Mengenang Adnan Kapau Gani, Pejuang dari Sumatera
A
A
A
MESKI lahir di Agam, Sumatera Barat, banyak yang menduga Adnan Kapau Gani putra kelahiran Sumatera Selatan. Berikut kisahnya.
Dari sekian banyak tokoh asal Sumatera yang berjasa bagi negeri ini, tersebutlah nama Adnan Kapau Gani, ada juga yang menulisnya Adenan Kapau Gani atau disingkat AK Gani.
AK Gani lahir di Palembayan, Agam, Sumatera Barat, pada 16 September 1905. Ayahnya adalah seorang guru. Ia menyelesaikan pendidikan awalnya di Bukittinggi pada tahun 1923. Kemudian ia pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan menengah dan mengambil sekolah kedokteran. Dia lulus dari sekolah dokter STOVIA pada tahun 1926.
Sejak remaja, Gani aktif dalam kegiatan politik dan organisasi sosial. Pada era 1920-an, ia giat di berbagai organisasi kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond dan Jong Java. Pada tahun 1928 ia terlibat dalam Kongres Pemuda II di Jakarta.
Pada tahun 1931 ia bergabung dengan Partindo, yang telah memisahkan diri dari Partai Nasional Indonesia (PNI) tak lama setelah penangkapan Soekarno oleh pemerintah kolonial.
Pada tahun 1941, Gani membintangi sebuah film yang berjudul Asmara Moerni dan berpasangan dengan Djoewariah. Film ini disutradarai Rd. Ariffien. Meskipun sebagian kalangan menganggap keterlibatan Gani dalam film telah menodai gerakan kemerdekaan, ia menganggap perlu untuk meningkatkan kualitas film lokal. Meski mendapat kritikan, film satu-satunya itu sukses secara komersial.
Setelah pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Gani menolak untuk berkolaborasi. Karena itu ia ditangkap pada bulan September 1943 hingga bulan Oktober tahun berikutnya.
Setelah proklamasi dan selama masa revolusi fisik, Gani memperoleh kekuasaan politik dengan bertugas di kemiliteran. Pada tahun 1945, ia menjadi komisaris PNI dan Residen Sumatera Selatan. Dia juga mengoordinasikan usaha militer di provinsi itu.
Gani menilai Palembang sebuah lokomotif ekonomi yang layak untuk bangsa yang baru merdeka. Dengan alasan bahwa dengan minyak Indonesia bisa mengumpulkan dukungan internasional. Ia merundingkan penjualan aset-aset pihak asing, termasuk perusahaan milik Belanda.
Sejak 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947, Gani menjabat sebagai Menteri Kemakmuran pada Kabinet Sjahrir III. Ketika menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, ia bersama dengan Sutan Sjahrir dan Mohammad Roem menjabat sebagai delegasi Indonesia ke sidang pleno ketiga Perjanjian Linggarjati. Dia juga bekerja untuk membangun jaringan nasional perbankan serta beberapa organisasi perdagangan.
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir, ia bersama Amir Sjarifuddin dan Setyadjit Soegondo menerima mandat untuk membentuk formatur kabinet baru. Dalam kabinet tersebut, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Kemakmuran.
Gani adalah anggota kabinet pertama yang ditangkap pada masa Agresi Militer Belanda I, namun kemudian ia dibebaskan. Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II, ia juga duduk pada posisi yang sama hingga kejatuhan kabinet ini pada tanggal 29 Januari 1948.
Setelah revolusi berakhir pada tahun 1949, Gani menjadi gubernur militer Sumatera Selatan. Dia merupakan satu-satunya gubernur militer di Sumatera yang banyak berkomunikasi dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Sumatera Barat.
Sebagai penghargaan atas jasanya memimpin perjuangan gerilya ini, pada bulan Februari 1950 Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Selatan menganugerahinya gelar Pemimpin Agung Gerilya disertai sebuah medali emas. Medali yang merupakan kebanggaannya ini kemudian dijualnya untuk membantu menyekolahkan anak-anak bekas pejuang.
Menurut pemerhati sejarah Fikrul Hanif Sufyan kepada Sindonews, beberapa sejarawan pernah menyinggung mengenai kiprah AK Gani pascakemerdekaan. Sebut saja Robert Cribb dalam "Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949" yang mengungkap sosok Gani sebagai tokoh ekstrovert, yang mengisap cerutu besar, mengenakan kopiah kulit rusa, dan mencetak sendiri uang peraknya untuk dibagi-bagikan sebagai uang rokok, kepada siapa pun di hotel atau restoran.
Bahkan, Cribb menyebut reputasi Gani sebagai "orang kuat dari Sumatera" telah memberi harapan baru kepada komunitas Republiken di Jakarta.
Selain Cribb, menurut Fikrul Hanif, Idrus Nawawi menulis artikel berjudul, "Gani Manusia Istimewa" dalam rubrik Merdeka tanggal 9 Desember 1950.
Nawawi menulis, pada tahun 1950-an, Gani sering diidiomkan smokkelaar (penyelundup). Gani pernah mengakui bahwa ia smokkelaar besar di Asia Tenggara. Ada juga yang menduga Gani menimbun dolar di luar negeri, namun tuduhan itu pun tidak kunjung terbukti.
Selanjutnya Nawawi menulis: Tapi janjinya tepat, tidak pernah mungkir. Kalau ia berutang dan dijanjikannya membayar pada waktu yang ditentukan, maka akan terlihatlah oleh kita Gani menjual barangnya guna membayar utang itu.
Memori berikutnya yang dihadirkan Nawawi, kata Fikrul yang juga dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh, berupa ingatan kolektif orang di daerah Pasemah masih mengenal "Jalan Gani" yang dibuat oleh Gani dari kain belacu. Orang pun heran mendengar jalan yang dibuat dengan kain belacu.
Sebenarnya, jalan itu awalnya hutan rimba yang kemudian dibuka oleh Gani menjadi jalan. Masa itu, ia memerintahkan rakyat bekerja memotong, membersihkan, mendatarkan jalan itu dan tiap-tiap meter yang dikerjakan akan mendapat upah kain belacu. Rakyat pun gembira dan bekerja dengan giat. Sehingga terciptalah jalan yang berpuluh kilometer yang kemudian diabadikan menjadi Jalan Gani.
AK Gani meninggal dunia di Palembang pada tanggal 23 Desember 1968 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria, Bukit Siguntang, Palembang.
Pada November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden RI Nomor 068/TK/Tahun 2007 memberikan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada AK Gani.
Sumber: https://id.wikipedia.org dan http://pahlawancenter.com.
Dari sekian banyak tokoh asal Sumatera yang berjasa bagi negeri ini, tersebutlah nama Adnan Kapau Gani, ada juga yang menulisnya Adenan Kapau Gani atau disingkat AK Gani.
AK Gani lahir di Palembayan, Agam, Sumatera Barat, pada 16 September 1905. Ayahnya adalah seorang guru. Ia menyelesaikan pendidikan awalnya di Bukittinggi pada tahun 1923. Kemudian ia pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan menengah dan mengambil sekolah kedokteran. Dia lulus dari sekolah dokter STOVIA pada tahun 1926.
Sejak remaja, Gani aktif dalam kegiatan politik dan organisasi sosial. Pada era 1920-an, ia giat di berbagai organisasi kedaerahan seperti Jong Sumatranen Bond dan Jong Java. Pada tahun 1928 ia terlibat dalam Kongres Pemuda II di Jakarta.
Pada tahun 1931 ia bergabung dengan Partindo, yang telah memisahkan diri dari Partai Nasional Indonesia (PNI) tak lama setelah penangkapan Soekarno oleh pemerintah kolonial.
Pada tahun 1941, Gani membintangi sebuah film yang berjudul Asmara Moerni dan berpasangan dengan Djoewariah. Film ini disutradarai Rd. Ariffien. Meskipun sebagian kalangan menganggap keterlibatan Gani dalam film telah menodai gerakan kemerdekaan, ia menganggap perlu untuk meningkatkan kualitas film lokal. Meski mendapat kritikan, film satu-satunya itu sukses secara komersial.
Setelah pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942, Gani menolak untuk berkolaborasi. Karena itu ia ditangkap pada bulan September 1943 hingga bulan Oktober tahun berikutnya.
Setelah proklamasi dan selama masa revolusi fisik, Gani memperoleh kekuasaan politik dengan bertugas di kemiliteran. Pada tahun 1945, ia menjadi komisaris PNI dan Residen Sumatera Selatan. Dia juga mengoordinasikan usaha militer di provinsi itu.
Gani menilai Palembang sebuah lokomotif ekonomi yang layak untuk bangsa yang baru merdeka. Dengan alasan bahwa dengan minyak Indonesia bisa mengumpulkan dukungan internasional. Ia merundingkan penjualan aset-aset pihak asing, termasuk perusahaan milik Belanda.
Sejak 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947, Gani menjabat sebagai Menteri Kemakmuran pada Kabinet Sjahrir III. Ketika menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, ia bersama dengan Sutan Sjahrir dan Mohammad Roem menjabat sebagai delegasi Indonesia ke sidang pleno ketiga Perjanjian Linggarjati. Dia juga bekerja untuk membangun jaringan nasional perbankan serta beberapa organisasi perdagangan.
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir, ia bersama Amir Sjarifuddin dan Setyadjit Soegondo menerima mandat untuk membentuk formatur kabinet baru. Dalam kabinet tersebut, ia menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Kemakmuran.
Gani adalah anggota kabinet pertama yang ditangkap pada masa Agresi Militer Belanda I, namun kemudian ia dibebaskan. Dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II, ia juga duduk pada posisi yang sama hingga kejatuhan kabinet ini pada tanggal 29 Januari 1948.
Setelah revolusi berakhir pada tahun 1949, Gani menjadi gubernur militer Sumatera Selatan. Dia merupakan satu-satunya gubernur militer di Sumatera yang banyak berkomunikasi dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Sumatera Barat.
Sebagai penghargaan atas jasanya memimpin perjuangan gerilya ini, pada bulan Februari 1950 Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Selatan menganugerahinya gelar Pemimpin Agung Gerilya disertai sebuah medali emas. Medali yang merupakan kebanggaannya ini kemudian dijualnya untuk membantu menyekolahkan anak-anak bekas pejuang.
Menurut pemerhati sejarah Fikrul Hanif Sufyan kepada Sindonews, beberapa sejarawan pernah menyinggung mengenai kiprah AK Gani pascakemerdekaan. Sebut saja Robert Cribb dalam "Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949" yang mengungkap sosok Gani sebagai tokoh ekstrovert, yang mengisap cerutu besar, mengenakan kopiah kulit rusa, dan mencetak sendiri uang peraknya untuk dibagi-bagikan sebagai uang rokok, kepada siapa pun di hotel atau restoran.
Bahkan, Cribb menyebut reputasi Gani sebagai "orang kuat dari Sumatera" telah memberi harapan baru kepada komunitas Republiken di Jakarta.
Selain Cribb, menurut Fikrul Hanif, Idrus Nawawi menulis artikel berjudul, "Gani Manusia Istimewa" dalam rubrik Merdeka tanggal 9 Desember 1950.
Nawawi menulis, pada tahun 1950-an, Gani sering diidiomkan smokkelaar (penyelundup). Gani pernah mengakui bahwa ia smokkelaar besar di Asia Tenggara. Ada juga yang menduga Gani menimbun dolar di luar negeri, namun tuduhan itu pun tidak kunjung terbukti.
Selanjutnya Nawawi menulis: Tapi janjinya tepat, tidak pernah mungkir. Kalau ia berutang dan dijanjikannya membayar pada waktu yang ditentukan, maka akan terlihatlah oleh kita Gani menjual barangnya guna membayar utang itu.
Memori berikutnya yang dihadirkan Nawawi, kata Fikrul yang juga dosen STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh, berupa ingatan kolektif orang di daerah Pasemah masih mengenal "Jalan Gani" yang dibuat oleh Gani dari kain belacu. Orang pun heran mendengar jalan yang dibuat dengan kain belacu.
Sebenarnya, jalan itu awalnya hutan rimba yang kemudian dibuka oleh Gani menjadi jalan. Masa itu, ia memerintahkan rakyat bekerja memotong, membersihkan, mendatarkan jalan itu dan tiap-tiap meter yang dikerjakan akan mendapat upah kain belacu. Rakyat pun gembira dan bekerja dengan giat. Sehingga terciptalah jalan yang berpuluh kilometer yang kemudian diabadikan menjadi Jalan Gani.
AK Gani meninggal dunia di Palembang pada tanggal 23 Desember 1968 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria, Bukit Siguntang, Palembang.
Pada November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden RI Nomor 068/TK/Tahun 2007 memberikan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada AK Gani.
Sumber: https://id.wikipedia.org dan http://pahlawancenter.com.
(zik)