Perjuangan Ratusan Santri Lirboyo di Pertempuran Surabaya

Jum'at, 18 Desember 2015 - 05:00 WIB
Perjuangan Ratusan Santri Lirboyo di Pertempuran Surabaya
Perjuangan Ratusan Santri Lirboyo di Pertempuran Surabaya
A A A
Keberadaan Pondok Pesantren Lirboyo memberikan andil dalam mempertahankan kemerdekaan. Dimana para santrinya ikut berjuang bersama arek-arek Suroboyo.

Perjuangan para santri Lirboyo bermula saat Bung Karno dan Bung Hatta memplokamirkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Tak lama kemudian Mayor Mahfud yang saat itu menjadi Sudanco (komandan seksi) di daerah Kediri menyampaikan berita gembira kemerdekaan itu kepada KH. Mahrus Aly, dilanjutkan dengan pertemuan para santri di serambi Masjid Pondok Pesantren Lirboyo.

Di sana diumumkan bahwa rakyat Indonesia yang telah sekian abad lamanya dijajah oleh pihak asing, sekarang telah resmi merdeka.

Santri Lirboyo dalam kesempatan yang sama itu, sepakat melucuti senjata Jepang di Markas Kompitai Dai Nippon di Kediri (kini Markas Brigif 16 Kodam V Brawijaya) yang letaknya sekitar 1,5 Km dari arah timur Pondok Pesantren Lirboyo.

Pada malam hari dengan peralatan seadanya berangkatlah 440 santri mengadakan pernyerbuan di bawah komando KH. Mahrus Aly, Mayor Mahfudh dan Abdul Rakhim Pratalikrama.

Adalah si kecil Syafii Sulaiman yang di kemudian hari menjadi Wakil Ketua PWNU Jawa Timur. Santri yang masih berusia 15 tahun itu, diutus oleh Kiai Mahrus untuk menyusup ke markas Dai Nippon guna mempelajari keadaan dan memantau kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa cukup, Syafii segera melapor kepada Kiai Mahrus dan Mayor Mahfudh.

Invasi para santri itu berhasil. Atas kebijaksanaan Kiai Mahrus, satu truk senjata hasil lucutan Jepang itu dibawa ke Pondok Lirboyo dan setelahnya diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang hingga kini (saat buku disusun -red.) masih tersimpan di Markas Brawijaya Kediri.

Dalam kesempatan lain, Lirboyo juga ikut andil membantu arek-arek Suroboyo mengusir Sekutu. Seperti tercatat dalam sejarah bahwa, pada tanggal 21-22 Oktober 1945, para ulama yang tergabung dalam Himpunan Besar Nahdlatul Ulama (HBNU) memanggil seluruh perwakilanya yang tersebar di Jawa dan Madura.

Bertempat di Kantor HBNU Jalan Bubutan Surabaya, dipimpin KH Hasyim Asyari membahas kedatangan Belanda yang hendak kembali menjajah.

KH Mahrus Aly yang ikut hadir dalam pertemuan itu bersama sejumlah kiai, sepakat mengeluarkan fatwa ‘Perang Sabil’ yakni Jihad Fi Sabilillah, hukum melawan Belanda dan kaki tangannya adalah fardlu ‘ain.

Dan tiga hari sejak tentara sekutu di bawah pimpinan Jenderal AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya, tepatnya tanggal 28, 29, 30 Oktober 1945 pecahlah peperangan di Surabaya.

Jauh sebelum penjajah itu mendarat Mayor Mahfudh datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Aly guna memberikan informasi bahwa Surabaya dalam kondisi darurat. Seketika itu juga, KH. Mahrus Aly mengatakan, “Kita harus pertahankan kemerdekaan ini sampai titik darah penghabisan”.

Kemudian lewat Agus Suyuti, KH Mahrus Aly mengumumkan hal ini kepada para santri dan dipilihlah beberapa santri yang tangguh untuk bertempur di Surabaya.

Diantara 97 santri senior itu adalah Syafii Sulaiman, Agus Jamaluddin, H Masyhari, H. Ridlwan, Baidlowi, Imam Hanafi, Ahmad Hasyim, Damiri yang semua berasal dari Kediri. Ditambah Abu Na’im Mukhtar (Salatiga), Khudlori (Nganjuk), Sujairi (Singapura), Zainuddin (Blitar), Jawahir (Jember), Agus Suyuti (Rembang).

Di antara sekian santri yang memiliki senjata, adalah Agus Suyuti (asal Rembang) berupa granat yang sudah dirajah hasil pemberian Kiai Saefuddin, Kemuning, Kediri.

Dalam penyerbuan itu para santri dapat meraih 9 pucuk senjata. Selama berperang 8 hari di Surabaya tersebut, seluruh santri menjalankan puasa yang telah diijazahkan oleh Kiai Mahrus.

Sementara untuk menggembleng mental, meningkatkan kesiagaan, di Pondok Lirboyo diadakan gerakan batin yang langsung di pimpin oleh KH Abdul Karim dan KH Marzuqi Dahlan.

Pada tahap selanjutnya, Lirboyo mengirimkan lagi 74 orang santrinya. Peperangan ini membawa hasil rampasan 7 pucuk senjata Belanda.

Hal ini berlanjut dengan pengiriman 30 santri di bawah komando Kiai Miftah, Tegal, yang berjuang bersama masyarakat dalam rangka menggempur markas pertahanan Belanda di Sidoarjo melalui tambak-tambak dan rawa-rawa.

Ketika markas ulama bertempat di Blauran, Surabaya, KH Mahrus Aly, Kiai Dimyati dan Kiai Said berangkat ke Surabaya untuk bertahan.

Ketika markas itu pindah ke Sidoarjo, KH Mahrus bersama Kiai Saefuddin Kemuning menyusul kesana. Kiai Saefudin terus maju ke depan sedangkan Kiai Mahrus sendiri karena mendengar berita genting, akhirnya kembali lagi ke Kediri. Untuk bekal perjuangan kala itu, Kiai Mahrus bersama Kiai Hasyim, Mojoroto, mengumpulkan dana dari para dermawan.

Dari sekian kali pertempuran, santri Lirboyo tidak pernah menjadi korban. Hanya saja dalam pengiriman kedua, santri bernama Damiri tertangkap Belanda di Desa Ngantilampah, sebelah utara Mojokerto.

Dia kemudian dibawa ke Surabaya untuk diperiksa. Teman-teman santri pun cemas. Tahlil dan doa pun digelar yang dipimpin oleh KH Abdul Karim, dengan harapan Damiri bisa selamat.

Selang beberapa hari, tiba-tiba Damiri datang dalam keadaan segar bugar. Entah karena kepandaiannya, berkat doa Kiai Abdul Karim, ataukah faktor lain, tidak diketahui kenapa Damiri hanya ditahan selama tiga hari.

Pascapertempuran Surabaya yang berakhir 10 Nopember 1945, tepatnya menjelang Agresi Militer Belanda II pada bulan Oktober 1948, barisan Hizbullah dan Sabilillah digabung menjadi satu untuk meningkatkan dan memajukan daya tempur dalam perjuangan.

Sumber:

wikipedia
lirboyo.net
diolah dari berbagai sumber

(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4753 seconds (0.1#10.140)