Pertemuan Noto Soeroto dengan Rabindranath Tagore
A
A
A
PUJANGGA berdarah ningrat ini cukup dikenal di negeri Belanda. Namun tidak di Tanah Kelahirannya sendiri, yakni Indonesia. Dialah Raden Mas (RM) Noto Soeroto, putra Pangeran Ario Notodirodjo (1858-1917).
Cucu Paku Alam V yang lahir di Keraton Pakualaman pada 5 Juni 1888 ini adalah penganjur politik asosiasi yang berusaha menggabungkan sifat-sifat terbaik orang Belanda dan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Dengan sentuhan pemikiran Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore yang sarat kandungan materialisme dan spiritualisme, Noto Soeroto percaya kemerdekaan Indonesia bisa dicapai tanpa mengorbankan rakyat ke tempat penjagalan.
Berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan rakyat Indonesia yang selalu mengumandangkan revolusi dengan kekerasan, Noto Soeroto berpijak pada jalan damai, cinta, dan kemanusiaan yang didengungkan Tagore.
Noto Soeroto merupakan salah satu orang Indonesia yang pertama-tama meneruskan pendidikannya di negeri Belanda. Dia ikut mendirikan Indische Vereeniging pada 1908 dan menjadi ketuanya pada 1911-1914.
Indische Vereeniging merupakan perkumpulan mahasiswa Indonesia pertama di Belanda yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) di mana Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir pernah menjadi anggotanya.
Setelah menamatkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS), Noto Soeroto diberangkatkan ke Den Haag untuk meneruskan sekolah menengahnya. Setelah lulus, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden mengambil ilmu hukum.
Selama menetap di Belanda, dia bertahan hidup dengan cara menulis diberbagai media. Di antaranya adalah majalah De Rijkseenheid, Waderopbouw, Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, Bandera Wolanda, Het getij, dan De Gids.
Tulisan-tulisan Noto Soeroto di berbagai media itu selain tentang politik asosiasi yang diyakininya, juga banyak mengupas tentang budaya. Semua tulisannya, banyak menggunakan bahasa Belanda dan Jawa.
Pada 1918, Noto Soeroto menikah dengan seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Jo Meijer. Dari perkawinannya itu, dia dikaruniai tiga orang anak, yang masing-masing adalah Rawindo, Dewatya, dan Harindro Dirodjo.
Untuk menambah pemasukan keuangannya, pada Mei 1920 dia mendirikan Boekhandel en Uitevers-Mij Hadi Poestaka atau Perusahaan Perdagangan Buku dan Penerbitan Hadi Poestaka dengan dibantu kawannya Louis Petit.
Melalui usahanya itu, Noto Soeroto berhasil menerbitkan kumpulan puisinya yang diberi judul Lotos en Morgendauw atau Teratai dan Embun Pagi. Buku ini berisi 21 sajak prosa dan ditujukan kepada kedua anaknya.
Saat Tagore datang ke Belanda, Noto Soeroto mewawancarainya. Dia lalu membukukan hasil wawancaranya itu dengan judul Rabindranath Tagore's Opvoedingsidealen atau Cita-cita Rabindranath Tagore di Bidang Pendidikan.
Dia juga menyusun kalender harian berisi ucapan-ucapan Tagore dan diterbitkan bersama penerbit Tagore. Pada 1921, Noto Soeroto kembali menerbitkan biografi Tagore yang banyak berisi pujian terhadap sang idola.
Pada tahun berikutnya 1922, Noto Soeroto kembali menerbitkan buku tentang Tagore yang berjudul Tagore De Leerschool van den Papegaai atau Sekolah Latihan Burung Kakatua sebagai kelanjutan buku yang sebelumnya.
Selain banyak menerbitkan buku-buku sastra dan budaya, Noto Soeroto juga menerbitkan disertasi Gondokoesoemo dan Koesoemah Atmadja. Buku Koeroemah Atmaja itu berjudul De Mohammedaansche Vrome Stichtingen in Indie.
Salah satu sorotan utama dalam buku itu adalah menentang penggunaan hak exorbitante rechten atau hak istimewa Gubernur Jenderal untuk membuang kaum pergerakan dan orang-orang yang tidak disukainya.
Pada 1923, Noto Soeroto menerbitkan majalah sendiri yang bernama Oedaya. Terbitan pertama majalah ini adalah April 1923. Dalam majalahnya itu, Noto Soeroto kembali menegaskan pendirian politiknya.
Pada terbitan-terbitan awal media itu tampak sekali keinginan Noto Soeroto untuk mengagas kerjasama antara Timur dan Barat. Filsafat kebudayaan Noto Soeroto diuraikan dalam tulisan Mangkoenogoro VII, Radjiman, Gandhi dan Tagore.
Pada tahun itu 1923, hubungan Noto Soeroto dengan Perhimpunan Indonesia (PI) masih baik. Banyak tulisan-tulisan tokoh PI yang diterbitkannya dan sikapnya terhadap PI juga terbilang ramah.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada 1924, Noto Soeroto menulis tentang meninggalnya Van Huetsz. Dalam tulisan itu, dia banyak mengkritik sikap orang Indonesia yang dinilai kurang cakap berorganisasi.
Dalam tulisan itu dia banyak memuji-muji Van Huetsz yang karena kebijakan kolonialnya terhadap Indonesia berdampak pada bersatunya berbagai suku bangsa di Indonesia. Dia bahkan menganggap Van Huetsz sebagai Bima dalam perwayangan.
Pada 14 Desember 1924, Noto Soeroto yang dikenal sebagai tokoh moderat dan paling berwibawa dalam PI dipecat melalui suatu rapat anggota. Pemecatan ini pukulan kencang bagi semangat asosiasi dan pihak Belanda.
Menanggapi pemecatan itu, Mohammad Hatta dengan nada merendahkan menulis, seorang penyair berbahasa Belanda yang sering disebut imitator Rabindranath Tagore dipecat karena mengkritik politik nonkooperasi.
Menurut Hatta, kritik Noto Soeroto itu untuk memperoleh simpatik dari pihak usahawan Belanda, terutama dari pihak yang memimpin perusahaan Belanda yang bekerja di Indonesia.
Sejak Noto Soeroto tidak terlalu aktif dalam PI, banyak terjadi perubahan mendasar dalam perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda itu. Terutama menyangkut sikap politik PI terhadap Belanda yang nonkooperatif.
Dalam asas perjuangannya, PI menyatakan sikapnya yang tegas terhadap Belanda dan mengusung semangat nasionalisme radikal. Majalah Hindia Poetra yang sempat mati akhirnya dihidupkan lagi dan namanya diganti menjadi Indonesia Merdeka.
Sementara itu, Noto Soeroto menjawab pemecatan itu dalam Oedaya. Dia menulis, tuduhan terhadap dirinya sangat hina dan tidak benar. Dia dituduh antikemerdekaan Indonesia, pujiannya terhadap Jenderal Van Heutszm dan lainnya.
Dengan penuh kekecewaan terhadap kawan-kawan seperjuangannya, Noto Soeroto mendendangkan Wayang Leideren sebagai bentuk sikapnya. Dalam karyanya itu, Noto Soeroto mengungkapkan semua pemikirannya.
Menurutnya, kemerdekaan hendaknya diraih dengan menggunakan akal budi, terutama dalam mengekang kebencian serta kemarahan hati. Untuk itu, perjuangan harus diusahakan untuk kesejahteraan hidup rakyat yang lebih baik.
Sebaliknya, dia menganggap kaum nasionalis Indonesia berjudi dengan jiwa rakyat sebagai taruhannya. Idealisme yang ada di dalam jiwa-jiwa kaum nasionalisme itu sangat berbahaya karena akan membawa rakyat ke tempat penjagalan.
Lebih jauh, dia melihat belum adanya persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia, serta masih lemahnya Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial dan belum adanya pengalaman dalam bidang politik, akan membawa kehancuran.
Noto Soeroto meyakini bahwa pemikirannya kelak akan dipikirkan dan digunakan ketika dengung revolusi sudah tidak lagi riuh rendah bergemuruh di negeri ini. Maka disaat itulah dia yakin pemikirannya akan digunakan.
Pada 1930, dia terpilih sebagai Ketua Perserikatan Indonesia-Belanda (NIV). Jabatan ini hanya digenggamnya selama setahun. Pada 1932, dia kembali ke Tanah Airnya Indonesia dan meninggalkan keluarganya di Belanda.
Selama di Indonesia, Noto Soeroto bekerja di asuransi dan sebagai Sekretaris Pribadi Mangkunagara VII kawan lamanya. Dalam pendudukan Jepang di Indonesia, Noto Soeroto dianggap bekerja sama dengan Belanda sehingga disiksa Jepang.
Setelah mangkatnya Mangkunagara VII, dia mencoba karier kewartawanan di De Locomotief. Tragis, kemiskinan di akhir hidupnya membuatnya sangat menderita. Pada 25 November 1951, Noto Soeroto mangkat di Surakarta pada usia 63 tahun.
Demikian penggalan riwayat Noto Soeroto sang humanis yang terlupakan. Semoga ulasan singkat ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan kepada pembaca.
Sumber Tulisan
*Mohammad Hatta, Memoir, Tinta Mas Indonesia, Cetakan Kedua, 1982.
*Harry A. Poeze, Cornelis Dijk, Inge van der Meulen, Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda 1600-1950, Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
*Rosa M.T.Kerdijk : Wayang-Liederen, Biografi Politik Budaya Noto Soeroto, Komunitas Bambu, Cetakan Pertama, 2002.
*Aggasi Malik, Cinta dan Kemanusiaan yang Gagal: Dilema Revolusi dan Sebentuk Hasrat Kekuasaan dalam Ramalan, dikutip dalam laman gerakanaksara.blogspot.co.id.
*Noto Soeroto, dikutip dalam laman Wikipedia Indonesia.
PILIHAN
Riwayat Raja Gula dari Semarang Oei Tiong Ham
RM Sosrokartono, Saksi Perjanjian Damai Rahasia Perang Dunia I
Jalan Sunyi Sutan Sjahrir
Surat Wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka
Cucu Paku Alam V yang lahir di Keraton Pakualaman pada 5 Juni 1888 ini adalah penganjur politik asosiasi yang berusaha menggabungkan sifat-sifat terbaik orang Belanda dan Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Dengan sentuhan pemikiran Mahatma Gandhi dan Rabindranath Tagore yang sarat kandungan materialisme dan spiritualisme, Noto Soeroto percaya kemerdekaan Indonesia bisa dicapai tanpa mengorbankan rakyat ke tempat penjagalan.
Berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan rakyat Indonesia yang selalu mengumandangkan revolusi dengan kekerasan, Noto Soeroto berpijak pada jalan damai, cinta, dan kemanusiaan yang didengungkan Tagore.
Noto Soeroto merupakan salah satu orang Indonesia yang pertama-tama meneruskan pendidikannya di negeri Belanda. Dia ikut mendirikan Indische Vereeniging pada 1908 dan menjadi ketuanya pada 1911-1914.
Indische Vereeniging merupakan perkumpulan mahasiswa Indonesia pertama di Belanda yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI) di mana Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir pernah menjadi anggotanya.
Setelah menamatkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS), Noto Soeroto diberangkatkan ke Den Haag untuk meneruskan sekolah menengahnya. Setelah lulus, dia melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden mengambil ilmu hukum.
Selama menetap di Belanda, dia bertahan hidup dengan cara menulis diberbagai media. Di antaranya adalah majalah De Rijkseenheid, Waderopbouw, Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, Bandera Wolanda, Het getij, dan De Gids.
Tulisan-tulisan Noto Soeroto di berbagai media itu selain tentang politik asosiasi yang diyakininya, juga banyak mengupas tentang budaya. Semua tulisannya, banyak menggunakan bahasa Belanda dan Jawa.
Pada 1918, Noto Soeroto menikah dengan seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Jo Meijer. Dari perkawinannya itu, dia dikaruniai tiga orang anak, yang masing-masing adalah Rawindo, Dewatya, dan Harindro Dirodjo.
Untuk menambah pemasukan keuangannya, pada Mei 1920 dia mendirikan Boekhandel en Uitevers-Mij Hadi Poestaka atau Perusahaan Perdagangan Buku dan Penerbitan Hadi Poestaka dengan dibantu kawannya Louis Petit.
Melalui usahanya itu, Noto Soeroto berhasil menerbitkan kumpulan puisinya yang diberi judul Lotos en Morgendauw atau Teratai dan Embun Pagi. Buku ini berisi 21 sajak prosa dan ditujukan kepada kedua anaknya.
Saat Tagore datang ke Belanda, Noto Soeroto mewawancarainya. Dia lalu membukukan hasil wawancaranya itu dengan judul Rabindranath Tagore's Opvoedingsidealen atau Cita-cita Rabindranath Tagore di Bidang Pendidikan.
Dia juga menyusun kalender harian berisi ucapan-ucapan Tagore dan diterbitkan bersama penerbit Tagore. Pada 1921, Noto Soeroto kembali menerbitkan biografi Tagore yang banyak berisi pujian terhadap sang idola.
Pada tahun berikutnya 1922, Noto Soeroto kembali menerbitkan buku tentang Tagore yang berjudul Tagore De Leerschool van den Papegaai atau Sekolah Latihan Burung Kakatua sebagai kelanjutan buku yang sebelumnya.
Selain banyak menerbitkan buku-buku sastra dan budaya, Noto Soeroto juga menerbitkan disertasi Gondokoesoemo dan Koesoemah Atmadja. Buku Koeroemah Atmaja itu berjudul De Mohammedaansche Vrome Stichtingen in Indie.
Salah satu sorotan utama dalam buku itu adalah menentang penggunaan hak exorbitante rechten atau hak istimewa Gubernur Jenderal untuk membuang kaum pergerakan dan orang-orang yang tidak disukainya.
Pada 1923, Noto Soeroto menerbitkan majalah sendiri yang bernama Oedaya. Terbitan pertama majalah ini adalah April 1923. Dalam majalahnya itu, Noto Soeroto kembali menegaskan pendirian politiknya.
Pada terbitan-terbitan awal media itu tampak sekali keinginan Noto Soeroto untuk mengagas kerjasama antara Timur dan Barat. Filsafat kebudayaan Noto Soeroto diuraikan dalam tulisan Mangkoenogoro VII, Radjiman, Gandhi dan Tagore.
Pada tahun itu 1923, hubungan Noto Soeroto dengan Perhimpunan Indonesia (PI) masih baik. Banyak tulisan-tulisan tokoh PI yang diterbitkannya dan sikapnya terhadap PI juga terbilang ramah.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Pada 1924, Noto Soeroto menulis tentang meninggalnya Van Huetsz. Dalam tulisan itu, dia banyak mengkritik sikap orang Indonesia yang dinilai kurang cakap berorganisasi.
Dalam tulisan itu dia banyak memuji-muji Van Huetsz yang karena kebijakan kolonialnya terhadap Indonesia berdampak pada bersatunya berbagai suku bangsa di Indonesia. Dia bahkan menganggap Van Huetsz sebagai Bima dalam perwayangan.
Pada 14 Desember 1924, Noto Soeroto yang dikenal sebagai tokoh moderat dan paling berwibawa dalam PI dipecat melalui suatu rapat anggota. Pemecatan ini pukulan kencang bagi semangat asosiasi dan pihak Belanda.
Menanggapi pemecatan itu, Mohammad Hatta dengan nada merendahkan menulis, seorang penyair berbahasa Belanda yang sering disebut imitator Rabindranath Tagore dipecat karena mengkritik politik nonkooperasi.
Menurut Hatta, kritik Noto Soeroto itu untuk memperoleh simpatik dari pihak usahawan Belanda, terutama dari pihak yang memimpin perusahaan Belanda yang bekerja di Indonesia.
Sejak Noto Soeroto tidak terlalu aktif dalam PI, banyak terjadi perubahan mendasar dalam perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda itu. Terutama menyangkut sikap politik PI terhadap Belanda yang nonkooperatif.
Dalam asas perjuangannya, PI menyatakan sikapnya yang tegas terhadap Belanda dan mengusung semangat nasionalisme radikal. Majalah Hindia Poetra yang sempat mati akhirnya dihidupkan lagi dan namanya diganti menjadi Indonesia Merdeka.
Sementara itu, Noto Soeroto menjawab pemecatan itu dalam Oedaya. Dia menulis, tuduhan terhadap dirinya sangat hina dan tidak benar. Dia dituduh antikemerdekaan Indonesia, pujiannya terhadap Jenderal Van Heutszm dan lainnya.
Dengan penuh kekecewaan terhadap kawan-kawan seperjuangannya, Noto Soeroto mendendangkan Wayang Leideren sebagai bentuk sikapnya. Dalam karyanya itu, Noto Soeroto mengungkapkan semua pemikirannya.
Menurutnya, kemerdekaan hendaknya diraih dengan menggunakan akal budi, terutama dalam mengekang kebencian serta kemarahan hati. Untuk itu, perjuangan harus diusahakan untuk kesejahteraan hidup rakyat yang lebih baik.
Sebaliknya, dia menganggap kaum nasionalis Indonesia berjudi dengan jiwa rakyat sebagai taruhannya. Idealisme yang ada di dalam jiwa-jiwa kaum nasionalisme itu sangat berbahaya karena akan membawa rakyat ke tempat penjagalan.
Lebih jauh, dia melihat belum adanya persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia, serta masih lemahnya Indonesia dalam bidang ekonomi, sosial dan belum adanya pengalaman dalam bidang politik, akan membawa kehancuran.
Noto Soeroto meyakini bahwa pemikirannya kelak akan dipikirkan dan digunakan ketika dengung revolusi sudah tidak lagi riuh rendah bergemuruh di negeri ini. Maka disaat itulah dia yakin pemikirannya akan digunakan.
Pada 1930, dia terpilih sebagai Ketua Perserikatan Indonesia-Belanda (NIV). Jabatan ini hanya digenggamnya selama setahun. Pada 1932, dia kembali ke Tanah Airnya Indonesia dan meninggalkan keluarganya di Belanda.
Selama di Indonesia, Noto Soeroto bekerja di asuransi dan sebagai Sekretaris Pribadi Mangkunagara VII kawan lamanya. Dalam pendudukan Jepang di Indonesia, Noto Soeroto dianggap bekerja sama dengan Belanda sehingga disiksa Jepang.
Setelah mangkatnya Mangkunagara VII, dia mencoba karier kewartawanan di De Locomotief. Tragis, kemiskinan di akhir hidupnya membuatnya sangat menderita. Pada 25 November 1951, Noto Soeroto mangkat di Surakarta pada usia 63 tahun.
Demikian penggalan riwayat Noto Soeroto sang humanis yang terlupakan. Semoga ulasan singkat ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan kepada pembaca.
Sumber Tulisan
*Mohammad Hatta, Memoir, Tinta Mas Indonesia, Cetakan Kedua, 1982.
*Harry A. Poeze, Cornelis Dijk, Inge van der Meulen, Di negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda 1600-1950, Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
*Rosa M.T.Kerdijk : Wayang-Liederen, Biografi Politik Budaya Noto Soeroto, Komunitas Bambu, Cetakan Pertama, 2002.
*Aggasi Malik, Cinta dan Kemanusiaan yang Gagal: Dilema Revolusi dan Sebentuk Hasrat Kekuasaan dalam Ramalan, dikutip dalam laman gerakanaksara.blogspot.co.id.
*Noto Soeroto, dikutip dalam laman Wikipedia Indonesia.
PILIHAN
Riwayat Raja Gula dari Semarang Oei Tiong Ham
RM Sosrokartono, Saksi Perjanjian Damai Rahasia Perang Dunia I
Jalan Sunyi Sutan Sjahrir
Surat Wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka
(san)