Muncul 'Keraton' Lain di Cirebon
A
A
A
CIREBON - Klaim sebagai raja bukan saja dilakukan Hasanudin. Seorang pria lain di Cirebon, Jawa Barat, juga mengklaim diri sebagai sultan dari sebuah keraton lain di luar ketiga keraton di Cirebon yang diakui secara nasional.
Mengklaim diri dengan gelar Pangeran Caruban (Ki Ageng Macan Putih), seorang pria di Desa Wargabinangun, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, Muslim, diketahui mengaku sebagai penguasa dari Keraton Caruban Nagari.
Padahal, selama ini di Cirebon hanya ada tiga keraton yang diakui, masing-masing Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
"Pria ini mengaku sebagai keturunan Sunan Gunung Jati, seperti halnya penguasa-penguasa tiga keraton di Cirebon," ungkap Budayawan Cirebon yang juga penulis aktif Koran SINDO, Nurdin M Noer, Selasa (1/3/2016).
Menurut Nurdin, sebuah kerajaan, khususnya di Jawa, memiliki tata ruang tradisional yang baku. Selain keberadaan keraton, penguasanya juga harus memiliki rakyat, adat, dan aturan perundang-undangan mengenai tata krama keraton itu sendiri. Ini pulalah yang menjadi syarat raja keraton.
Terlebih, semua keraton di Jawa menghadap utara mengingat utara mengandung medan magnet yang kuat. Keraton Caruban Nagari yang diklaim Muslim tak sesuai tata ruang tradisional yang baku. Karena itu, klaimnya tentu diragukan.
"Dari kajian budaya, keraton di Jawa itu seharusnya ada alun-alun di depan keraton, pohon beringin sebagai simbol perlindungan, masjid, dan pasar. Hak dia (Muslim) sebagai raja, tapi untuk raja sesungguhnya harus memenuhi tata ruang tradisional tadi," paparnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan Muslim tak ubahnya dengan Muhammad Abdullah Hasanudin yang dikenal sebagai 'Raja Terakhir'. Klaim sebagai raja, entah yang terakhir atau yang keberapa, dijelaskan Nurdin sebagai atavisme atau kondisi psikologis di mana karakteristik yang telah tenggelam ratusan tahun lalu dihidupkan kembali dan muncul sekarang.
Dia menyebutkan, fenomena semacam dijumpai pula di Bandung, Tasikmalaya, Demak, dan lainnya. Mereka, yang mengklaim sebagai raja, merasa kekuasaan lama yang pernah ada harus terus berlangsung dengan macam-macam alasan, termasuk kesejahteraan umat.
Nurdin yang juga jurnalis senior ini menyarankan, mereka yang mengklaim diri sebagai raja tersebut sebaiknya mendudukkan diri sebagai anggota masyarakat yang sebenarnya tanpa perlu menjadi raja. Mereka disarankan mencari peran di masyarakat yang lebih masuk akal.
Mengklaim diri dengan gelar Pangeran Caruban (Ki Ageng Macan Putih), seorang pria di Desa Wargabinangun, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, Muslim, diketahui mengaku sebagai penguasa dari Keraton Caruban Nagari.
Padahal, selama ini di Cirebon hanya ada tiga keraton yang diakui, masing-masing Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
"Pria ini mengaku sebagai keturunan Sunan Gunung Jati, seperti halnya penguasa-penguasa tiga keraton di Cirebon," ungkap Budayawan Cirebon yang juga penulis aktif Koran SINDO, Nurdin M Noer, Selasa (1/3/2016).
Menurut Nurdin, sebuah kerajaan, khususnya di Jawa, memiliki tata ruang tradisional yang baku. Selain keberadaan keraton, penguasanya juga harus memiliki rakyat, adat, dan aturan perundang-undangan mengenai tata krama keraton itu sendiri. Ini pulalah yang menjadi syarat raja keraton.
Terlebih, semua keraton di Jawa menghadap utara mengingat utara mengandung medan magnet yang kuat. Keraton Caruban Nagari yang diklaim Muslim tak sesuai tata ruang tradisional yang baku. Karena itu, klaimnya tentu diragukan.
"Dari kajian budaya, keraton di Jawa itu seharusnya ada alun-alun di depan keraton, pohon beringin sebagai simbol perlindungan, masjid, dan pasar. Hak dia (Muslim) sebagai raja, tapi untuk raja sesungguhnya harus memenuhi tata ruang tradisional tadi," paparnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan Muslim tak ubahnya dengan Muhammad Abdullah Hasanudin yang dikenal sebagai 'Raja Terakhir'. Klaim sebagai raja, entah yang terakhir atau yang keberapa, dijelaskan Nurdin sebagai atavisme atau kondisi psikologis di mana karakteristik yang telah tenggelam ratusan tahun lalu dihidupkan kembali dan muncul sekarang.
Dia menyebutkan, fenomena semacam dijumpai pula di Bandung, Tasikmalaya, Demak, dan lainnya. Mereka, yang mengklaim sebagai raja, merasa kekuasaan lama yang pernah ada harus terus berlangsung dengan macam-macam alasan, termasuk kesejahteraan umat.
Nurdin yang juga jurnalis senior ini menyarankan, mereka yang mengklaim diri sebagai raja tersebut sebaiknya mendudukkan diri sebagai anggota masyarakat yang sebenarnya tanpa perlu menjadi raja. Mereka disarankan mencari peran di masyarakat yang lebih masuk akal.
(zik)