Walhi Tolak Pengeboran Baru Lapindo di Sidoarjo
A
A
A
MALANG - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur menyoroti rencana pegeboran baru Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
Walhi menilai, PT Lapindo Brantas yang kembali ingin melakukan aktivitas pengeboran tahun 2016 di desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo yang hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari area yang telah terkubur semburan lumpur Lapindo, adalah bentuk pengingkaran negara terhadap rakyat.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur Ony Mahardika menyampaikan, status keselamatan ruang hidup rakyat nampaknya masih belum menjadi pilihan bagi pemegang kebijakan dan kuasa modal.
"Tragedi Lumpur Lapindo rupanya tidak pernah menjadi pelajaran. Di tengah karut marut pemulihan dampak semburan lumpur Lapindo yang tidak kunjung tuntas, rencana pengeboran kembali oleh PT Lapindo Brantas di desa Kedungbanteng adalah demonstrasi kebebalan pengusaha dan penguasa dalam urusan pertambangan migas dan keselamatan rakyat," tutur Ony Mahardika, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, dalam rilisnya.
Ia mengingatkan, tahun 2016 merupakan tahun kesepuluh dari tragedi industri migas yang kita kenal sebagai Lumpur Lapindo. Pada 29 Mei 2006 yang lalu, di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka.
Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektare di tiga kecamatan yakni Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa, lebih dari 75 ribu jiwa terusir dari kampung halamannya.
Menurut Ony, alasan Lapindo Brantas mengebor di wilayah darat Sidaorjo untuk membayar dana talangan yang dikucurkan pemerintah sangatlah tak mendasar.
Wilayah konsesi blok Brantas berada di wilayah laut sangat luas. Konsesi ini membentang dari Mojokerto hingga perairan Probolinggo. Kawasan yang jauh dari permukiman harusnya menjadi prioritas jika hendak melakukan pengeboran baru.
Walhi menilai, PT Lapindo Brantas yang kembali ingin melakukan aktivitas pengeboran tahun 2016 di desa Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo yang hanya berjarak kurang dari 2 kilometer dari area yang telah terkubur semburan lumpur Lapindo, adalah bentuk pengingkaran negara terhadap rakyat.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur Ony Mahardika menyampaikan, status keselamatan ruang hidup rakyat nampaknya masih belum menjadi pilihan bagi pemegang kebijakan dan kuasa modal.
"Tragedi Lumpur Lapindo rupanya tidak pernah menjadi pelajaran. Di tengah karut marut pemulihan dampak semburan lumpur Lapindo yang tidak kunjung tuntas, rencana pengeboran kembali oleh PT Lapindo Brantas di desa Kedungbanteng adalah demonstrasi kebebalan pengusaha dan penguasa dalam urusan pertambangan migas dan keselamatan rakyat," tutur Ony Mahardika, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, dalam rilisnya.
Ia mengingatkan, tahun 2016 merupakan tahun kesepuluh dari tragedi industri migas yang kita kenal sebagai Lumpur Lapindo. Pada 29 Mei 2006 yang lalu, di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka.
Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektare di tiga kecamatan yakni Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa, lebih dari 75 ribu jiwa terusir dari kampung halamannya.
Menurut Ony, alasan Lapindo Brantas mengebor di wilayah darat Sidaorjo untuk membayar dana talangan yang dikucurkan pemerintah sangatlah tak mendasar.
Wilayah konsesi blok Brantas berada di wilayah laut sangat luas. Konsesi ini membentang dari Mojokerto hingga perairan Probolinggo. Kawasan yang jauh dari permukiman harusnya menjadi prioritas jika hendak melakukan pengeboran baru.
(nag)