Mengurangi Penyandang Buta Huruf dengan Gula

Selasa, 13 Oktober 2015 - 08:57 WIB
Mengurangi Penyandang Buta Huruf dengan Gula
Mengurangi Penyandang Buta Huruf dengan Gula
A A A
BANDAR LAMPUNG - Kendala untuk menekan jumlah penyandang tunaaksara, termasuk di kalangan orang tua adalah mereka malu untuk belajar. Namun, Dian Widiasari, pengelola Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Mutiara, punya cara jitu mengurangi jumlah penyandang buta huruf.

"Saya ikuti filosofi nenek saya dulu yang memberi gula dan minyak tanah bagi ibu-ibu pengajian. Gula simbol ilmu itu harus manis dan minyak tanah ibarat penerang hidup," katanya saat mengajari ibu-ibu di kecamatan Sukabumi, Kelurahan Campang Jaya, Kota Bandar Lampung.

Dian mengatakan, perjuangan terberat adalah merayu warga untuk melepas rasa malu dan takut untuk diajak sekolah. Maka dari itu, awalnya dia woro-woro kepada warga ada acara kumpul-kumpul. Camilan juga disediakan agar mereka bisa santai. Setelah itu, buku, pensil, penghapus dan rautan dikeluarkan perlahan sambil para tutor memperkenalkan mereka kepada huruf.

Kalau neneknya dulu membagikan gula dan minyak tanah, Dian dan para tutornya membagi gula dan kopi kepada warga seusai belajar. Teknik bagi-bagi gula ini, menurut Dian, sangat ampuh karena terbukti seluruh penyandang tunaaaksara di tujuh kelurahan di Kecamatan Sukabumi sudah bisa baca tulis.

"Dari mulut ke mulut saja bahwa di PKBM kami bagi gula setelah kelar belajar. Hasilnya jumlah warga yang terbebas dari buta aksara semakin banyak," katanya.

Mengurangi Penyandang Buta Huruf dengan Gula


Perempuan berjilbab ini menyatakan, PKBM-nya beroperasi sejak 2008. Dia tergerak membuka PKBM karena banyak tetangganya yang putus sekolah akibat ketiadaan biaya.

Dia mengungkapkan, bocah perempuan berusia 12 tahun pun banyak yang sudah dinikahkan orangtuanya sehingga putus sekolah. Tidak mau semakin banyak tetangganya yang tak bisa membaca, dia merelakan sebidang tanahnya untuk ruang belajar.

Suaminya yang berprofesi sebagai lurah pun membantu dengan membangun dua ruang kelas baru. Dian bercita-cita mempunyai lab komputer agar bisa mengajari warganya mengetik.

Dian tidak hanya ingin menghapus tunaaksara di kalangan tua. Dia juga membuka kelas Paket C agar semakin banyak anak di lingkungannya diterima bekerja di perusahaan atau kuliah. Motivasi yang dia berikan adalah ijazah merupakan nyawa kedua. Sebab ketiadaan ijazah akan menyulitkan mencari kerja.

"Bangga sekali saya anak didik saya sudah banyak yang mendapat kerja setelah ikut Paket C. Bahkan ada yang bisa kuliah lagi," terangnya.

Lulusan Universitas Lampung jurusan FKIP ini menuturkan, pernah mendatangi dekan salah satu kampus swasta yang menolak siswa lulusan Paket C-nya. Dia juga pernah mendatangi perusahaan yang memandang sebelah mata pelamar lulusan paket C.

Kepada keduanya, Dian dengan lantang menyatakan pemerintah sudah mewajibkan institusi menerima lulusan paket C tanpa terkecuali. Dia juga berusaha menyadarkan bahwa kompetensi seseorang bukan dilihat dari mana lulusannya, tetapi kemampuannya.

Dian mengaku tidak memberi gaji bulanan kepada 24 tutornya. Para pengajar ini hanya diupah Rp25.000 per sekali kedatangan. Umumnya mereka berprofesi sebagai guru di sekolah swasta, lalu siangnya mengabdikan dirinya kepada masyarakat di PKBM miliknya.

Awalnya, banyak tutornya yang putus asa karena sulit sekali mengajak warga belajar. Namun dia memberi pengertian untuk terus berjuang di jalan Allah agar semua anak bangsa bisa mengenyam pendidikan.

"Saya bilang cari duit di sekolah tapi jangan lupakan ibadah di PKBM," ujarnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4804 seconds (0.1#10.140)