Sultan Nuku The Lord of Fortune dari Timur
A
A
A
Bagi warga Maluku Utara nama Sultan Nuku sudah tak asing lagi, karena pemilik nama Nuku Muhammad Amiruddin ini merupakan Sultan Tidore yang memerintah pada 1797 – 1805.
Nuku Muhammad Amiruddin adalah putra Sultan Jamaluddin yang memerintah Kesultanan Tidore pada 1757–1779.
Selain memiliki kecerdasan dan kharisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian serta kekuatan batinnya sehingga di bawah kepemimpinannya dapat menyatukan wilayah Ternate dan Tidore. Selain itu saat dipimpinnya Kesultanan Tidore mengalami puncak kejayaannya.
Salah satu kisah keberhasilannya yang diceritakan secara turun temurun oleh warga Tidore adalah saat dia berhasil memimpin armada Kora-kora mengalahkan pasukan Belanda ketika hendak menguasai wilayah Kepulauan Maluku yang kaya akan rempah-rempah. Hasil bumi inilah yang menjadi daya tarik bagi bangsa Eropa untuk datang ke Maluku.
Armada kora-kora yang kuat di bawah komandonya berhasil membuat Belanda menyerah di Halmahera. Nuku juga menyerang benteng Belanda di Ternate.
Serangan ini membuat Pasukan Belanda kalang kabut dan akhirnya menyerah. Atas keberhasilan dan kegigihannya dalam bertempur mengusir Belanda Sultan Nuku diberi gelar Lord of Fourtune oleh Inggris.
Armada Kora-kora yang dipimpinnya kemudian dapat menghancurkan armada Belanda yang dibantu Inggris, sehingga Tidore tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Pada masa kejayaan Kesultanan Tidore, kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera Selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat hingga ke Kepulauan Pasifik Selatan.
Sejumlah wilayah di Pasifik Selatan yang diyakini merupakan daerah taklukan Sultan Nuku yaitu; Mikronesia, Melanesia, Kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu dan Kepulauan Kapita Gamrange.
Disebutkan pula bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota tersebut masih menggunakan identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain; kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku Nono.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam.
Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku bernegosiasi dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah kitab suci Alquran.
Sebelum Islam datang, Pulau Tidore dikenal dengan nama; Limau Duko atau Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api.
Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan Gunung Kie Marijang.
Saat ini, Gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’.
Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan sultan.
Namun Kesultanan Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara.
Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi.
Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semacam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan.
Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah:
Saat Tidore dipimpin Sultan Nuku telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan timur Indonesia.
Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat.
Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini.
Sumber :
- yusransejarah032.blogspot.
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Nuku Muhammad Amiruddin adalah putra Sultan Jamaluddin yang memerintah Kesultanan Tidore pada 1757–1779.
Selain memiliki kecerdasan dan kharisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian serta kekuatan batinnya sehingga di bawah kepemimpinannya dapat menyatukan wilayah Ternate dan Tidore. Selain itu saat dipimpinnya Kesultanan Tidore mengalami puncak kejayaannya.
Salah satu kisah keberhasilannya yang diceritakan secara turun temurun oleh warga Tidore adalah saat dia berhasil memimpin armada Kora-kora mengalahkan pasukan Belanda ketika hendak menguasai wilayah Kepulauan Maluku yang kaya akan rempah-rempah. Hasil bumi inilah yang menjadi daya tarik bagi bangsa Eropa untuk datang ke Maluku.
Armada kora-kora yang kuat di bawah komandonya berhasil membuat Belanda menyerah di Halmahera. Nuku juga menyerang benteng Belanda di Ternate.
Serangan ini membuat Pasukan Belanda kalang kabut dan akhirnya menyerah. Atas keberhasilan dan kegigihannya dalam bertempur mengusir Belanda Sultan Nuku diberi gelar Lord of Fourtune oleh Inggris.
Armada Kora-kora yang dipimpinnya kemudian dapat menghancurkan armada Belanda yang dibantu Inggris, sehingga Tidore tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.
Pada masa kejayaan Kesultanan Tidore, kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera Selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat hingga ke Kepulauan Pasifik Selatan.
Sejumlah wilayah di Pasifik Selatan yang diyakini merupakan daerah taklukan Sultan Nuku yaitu; Mikronesia, Melanesia, Kepulauan Solomon, kepulauan Marianas, kepulauan Marshal, Ngulu, Fiji, Vanuatu dan Kepulauan Kapita Gamrange.
Disebutkan pula bahwa hingga hari ini beberapa pulau atau kota tersebut masih menggunakan identitas nama daerah dengan embel-embel Nuku, antara lain; kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Alova, Nuku Fetau, Nuku Haifa, Nuku Maboro, Nuku Wange, Nuku Nau, Nuku Oro dan Nuku Nono.
Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam.
Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Nuku bernegosiasi dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah di bawah kitab suci Alquran.
Sebelum Islam datang, Pulau Tidore dikenal dengan nama; Limau Duko atau Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api.
Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku– yang mereka namakan Gunung Kie Marijang.
Saat ini, Gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’.
Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi kekuasaan berada di tangan sultan.
Namun Kesultanan Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara.
Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi.
Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semacam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan.
Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah:
- Pehak labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modem
- Pehak adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau (panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet).
- Pehak Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa.
- Pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang kerohanian), Sowohi China (protokoler khusus urusan orang China), Fomanyira Ngare (public relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran).
Saat Tidore dipimpin Sultan Nuku telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan timur Indonesia.
Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di masyarakat.
Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini.
Sumber :
- yusransejarah032.blogspot.
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)