Mirip Kalijodo, Namun Prostitusi di Pantai Selatan Bantul Sulit Ditertibkan

Senin, 29 Februari 2016 - 16:56 WIB
Mirip Kalijodo, Namun...
Mirip Kalijodo, Namun Prostitusi di Pantai Selatan Bantul Sulit Ditertibkan
A A A
BANTUL - Prostitusi memang menjadi permasalahan klasik yang dihadapi oleh pemerintah Kabupaten Bantul. Karena praktik prostitusi di kawasan Pantai Selatan Bantul sudah terjadi puluhan tahun lamanya. Peraturan Daerah (Perda) yang diciptakan oleh pemerintah untuk memberantas praktik prostitusi ternyata tak ampuh meredam bisnis haram ini.

Lurah Desa Parangtritis, Kecamatan Kretek, Topo mengakui jika praktik prostitusi masih marak di wilayahnya. Beberapa tahun yang lalu, praktik prostitusi tersebut terang-terangan dilakukan oleh Pekerja Seks Komersial (PSK), tetapi sejak pemerintah gencar melakukan razia praktik prostitusi kini lebih tersembunyi.

“Biasanya mereka ‘nyambi’ menjadi pemandu karaoke atau bahkan menyamar menjadi peziarah karena juga menggunakan kerudung,” katanya, Senin (29/2/2016).

Karena praktik prostitusi kini lebih banyak terselubung, maka pemerintah termasuk aparat keamanan sangat sulit untuk melakukan penertiban.

Hampir setiap minggu ataupun setiap bulan baik aparat Sat Pol PP ataupun Polres Bantul kesulitan. Tak hanya karena terselubung, razia tersebut seringkali bocor karena para pelaku seolah memiliki ‘mata-mata’.

Topo juga mengakui jika kini kios-kios relokasi Mancingan yang awalnya dibangun sebagai tempat relokasi para pedagang di pinggiran pantai kini banyak berpindah tangan.

Para pemilik awal justru tidak menggunakan kios yang sudah menjadi jatahnya. Pemilik kios asli justru mengontrakkan kepada pihak ketiga yang berminat menggunakannya.

Dan biasanya yang mengontrak tersebut justru orang-orang yang tidak jelas profesi dan asalnya."Ada yang profesinya preman, bahkan juga para PSK (pekerja seks komersial) dari daerah lain," ujarnya.

Karena pengelolaan yang tidak jelas meski sudah berlangsung lebih dari lima tahun, maka sampai saat ini tidak ada kontrol yang jelas ke penghuni maupun perilaku kios relokasi Parangtritis yang berada di Dusun Mancingan XI ini.

Topo mengakui banyak perilaku-perilaku menyimpang dilakukan oleh para penghuni dari luar daerah tersebut. Warga sebenarnya sudah kesal dengan para penghuni yang tidak tahu aturan.

Seringkali warga setempat memergoki para penghuni sedang berpesta minuman keras. Bahkan tak jarang kios relokasi tersebut dijadikan sebagai tempat untuk kumpul kebo.

Topo juga mengakui jika kios-kios tersebut ada yang digunakan sebagai tempat prostitusi. Mereka juga sering menggunakan lokasi tersebut untuk bertransaksi prostitusi.

"Memang benar kalau ada prostitusi terselubung di tempat tersebut," paparnya. Bupati Bantul, Suharsono mengaku akan merubah kawasan Pantai Selatan Bantul layaknya wisata di Bali.

Dia ingin membangun hotel dengan mendatangkan para investor, dan kini sudah ada yang berminat menanamkan modalnya. Namun sebelumnya, dia ingin praktik prostitusi dan bangunan-bangunan liar ditertibkan.

“Saya akan tertibkan bangunan dan pendatang liar, termasuk para PSK,” tuturnya. Rencana pemerintah yang akan melakukan penertiban kawasan Pantai Parangtritis terutama dari aktivitas prostitusi dan juga bangunan-bangunan liar nampaknya mendapat batu sandungan. Warga bersiap melakukan penolakan.

Warga yang merasa sudah tinggal selama puluhan tahun di kawasan tersebut justru menuntut pemerintah memberi mereka sertifikat kepemilikan lahan.

Ketua Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP) Watin mengaku siap menghadang langkah pemerintah yang akan menertibkan kawasan Pantai Parangtritis.

Mereka ingin, agar hak-hak sebagai warga diperhatikan dan dipenuhi. Sehingga kehidupan mereka tetap tenteram seperti sebelum ada penataan kawasan tersebut.

Watin mengatakan, selama belasan tahun kehidupan masyarakat di wilayah Mancingan dan sekitarnya tidak pernah tenteram.

Sejak 2007, kehidupan mereka diusik dengan beberapa kebijakan tidak memihak mereka yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. “Selalu saja ada kebijakan-kebijakan yang membuat kami tidak pernah tenteram,” timpalnya. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan di antaranya adalah Peraturan Daerah Nomorr 5/2007 tentang pelarangan pelacuran.

Belum selesai gonjang-ganjing Perda Larangan Pelacuran, pemerintah daerah telah melakukan penggusuran terhadap wilayah mereka di tahun yang sama.

Meskipun ada relokasi, namun lokasi relokasi yang sebagian warga tempati kurang bermanfaat dan tidak memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat setempat.

Setelah itu, muncul lagi penggusuran edisi kedua tahun 2009 hingga 2010, dengan alsan penataan. Dan sejak itu, warga khususnya di kawasan Mancingan yang kini mereka tempati. Teror resmi mereka terima berupa surat perintah pembongkaran.
Sebanyak enam kali surat perintah pembongkaran telah mereka terima, namun tak pernah warga gubris.

“Alasannya selalu saja kami dikatakan pendatang ilegal karena menempati tanah Sultan Ground dan tidak memilik surat izin,” ungkapnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1015 seconds (0.1#10.140)