Gelombang Tinggi, Ribuan Nelayan Subang Tak Melaut
A
A
A
SUBANG - Ribuan nelayan di kawasan pesisir pantura Kabupaten Subang, tidak bisa melaut. Penyebabnya adalah kencangnya angin barat yang menyebabkan gelombang laut tinggi.
Para nelayan yang 'menganggur' dadakan ini, tersebar di empat kecamatan pantura, seperti Blanakan, Legonkulon, Ciasem, dan Pusakanagara.
"Gelombang lautnya tinggi banget, antara 1,5-2 meteran, dipicu kencangnya angin barat. Mereka jadi takut melaut, khawatir celaka," ujar tokoh nelayan Kecamatan Blanakan, Karya Zakaria, Senin (1/2/2016).
Menurutnya, mereka yang tak pergi melaut bisa mencapai ribuan orang. Sebab, cuaca buruk dan gelombang tinggi, terjadi merata di seluruh perairan pantura.
Untuk bisa bertahan hidup mengisi kekosongan waktu selama jeda tak melaut ini, banyak nelayan terpaksa bekerja serabutan, seperti kuli/buruh tani. Sedangkan para istri nelayan bekerja 'ngiteng', yakni memerbaiki jaring yang rusak.
"Banyak perahu dibiarkan berjejer di dermaga, karena tak dipakai. Sebagian lainnya digalang (disimpan untuk diperbaiki,red) di pengedokan (tempat khusus perahu,red). Kami berharap, pemerintah mengupayakan bantuan dana paceklik, atau sembako, untuk membantu meringankan beban hidup kami," tutur Karya.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Subang Mery Meryam, menyebut, berdasarkan data terkini instansinya, jumlah nelayan yang biasa beroperasi di sepanjang laut pantura, mencapai 6.500 orang.
Terdiri dari nelayan lokal (domestik) sebanyak 4.500 orang, dan nelayan pendatang yang menetap sementara (andon) sekitar 2.000 orang. Para nelayan andon ini, kata Mery, mayoritas berasal dari Jawa Tengah, seperti Rembang dan Brebes.
"Mereka biasa melaut di kawasan pantai Blanakan, Patimban Pusakanagara, Mayangan Legonkulon, dan Muara Ciasem," ucap Mery.
Namun akhir-akhir ini, akibat cuaca buruk dan gelombang tinggi yang mencapai 2 meter lebih, sebagian besar nelayan terpaksa berhenti bekerja. Pasalnya, rata-rata kapal (perahu) yang dimiliki nelayan berukuran kecil, antara 3-5 GT.
"Kapal dengan ukuran tersebut, tak bisa mengatasi ombak besar, makanya mereka memilih tak melaut karena takut celaka. Di musim normal pun, mereka kalau melaut paling jauh hanya 10 mil saja,"paparnya.
Pihaknya memperkirakan, cuaca buruk akibat angin barat ini, lazim berlangsung antara bulan-bulan Desember hingga Februari.
"Cuma memang, akibat banyaknya nelayan yang tak melaut, jumlah pasokan ikan di TPI-TPI (tempat pelelangan ikan,red) menjadi berkurang," pungkas Mery.
Para nelayan yang 'menganggur' dadakan ini, tersebar di empat kecamatan pantura, seperti Blanakan, Legonkulon, Ciasem, dan Pusakanagara.
"Gelombang lautnya tinggi banget, antara 1,5-2 meteran, dipicu kencangnya angin barat. Mereka jadi takut melaut, khawatir celaka," ujar tokoh nelayan Kecamatan Blanakan, Karya Zakaria, Senin (1/2/2016).
Menurutnya, mereka yang tak pergi melaut bisa mencapai ribuan orang. Sebab, cuaca buruk dan gelombang tinggi, terjadi merata di seluruh perairan pantura.
Untuk bisa bertahan hidup mengisi kekosongan waktu selama jeda tak melaut ini, banyak nelayan terpaksa bekerja serabutan, seperti kuli/buruh tani. Sedangkan para istri nelayan bekerja 'ngiteng', yakni memerbaiki jaring yang rusak.
"Banyak perahu dibiarkan berjejer di dermaga, karena tak dipakai. Sebagian lainnya digalang (disimpan untuk diperbaiki,red) di pengedokan (tempat khusus perahu,red). Kami berharap, pemerintah mengupayakan bantuan dana paceklik, atau sembako, untuk membantu meringankan beban hidup kami," tutur Karya.
Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Subang Mery Meryam, menyebut, berdasarkan data terkini instansinya, jumlah nelayan yang biasa beroperasi di sepanjang laut pantura, mencapai 6.500 orang.
Terdiri dari nelayan lokal (domestik) sebanyak 4.500 orang, dan nelayan pendatang yang menetap sementara (andon) sekitar 2.000 orang. Para nelayan andon ini, kata Mery, mayoritas berasal dari Jawa Tengah, seperti Rembang dan Brebes.
"Mereka biasa melaut di kawasan pantai Blanakan, Patimban Pusakanagara, Mayangan Legonkulon, dan Muara Ciasem," ucap Mery.
Namun akhir-akhir ini, akibat cuaca buruk dan gelombang tinggi yang mencapai 2 meter lebih, sebagian besar nelayan terpaksa berhenti bekerja. Pasalnya, rata-rata kapal (perahu) yang dimiliki nelayan berukuran kecil, antara 3-5 GT.
"Kapal dengan ukuran tersebut, tak bisa mengatasi ombak besar, makanya mereka memilih tak melaut karena takut celaka. Di musim normal pun, mereka kalau melaut paling jauh hanya 10 mil saja,"paparnya.
Pihaknya memperkirakan, cuaca buruk akibat angin barat ini, lazim berlangsung antara bulan-bulan Desember hingga Februari.
"Cuma memang, akibat banyaknya nelayan yang tak melaut, jumlah pasokan ikan di TPI-TPI (tempat pelelangan ikan,red) menjadi berkurang," pungkas Mery.
(nag)