Tolong, Biarkan Jasad Aris Kami Bawa Pulang..
A
A
A
BLITAR - Jasad salah satu dari tujuh pendaki korban tewas kebakaran hutan Gunung Lawu, Kabupaten Magetan, sudah dalam kondisi hangus total. Secara medis, jasad sulit diidentifikasi.
Tidak ada ciri fisik yang bisa dikenali. Juga tak ada sisa sobekan pakaian maupun barang bawaan yang menempel di badan. Semuanya ludes dilalap api.
Di ruang bersuhu udara rendah penyimpanan mayat RSUD dr Sayidiman Kabupaten Magetan, Sutikno (41) mengaku hanya menatap kerangka manusia yang menghitam. Tulang belulang di dalam peti itu lebih menyerupai onggokan arang.
Namun warga Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar itu meyakini jenazah di depan matanya itu adalah keponakanya. Ya, Aris Munandar (25) warga Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.
"Kondisinya memang 100% tidak bisa dikenali. Tapi saya yakin seyakin yakinnya jasad itu Aris, keponakan saya. Saat melihat langsung, saya merasakan ada ikatan batin," ungkap Sutikno, di rumah orangtua Aris, Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Sanawetan Kota Blitar, Rabu (21/10/2015).
Aris Munandar adalah anak sulung dari tiga bersaudara pasangan suami istri Suryanto (57) dan Adelin Sumolong (49). Sudah tiga tahun lamanya alumni SMA Negeri 01 Kota Blitar dan Fakultas Akuntasi Universitas Brawijaya Malang itu bertempat tinggal di Jakarta.
Semenjak lulus kuliah bujangan yang dikenal berwatak pendiam itu diterima kerja di sebuah perusahaan alat berat berkantor pusat di Ibu Kota.
Menurut Sutikno, keponakanya baru setahun terakhir ini menyukai hobi mendaki gunung. Setahu dia, Aris juga pernah menaklukkan Gunung Semeru dan Tangkubanperahu.
"Setiap hendak naik gunung dia selalu pamit ke keluarga. Mungkin hobi ini terbawa rekan sekantornya," terangnya.
Begitu juga saat hendak mendaki Gunung Lawu. Sehari sebelum musibah terjadi, Aris berkirim pesan pendek (sms) di nomor ponsel mamanya. Adelin Sumolong baru membaca pesan putranya pada pagi harinya.
Intinya Aris memberitahu sekaligus memohon doa restu kalau hendak mendaki Gunung Lawu. "Sms itu masuk di kotak pesan pada malam hari. Sepertinya dikirim saat perjalanan," terang Sutikno.
Awalnya keluarga tidak pernah berfikir Aris bagian dari rombongan pendaki yang tertimpa musibah di Gunung Lawu. Sebab tidak ada firasat buruk yang mengarah ke sana. Keluarga mulai merasa cemas saat pemberitaan media menyebut korban tewas adalah rombongan pendaki asal Jakarta.
"Kami semakin panik ketika Budi salah satu teman Aris menelepon bahwa salah satu jasad yang sulit diidentifikasi diyakini Aris," jelas Sutikno.
Budi adalah salah satu korban terbakar rombongan pendaki Jakarta yang selamat. Ditemui di rumah sakit Magetan, Budi bercerita panjang lebar.
Dia menceritakan, bahwa setelah semalam berada di Gunung Lawu, sembilan orang pendaki asal Jakarta itu memutuskan untuk turun. Sebab mereka harus kembali ke Jakarta untuk masuk kerja lagi pada hari berikutnya.
Sebanyak sembilan orang pendaki itu terdiri dari lima orang perempuan dan empat laki-laki. Pada saat perjalanan turun dari jalur pos pantau 4 ke pos pantau 3, mereka sempat mendengar seruan api dari rombongan pendaki lain yang belum lama mendahului.
"Saat itu Aris posisinya nomor 7 di belakang. Di belakangnya lagi ada Kartini dan Joko," paparnya.
Karena penasaran dengan suara seruan api, enam orang pendaki, termasuk Budi mempercepat langkah berusaha memastikan situasi. Namun baru beberapa langkah, di depan mereka tampak api menjalar cepat ke arah mereka.
Api yang diduga kuat berasal dari gesekan ranting dan daun kering. Keenam pendaki reflek melompat bergulingan menyelamatkan diri. Sementara Aris, Joko dan Kartini diduga belum menyadari datangnya bahaya.
Dari tempatnya menyelamatkan diri Budi sempat melihat Aris, Joko dan Kartini masih asyik foto selfie. Budi juga menyaksikan bagaimana Aris yang berada lebih dekat dengan bahaya, termangu antara kembali naik atau melompat ke samping.
Sebab seluruh jalan pendakian telah tertutup kobaran api. Jasad yang diyakini keluarga sebagai Aris itu ditemukan di semak semak yang hangus.
Kondisinya paling parah dibanding jasad Joko dan Kartini yang ditemukan di atasnya. Alis Sutikno mendadak bertaut. Nada bicaranya mendadak meninggi saat bercerita rumitnya prosedur membawa jenazah pulang.
Pihak aparat kepolisian Magetan melarang keluarga membawa pulang jenazah sebelum ada hasil tes DNA Suryanto yang bisa diketahui dua pekan lagi. "Ini kan bukan jasad kriminal. Kenapa prosedur membawa pulang begitu rumit?" cetus Sutikno.
Saat tiba di RS Magetan, Suryanto langsung diambil tes DNA. Dia mengira hasil itu bisa diketahui dalam hitungan jam. Dia telah mencoba bernegosiasi dengan kepolisian setempat.
Sebab bagi Suryanto keterangan dari korban selamat sudah cukup menguatkan jasad itu adalah anaknya. Namun pihak kepolisian tetap menolak dengan alasan khawatir terjadi kekeliruan.
"Tolonglah, biarkan kami membawa jenazah anak kami pulang. Biar kami makamkan dengan baik," tutur Suryanto dengan mata berkaca-kaca.
Lamanya menunggu hasil DNA menurut Suryanto malah membuat kesedihan keluarga semakin berlarut larut. Dia menghormati prosedur yang berlaku. Namun hendaknya semuanya tetap mengedepankan kemanusiaan.
"Saya khawatir kalau terlalu lama di rumah sakit kondisi jenazah akan semakin rusak. Sebab saya melihat pendinginan di ruangan tidak maksimal," pungkasnya.
Tidak ada ciri fisik yang bisa dikenali. Juga tak ada sisa sobekan pakaian maupun barang bawaan yang menempel di badan. Semuanya ludes dilalap api.
Di ruang bersuhu udara rendah penyimpanan mayat RSUD dr Sayidiman Kabupaten Magetan, Sutikno (41) mengaku hanya menatap kerangka manusia yang menghitam. Tulang belulang di dalam peti itu lebih menyerupai onggokan arang.
Namun warga Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar itu meyakini jenazah di depan matanya itu adalah keponakanya. Ya, Aris Munandar (25) warga Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar.
"Kondisinya memang 100% tidak bisa dikenali. Tapi saya yakin seyakin yakinnya jasad itu Aris, keponakan saya. Saat melihat langsung, saya merasakan ada ikatan batin," ungkap Sutikno, di rumah orangtua Aris, Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Sanawetan Kota Blitar, Rabu (21/10/2015).
Aris Munandar adalah anak sulung dari tiga bersaudara pasangan suami istri Suryanto (57) dan Adelin Sumolong (49). Sudah tiga tahun lamanya alumni SMA Negeri 01 Kota Blitar dan Fakultas Akuntasi Universitas Brawijaya Malang itu bertempat tinggal di Jakarta.
Semenjak lulus kuliah bujangan yang dikenal berwatak pendiam itu diterima kerja di sebuah perusahaan alat berat berkantor pusat di Ibu Kota.
Menurut Sutikno, keponakanya baru setahun terakhir ini menyukai hobi mendaki gunung. Setahu dia, Aris juga pernah menaklukkan Gunung Semeru dan Tangkubanperahu.
"Setiap hendak naik gunung dia selalu pamit ke keluarga. Mungkin hobi ini terbawa rekan sekantornya," terangnya.
Begitu juga saat hendak mendaki Gunung Lawu. Sehari sebelum musibah terjadi, Aris berkirim pesan pendek (sms) di nomor ponsel mamanya. Adelin Sumolong baru membaca pesan putranya pada pagi harinya.
Intinya Aris memberitahu sekaligus memohon doa restu kalau hendak mendaki Gunung Lawu. "Sms itu masuk di kotak pesan pada malam hari. Sepertinya dikirim saat perjalanan," terang Sutikno.
Awalnya keluarga tidak pernah berfikir Aris bagian dari rombongan pendaki yang tertimpa musibah di Gunung Lawu. Sebab tidak ada firasat buruk yang mengarah ke sana. Keluarga mulai merasa cemas saat pemberitaan media menyebut korban tewas adalah rombongan pendaki asal Jakarta.
"Kami semakin panik ketika Budi salah satu teman Aris menelepon bahwa salah satu jasad yang sulit diidentifikasi diyakini Aris," jelas Sutikno.
Budi adalah salah satu korban terbakar rombongan pendaki Jakarta yang selamat. Ditemui di rumah sakit Magetan, Budi bercerita panjang lebar.
Dia menceritakan, bahwa setelah semalam berada di Gunung Lawu, sembilan orang pendaki asal Jakarta itu memutuskan untuk turun. Sebab mereka harus kembali ke Jakarta untuk masuk kerja lagi pada hari berikutnya.
Sebanyak sembilan orang pendaki itu terdiri dari lima orang perempuan dan empat laki-laki. Pada saat perjalanan turun dari jalur pos pantau 4 ke pos pantau 3, mereka sempat mendengar seruan api dari rombongan pendaki lain yang belum lama mendahului.
"Saat itu Aris posisinya nomor 7 di belakang. Di belakangnya lagi ada Kartini dan Joko," paparnya.
Karena penasaran dengan suara seruan api, enam orang pendaki, termasuk Budi mempercepat langkah berusaha memastikan situasi. Namun baru beberapa langkah, di depan mereka tampak api menjalar cepat ke arah mereka.
Api yang diduga kuat berasal dari gesekan ranting dan daun kering. Keenam pendaki reflek melompat bergulingan menyelamatkan diri. Sementara Aris, Joko dan Kartini diduga belum menyadari datangnya bahaya.
Dari tempatnya menyelamatkan diri Budi sempat melihat Aris, Joko dan Kartini masih asyik foto selfie. Budi juga menyaksikan bagaimana Aris yang berada lebih dekat dengan bahaya, termangu antara kembali naik atau melompat ke samping.
Sebab seluruh jalan pendakian telah tertutup kobaran api. Jasad yang diyakini keluarga sebagai Aris itu ditemukan di semak semak yang hangus.
Kondisinya paling parah dibanding jasad Joko dan Kartini yang ditemukan di atasnya. Alis Sutikno mendadak bertaut. Nada bicaranya mendadak meninggi saat bercerita rumitnya prosedur membawa jenazah pulang.
Pihak aparat kepolisian Magetan melarang keluarga membawa pulang jenazah sebelum ada hasil tes DNA Suryanto yang bisa diketahui dua pekan lagi. "Ini kan bukan jasad kriminal. Kenapa prosedur membawa pulang begitu rumit?" cetus Sutikno.
Saat tiba di RS Magetan, Suryanto langsung diambil tes DNA. Dia mengira hasil itu bisa diketahui dalam hitungan jam. Dia telah mencoba bernegosiasi dengan kepolisian setempat.
Sebab bagi Suryanto keterangan dari korban selamat sudah cukup menguatkan jasad itu adalah anaknya. Namun pihak kepolisian tetap menolak dengan alasan khawatir terjadi kekeliruan.
"Tolonglah, biarkan kami membawa jenazah anak kami pulang. Biar kami makamkan dengan baik," tutur Suryanto dengan mata berkaca-kaca.
Lamanya menunggu hasil DNA menurut Suryanto malah membuat kesedihan keluarga semakin berlarut larut. Dia menghormati prosedur yang berlaku. Namun hendaknya semuanya tetap mengedepankan kemanusiaan.
"Saya khawatir kalau terlalu lama di rumah sakit kondisi jenazah akan semakin rusak. Sebab saya melihat pendinginan di ruangan tidak maksimal," pungkasnya.
(san)