Tidak Ada Anggaran Perawatan, Alat Pendeteksi Tsunami Rusak
A
A
A
JAKARTA - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, Indonesia memiliki buoy atau alat deteksi tsunami. Namun, karena kurang dirawat alat tersebut rusak semua.
"Indonesia punya 22 buoy. Tapi rusak semua. Tidak ada anggaran untuk melakukan perawatan," kata Sutopo di Graha BNPB, Jakarta Timur, Kamis (3/3/2016).
Sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat menyiarkan pesan darurat siaga bencana tsunami setelah adanya gempa 7,8 SR di Samudera Hindia yang terletak 682 km sisi Barat Daya Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu 2 Maret 2016 pukul 19.49 WIB.
Tak berselang lama, BMKG kembali menarik pesan itu dan merilis bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami. Akibatnya BMKG mencari ancaman tsunami secara manual.
Pihak BMKG menarik ancaman potensi tsunami lantaran bantuan dari bouy milik Australia yang berada di selatan Kepulauan Mentawai.
"Di sisi selatan Mentawai ada Pulau Cocos, Australia. Di situ ada satu buoy milik Australia" lanjutnya.
Sutopo mengakui Pemerintah Indonesia tidak pernah memberikan anggaran untuk melakukan perawatan buoy. Selain itu, banyak masyarakat melakukan aksi vandalisme pada mesin yang berharga Rp4-8 miliar itu.
"Banyak tangan-tangan vandalisme yang merusak buoy di lautan. Contohnya yang di Laut Banda. Warga banyak mengambil sensor, lampu, dan alat-alat pada buoy," keluhnya.
Sutopo meminta agar pemerintah lebih serius memerhatikan masalah tersebut, mengingat hanya buoy ini yang bisa mendeteksi apakah suatu gempa berpeluang tsunami atau tidak.
Meskipun begitu, ada lima buoy milik negara lain yang berada di sekitar Indonesia. Buoy internasional itu sedikit memberikan sumbangsih pada pendeteksian dini ancaman tsunami di Indonesia.
"Satu unit di barat Aceh milik India, satu unit di Laut Andaman milik Thailand, dua unit di selatan Sumba dekat Australia, dan satu unit di utara Papua milik Amerika," tutupnya.
"Indonesia punya 22 buoy. Tapi rusak semua. Tidak ada anggaran untuk melakukan perawatan," kata Sutopo di Graha BNPB, Jakarta Timur, Kamis (3/3/2016).
Sebelumnya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sempat menyiarkan pesan darurat siaga bencana tsunami setelah adanya gempa 7,8 SR di Samudera Hindia yang terletak 682 km sisi Barat Daya Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Rabu 2 Maret 2016 pukul 19.49 WIB.
Tak berselang lama, BMKG kembali menarik pesan itu dan merilis bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami. Akibatnya BMKG mencari ancaman tsunami secara manual.
Pihak BMKG menarik ancaman potensi tsunami lantaran bantuan dari bouy milik Australia yang berada di selatan Kepulauan Mentawai.
"Di sisi selatan Mentawai ada Pulau Cocos, Australia. Di situ ada satu buoy milik Australia" lanjutnya.
Sutopo mengakui Pemerintah Indonesia tidak pernah memberikan anggaran untuk melakukan perawatan buoy. Selain itu, banyak masyarakat melakukan aksi vandalisme pada mesin yang berharga Rp4-8 miliar itu.
"Banyak tangan-tangan vandalisme yang merusak buoy di lautan. Contohnya yang di Laut Banda. Warga banyak mengambil sensor, lampu, dan alat-alat pada buoy," keluhnya.
Sutopo meminta agar pemerintah lebih serius memerhatikan masalah tersebut, mengingat hanya buoy ini yang bisa mendeteksi apakah suatu gempa berpeluang tsunami atau tidak.
Meskipun begitu, ada lima buoy milik negara lain yang berada di sekitar Indonesia. Buoy internasional itu sedikit memberikan sumbangsih pada pendeteksian dini ancaman tsunami di Indonesia.
"Satu unit di barat Aceh milik India, satu unit di Laut Andaman milik Thailand, dua unit di selatan Sumba dekat Australia, dan satu unit di utara Papua milik Amerika," tutupnya.
(zik)