Jahja Datoek Kajo, Bangga Berbahasa Indonesia di Volksraad
A
A
A
Jahja Datoek Kajo adalah salah seorang anggota Volksraad yang nekat menggunakan bahasa Indonesia saat bersidang. Wakil Belanda marah.
Jahja Datoek Kajo lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 1 Agustus 1874. Ayahnya Pinggir, bersuku Sikumbang, sementara ibunya Bani, bersuku Piliang.
Di masa mudanya, dia hidup bersama mamaknya, Lanjadin Khatib Besar gelar Datoek Kajo, yang pernah menjabat sebagai kepala gudang kopi di Baso.
Pada tahun 1882, Jahja mulai merantau bersama pamannya. Di Suliki, dia sempat bersekolah selama setahun. Nasib membuatnya harus berpindah-pindah sekolah di tempat yang berbeda. Tahun 1883 di Pasar Gadang, Padang, dan tahun 1885-1887 sekolah privat di Bukittinggi.
Tahun 1888, Jahja magang di Kantor Residen Padang Darat di Fort de Kock untuk lebih banyak mengenal dari dekat birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Tahun 1892-1895, Jahja bekerja sebagai juru tulis magang di Kantor Kontrolir Agam Tua. Tanggal 11 Mei 1895, Jahja mendapat gelar Datoek Kajo dan dipilih menjadi Tuanku Laras Empat Koto.
Pada tahun 1908, pajak (belasting) mulai diberlakukan di Sumatera Barat. Kejadian pada 2 Juli 1908 sangat memukul Jahja. Dia melihat anak negerinya dibantai oleh militer Belanda karena menentang untuk melakukan pembayaran pajak. (Baca juga: Siti Manggopoh, Perempuan Desa yang Ditakuti Belanda).
Pada tahun 1919, kejadian yang disebut "Tragedi Paladangan" ini ditulis dan dilaporkannya kepada atasan. Sejak itu, Jahja menjadi geram terhadap militer Belanda.
Tahun 1913, Jahja ditugaskan merangkap jabatan, yaitu sebagai Kepala Laras Banuhampu. Kariernya cepat melesat. Pada tahun 1914, dia dipercaya menjadi Demang Bukittinggi. Karena tidak sepaham dengan atasannya dalam berbagai hal, Jahja diminta pindah dan menjadi Demang Payakumbuh (1915-1918), Padang Panjang (1919-1928), kemudian Air Bangis (1928-1929).
Dia terpilih menjadi anggota Volksraad, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda, menggantikan Loetan Datoek Rangkajo Maharadjo pada tanggal 16 Mei 1927.
Dia merupakan salah satu dari 25 orang anggota golongan bumiputera. Jahja mewakili Minangkabau di periode 1927-1931. Setelah pensiun tahun 1931, tahun 1935 dia terpilih kembali sebagai anggota Volksraad.
Volksraad yang dibentuk pada akhir tahun 1917, sangatlah diskriminatif kepada anggota bumiputera. Di antaranya, pelarangan digunakannya bahasa Melayu (setelah Sumpah Pemuda 1928 dikenal sebagai bahasa Indonesia) dalam sidang-sidang lembaga tersebut.
Haji Agus Salim yang menjadi anggota Volksraad tahun 1921-1924 pernah dalam satu sesi berbicara dengan bahasa Melayu. Begitu pula dengan Iskandar Dinata, tetapi ditegur oleh ketua sidang. Namun, Jahja Datoek Kajo tidak ditegur.
Sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad, Jahja selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia.
Dia juga meminta apabila ada yang tidak setuju dengan apa yang dikatakannya saat bersidang, hendaknya menyampaikan ketidaksetujuannya itu dengan bahasa Indonesia.
Jahja juga berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah.
Suryadi, seorang dosen di Universitas Leiden mengatakan bahwa koran-koran pribumi memberi gelar Jahja sebagai si "Jago berbahasa Indonesia di Volksraad".
Keteguhan hati Jahja Datoek Kajo untuk membumikan bahasa Indonesia mendapatkan titing terang setelah adanya maklumat yang diberikan Ratu Willem tentang diperbolehkannya bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad.
Pada 1930, enam orang dari kawan-kawan sejawatnya yakni Suroso, Thamrin, Abdul Rasjid, Soangkupon, Wirjopranoto, dan Iskandar Dinata, membentuk Fraksi Nasional (Nationale Fractie). Pada 1938, mereka sepakat menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap sidang Volksraad. Ini adalah upaya mengangkat dan mengembangkan bahasa Indonesia di tengah bingungnya penduduk pribumi ihwal bahasa. Namun, penggunaan bahasa Indonesia itu dilakukan saat pemandangan umum saja.
Tahun 1939, Jahja menjadi anggota Minangkabauraad. Jahja meninggal pada 9 November 1942 di Koto Gadang. Dia dimakamkan di Ateh Putai, di pinggir jalan raya tak jauh dari Masjid Koto Gadang.
Sumber: id.wikipedia.org, www.trendezia.com, dan buku Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939, Azizah Etek dkk, LKiS Yogyakarta.
Jahja Datoek Kajo lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat pada 1 Agustus 1874. Ayahnya Pinggir, bersuku Sikumbang, sementara ibunya Bani, bersuku Piliang.
Di masa mudanya, dia hidup bersama mamaknya, Lanjadin Khatib Besar gelar Datoek Kajo, yang pernah menjabat sebagai kepala gudang kopi di Baso.
Pada tahun 1882, Jahja mulai merantau bersama pamannya. Di Suliki, dia sempat bersekolah selama setahun. Nasib membuatnya harus berpindah-pindah sekolah di tempat yang berbeda. Tahun 1883 di Pasar Gadang, Padang, dan tahun 1885-1887 sekolah privat di Bukittinggi.
Tahun 1888, Jahja magang di Kantor Residen Padang Darat di Fort de Kock untuk lebih banyak mengenal dari dekat birokrasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Tahun 1892-1895, Jahja bekerja sebagai juru tulis magang di Kantor Kontrolir Agam Tua. Tanggal 11 Mei 1895, Jahja mendapat gelar Datoek Kajo dan dipilih menjadi Tuanku Laras Empat Koto.
Pada tahun 1908, pajak (belasting) mulai diberlakukan di Sumatera Barat. Kejadian pada 2 Juli 1908 sangat memukul Jahja. Dia melihat anak negerinya dibantai oleh militer Belanda karena menentang untuk melakukan pembayaran pajak. (Baca juga: Siti Manggopoh, Perempuan Desa yang Ditakuti Belanda).
Pada tahun 1919, kejadian yang disebut "Tragedi Paladangan" ini ditulis dan dilaporkannya kepada atasan. Sejak itu, Jahja menjadi geram terhadap militer Belanda.
Tahun 1913, Jahja ditugaskan merangkap jabatan, yaitu sebagai Kepala Laras Banuhampu. Kariernya cepat melesat. Pada tahun 1914, dia dipercaya menjadi Demang Bukittinggi. Karena tidak sepaham dengan atasannya dalam berbagai hal, Jahja diminta pindah dan menjadi Demang Payakumbuh (1915-1918), Padang Panjang (1919-1928), kemudian Air Bangis (1928-1929).
Dia terpilih menjadi anggota Volksraad, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda, menggantikan Loetan Datoek Rangkajo Maharadjo pada tanggal 16 Mei 1927.
Dia merupakan salah satu dari 25 orang anggota golongan bumiputera. Jahja mewakili Minangkabau di periode 1927-1931. Setelah pensiun tahun 1931, tahun 1935 dia terpilih kembali sebagai anggota Volksraad.
Volksraad yang dibentuk pada akhir tahun 1917, sangatlah diskriminatif kepada anggota bumiputera. Di antaranya, pelarangan digunakannya bahasa Melayu (setelah Sumpah Pemuda 1928 dikenal sebagai bahasa Indonesia) dalam sidang-sidang lembaga tersebut.
Haji Agus Salim yang menjadi anggota Volksraad tahun 1921-1924 pernah dalam satu sesi berbicara dengan bahasa Melayu. Begitu pula dengan Iskandar Dinata, tetapi ditegur oleh ketua sidang. Namun, Jahja Datoek Kajo tidak ditegur.
Sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad, Jahja selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia.
Dia juga meminta apabila ada yang tidak setuju dengan apa yang dikatakannya saat bersidang, hendaknya menyampaikan ketidaksetujuannya itu dengan bahasa Indonesia.
Jahja juga berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah.
Suryadi, seorang dosen di Universitas Leiden mengatakan bahwa koran-koran pribumi memberi gelar Jahja sebagai si "Jago berbahasa Indonesia di Volksraad".
Keteguhan hati Jahja Datoek Kajo untuk membumikan bahasa Indonesia mendapatkan titing terang setelah adanya maklumat yang diberikan Ratu Willem tentang diperbolehkannya bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad.
Pada 1930, enam orang dari kawan-kawan sejawatnya yakni Suroso, Thamrin, Abdul Rasjid, Soangkupon, Wirjopranoto, dan Iskandar Dinata, membentuk Fraksi Nasional (Nationale Fractie). Pada 1938, mereka sepakat menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap sidang Volksraad. Ini adalah upaya mengangkat dan mengembangkan bahasa Indonesia di tengah bingungnya penduduk pribumi ihwal bahasa. Namun, penggunaan bahasa Indonesia itu dilakukan saat pemandangan umum saja.
Tahun 1939, Jahja menjadi anggota Minangkabauraad. Jahja meninggal pada 9 November 1942 di Koto Gadang. Dia dimakamkan di Ateh Putai, di pinggir jalan raya tak jauh dari Masjid Koto Gadang.
Sumber: id.wikipedia.org, www.trendezia.com, dan buku Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo: Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939, Azizah Etek dkk, LKiS Yogyakarta.
(zik)