Lenyapnya Dusun Kaum Sodom di Banjarnegara Tetap Misteri (4-Habis)
A
A
A
Pada April mendatang, hilangnya Dusun Legetang, persis genap 61 tahun. Memang kejadian tersebut telah lama berlangsung, kini hanya ada yang saksi bisu berupa tugu beton. Namun catatan maupun dokumentasi kejadian tersebut, praktis sulit untuk ditemukan.
Bahkan, setiap bulan April, tak ada peringatan khusus yang dilakukan warga sekitar atas kejadian pada 16 dan 17 April 1955, yang menewaskan 332 orang dan jauh melampui kejadian keracunan Kawah Sinila pada 1979.
Misteri hilangnya Dusun Legetang tersebut hingga sekarang tak ada peringatan khusus apapun. Warga sekitar membiarkan saja peristiwa yang telah berlangsung 61 tahun tersebut. “Tidak ada peringatan khusus, warga yang tetap biasa saja,” Hilal, warga Pekasiran.
Kejadian longsornya Gunung Pengamun-amun yang menghilangkan Dusun Legetang, dianggapnya telah berlalu.
Diakui Hilal, setiap bulan April, warga tidak membuat acara khusus maupun tahlil. “Setahu saya dari dulu nggak ada peringatan khusus,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Toyib, warga Kepakisan, Desa Kepakisan. Menurutnya, tidak ada peringatan khusus untuk mengenang peristiwa yang terjadi pada tahun 1955, itu.
“Bahkan di kampung sini saja, sudah tidak acara tahlilan. Kalau ada orang yang meninggal, ya langsungkan dimakamkan. Nggak ada istilah peringatan 7 hari, 40 hari maupun lainnya,” ujar dia.
Peristiwa Dusun Legetang, rupanya jatuh korban terbanyak karena mencapai 332 orang tewas. Kejadian tersebut hanyalah tinggal cerita belaka saja, sekalipun fakta longsor tersebut menghilangkan dusun tersebut. Di lingkup Pemkab Banjarnegara saja, tak memiliki dokumen resmi perihal kejadian di Dusun Legetang tersebut.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, Catur Subandrio mengatakan, BPBD tidak memiliki dokumen maupun lainnya menyangkut kejadian di Dusun Legetang pada 1955, itu.
Pihaknya, memperkirakan data-data yang ada dulunya di Satkorlak Banjarnegara. "Kemungkinan di Satkorlak datanya. Kami nggak ada data,” kata Catur.
Menurut Catur, yang dimiliki BPBD data terjadinya keracunan yang disebabkan kawah Sinila pada 1979. Untuk kejadian di Kawah Sinila yang menewaskan 149 jiwa datanya ada, bahkan dilengkapi dengan foto dokumentasi. “Legetang nggak ada. Coba di Anri (Arsip Nasional),” ujarnya.
Sementara itu, sekitar 1954, pemerintah membangun Pos Pengamatan Gunungapi Dieng Karangtengah yang berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berpusat di Bandung.
Meski pada tahun 1954 telah dibangun, keberadaan kantor ini mulai ditempati sejak 1959. Di mana salah satunya tugas melakukan pengamatan terhadap aktivitas vulkanologi sejumlah kawah yang berada di Dieng.
Sekalipun bangunan ini baru ditempati pada tahun 1959, di pos pengamatan Gunungapi Dieng terdapat data kejadian letusan Kawah Sileri yang terjadi pada tahun 1944.
Di mana pada kejadian 1944 tersebut, satu desa tak jauh dari Kawah Sileri tertimbun. Selain itu, kawah ini juga meletus pada tahun 1964, 1984, Juli 2003 dan September 2009. Pada tahun 2009 tersebut, muncul tiga celah kawah baru disertai dengan pancaran material setinggi 200 meter.
“Pos ini berdiri 1959, tapi kejadian tahun 1944 kami memiliki data. Ini datanya (sambil menunjukkan papan), tapi kalau kejadian di Legetang kami tidak ada data,” kata Surip, pengawai pengamat Gunung Api Dieng.
Sekalipun yang longsor tersebut di Gunung Pengamun-amun, diakui Surip, tidak memiliki data. Pihaknya justru mempersilakan untuk menanyakan kepada Pemkab Banjarnegara maupun instansi lainnya.
Namun demikian, pihaknya kini juga telah memasang alat untuk memantau pergerakan tanah di Wonosobo dan Banjarnegara. “Kami pasang tension meter di Karangkobar dan Sitieng, untuk mengetahui pergerakan tanah,” ujarnya.
Warga lain menyebutkan, kejadian hilangnya Dusun Legetang, faktanya memang dusun tersebut telah hilang. Namun jika memang longsor, material longsoran jauh sekali menutup dusun tersebut. "Sepertinya kok perlu kajian ilmiah atas kejadian tersebut. Wong faktanya ada longsor,” ujar seorang warga.
Bahkan, setiap bulan April, tak ada peringatan khusus yang dilakukan warga sekitar atas kejadian pada 16 dan 17 April 1955, yang menewaskan 332 orang dan jauh melampui kejadian keracunan Kawah Sinila pada 1979.
Misteri hilangnya Dusun Legetang tersebut hingga sekarang tak ada peringatan khusus apapun. Warga sekitar membiarkan saja peristiwa yang telah berlangsung 61 tahun tersebut. “Tidak ada peringatan khusus, warga yang tetap biasa saja,” Hilal, warga Pekasiran.
Kejadian longsornya Gunung Pengamun-amun yang menghilangkan Dusun Legetang, dianggapnya telah berlalu.
Diakui Hilal, setiap bulan April, warga tidak membuat acara khusus maupun tahlil. “Setahu saya dari dulu nggak ada peringatan khusus,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan Toyib, warga Kepakisan, Desa Kepakisan. Menurutnya, tidak ada peringatan khusus untuk mengenang peristiwa yang terjadi pada tahun 1955, itu.
“Bahkan di kampung sini saja, sudah tidak acara tahlilan. Kalau ada orang yang meninggal, ya langsungkan dimakamkan. Nggak ada istilah peringatan 7 hari, 40 hari maupun lainnya,” ujar dia.
Peristiwa Dusun Legetang, rupanya jatuh korban terbanyak karena mencapai 332 orang tewas. Kejadian tersebut hanyalah tinggal cerita belaka saja, sekalipun fakta longsor tersebut menghilangkan dusun tersebut. Di lingkup Pemkab Banjarnegara saja, tak memiliki dokumen resmi perihal kejadian di Dusun Legetang tersebut.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, Catur Subandrio mengatakan, BPBD tidak memiliki dokumen maupun lainnya menyangkut kejadian di Dusun Legetang pada 1955, itu.
Pihaknya, memperkirakan data-data yang ada dulunya di Satkorlak Banjarnegara. "Kemungkinan di Satkorlak datanya. Kami nggak ada data,” kata Catur.
Menurut Catur, yang dimiliki BPBD data terjadinya keracunan yang disebabkan kawah Sinila pada 1979. Untuk kejadian di Kawah Sinila yang menewaskan 149 jiwa datanya ada, bahkan dilengkapi dengan foto dokumentasi. “Legetang nggak ada. Coba di Anri (Arsip Nasional),” ujarnya.
Sementara itu, sekitar 1954, pemerintah membangun Pos Pengamatan Gunungapi Dieng Karangtengah yang berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi berpusat di Bandung.
Meski pada tahun 1954 telah dibangun, keberadaan kantor ini mulai ditempati sejak 1959. Di mana salah satunya tugas melakukan pengamatan terhadap aktivitas vulkanologi sejumlah kawah yang berada di Dieng.
Sekalipun bangunan ini baru ditempati pada tahun 1959, di pos pengamatan Gunungapi Dieng terdapat data kejadian letusan Kawah Sileri yang terjadi pada tahun 1944.
Di mana pada kejadian 1944 tersebut, satu desa tak jauh dari Kawah Sileri tertimbun. Selain itu, kawah ini juga meletus pada tahun 1964, 1984, Juli 2003 dan September 2009. Pada tahun 2009 tersebut, muncul tiga celah kawah baru disertai dengan pancaran material setinggi 200 meter.
“Pos ini berdiri 1959, tapi kejadian tahun 1944 kami memiliki data. Ini datanya (sambil menunjukkan papan), tapi kalau kejadian di Legetang kami tidak ada data,” kata Surip, pengawai pengamat Gunung Api Dieng.
Sekalipun yang longsor tersebut di Gunung Pengamun-amun, diakui Surip, tidak memiliki data. Pihaknya justru mempersilakan untuk menanyakan kepada Pemkab Banjarnegara maupun instansi lainnya.
Namun demikian, pihaknya kini juga telah memasang alat untuk memantau pergerakan tanah di Wonosobo dan Banjarnegara. “Kami pasang tension meter di Karangkobar dan Sitieng, untuk mengetahui pergerakan tanah,” ujarnya.
Warga lain menyebutkan, kejadian hilangnya Dusun Legetang, faktanya memang dusun tersebut telah hilang. Namun jika memang longsor, material longsoran jauh sekali menutup dusun tersebut. "Sepertinya kok perlu kajian ilmiah atas kejadian tersebut. Wong faktanya ada longsor,” ujar seorang warga.
(sms)