyampaikan ke ayahnya, sebagai seorang pangeran harus mendapat tempat yang layak ditahan," ucap Jamal.

Olehnya itu, Diponegoro saat itu langsung dipindahkan bersama ke Gedung J (kondisi Benteng Fort Rotterdam saat ini) sebagai tahanan politik.

Gedung berlantai dua tersebut dulunya difungsikan Belanda sebagai ruangan perkantoran administrasi. Dan mulai saat itu, aktivitas Diponegoro mulai bebas meski masih dalam pengawalan ketat serdadu Belanda.

Dan saat itu pula, lanjut Jamal, Diponegoro sempat bersurat ke ibunya untuk dijenguk. Karena kondisi, hingga Diponegoro wafat diusianya yang ke 70 tahun dia tidak sempat bertemu dengan ibunya.

"Pengawasan saat itu super ketat. Bahkan sempat mengirim surat ke ibundanya supaya bisa bertemu namun tidak sempat bertemu karena tidak diperbolehkan. Apalagi ibunya saat itu sudah kondisi tua renta," terang Jamal.

Diponegoro pun dikabarkan wafat saat mengalami sakit. Namun, tidak ada satupun yang bisa menafsirkan sakit yang dideritanya selama itu.

Beliau wafat di lantai II gedung J Benteng Fort Rotterdam, Makassar, tempat dimana dia ditawan usai diberi kebebasan beraktivitas dari Pangeran William II.

Sebelum Diponegoro wafat, dia bertitip pesan kepada istrinya untuk dimakamkan di samping putranya yang mendahuluinya kembali keharibaan menuju kepada sang pemilik cinta.

"Ada pesan yang disampaikan kepada istrinya, kelak beliau dimakamkan tepat di samping putranya yang pertama meninggal di pemakaman muslim kampung melayu," ujar Jamal.

Pemakaman Diponegoro tersebut juga merupakan tanah sepeninggalan turunan ayahnya. Sehingga, setelah wafat, kolonial Belanda membangunkan tempat tinggal istri Diponegoro bersama beberapa anaknya.

Meski pada akhirnya, seluruh keluarga Diponegoro dimakamkan bersama dalam satu lokasi di jalan yang kini nama besarnya telah diabadikan oleh pemerintah dijadikan nama jalan, yakni Jalan Pangeran Diponegoro, Kecamatan Wajo, Makassar.

"Sejak beliau wafat, istri dan anaknya dibangunkan rumah karena sebenarnya hanya beliau "Diponegoro" lah yang ditahan. Sepanjang jalan itu pun bekas tanah Diponegoro," jelas Jamal.

Napak tilas kehidupan Diponegoro sejak ditawan sangatlah menderita. Begitu kejinya kolonial Belanda saat menahan beliau. Saat pertama kali ditangkap pun Belanda menyiasati agar dapat bertemu dengan Diponegoro.

Pemerintah Hindia Belanda membuat perundingan perdamaian di Batavia di tahun 1830. Saat itulah Diponegoro ditangkap dan diasingkan pertama kali ke Manado hingga tahun 1833.

"Begitu sulitnya beliau ditangkap, sampai Belanda mengatur siasat perundinga perdamaian. Sejak perlawanan, Belanda memang merasa gusar terhadap perlawanan beliau," sebut Kamaruddin.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5861 seconds (0.1#10.140)