Khris Gajahera, Raja Laundry dari Batam
A
A
A
BATAM - Pernah disebut sarjana tukang cuci, Khris Gajahera sukses membawa usaha binatunya ke 16 kota di Indonesia. Dalam waktu dekat ia juga akan meluncurkan buku berjudul Laundry Cash Machine.
"Tidak sia-sia saya jadi tukang cuci. Padahal dulu cita-cita saya kerja di hotel atau di bank," kata Khris Gajahera, pemilik usaha binatu Extraqilo Laundry di kantornya di Ruko Grand California, Batam Centre.
Krish memulai usahanya dari bawah. Sebelum memiliki 102 cabang di 16 kota di Indonesia termasuk di antaranya di Jakarta, Bekasi, Prabumulih, Sekayu, Jombang, Yogyakarta, Padang, Pekanbaru, dan lainnya, Khris Gajahera ini adalah pegawai bank biasa. Saat baru diterima, ia diharuskan ikut training di Pekanbaru.
Masalah muncul karena ia tak punya uang untuk beli tiket kapal Batam-Pekanbaru. Diam-diam ibunya utang Rp500 ribu ke tetangga-tetangganya.
"Saya merasa sedih sekali waktu itu, hati saya berdesir karena saya malah meninggalkan ibu saya di Tanjungpinang dan malah merepotkan dia," katanya lirih.
Saat itu, Khris memang sedang bersemangat untuk mendapatkan pekerjaan di bank. Sebab, tahun 2001 setelah lulus kuliah dari Fakultas Hukum di salah satu universitas swasta di Yogyakarta ia sempat menganggur. Ia sempat berjualan kulit sapi dan melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan uang.
"Bahkan saya harus menyingkirkan gengsi karena takut lapar dan enggak bisa merokok dengan melakukan kerja apa saja waktu itu," kata anak pertama dari empat bersaudara ini.
Di kampung halamannya di Tanjungpinang, ia bekerja apa saja. Mulai jadi tukang ojek saat malam hari dan siangnya menjadi guide wisata sampai ia punya modal untuk menyewa angkot dan membawanya keliling Tanjungpinang untuk mencari penumpang. Selama dua bulan ia menjadi sopir angkot dan berhenti saat lamarannya di bank diterima.
Oktober 2002 dengan statusnya sebagai karyawan bank, ia mendapat gaji Rp5 juta. Setengah dari uang tersebut ia gunakan untuk menyewa rumah selama tiga bulan. Sisanya ia gunakan untuk membeli mesin cuci seken, setrika, serta kayu-kayu yang disulap menjadi rak tempat meletakkan baju-baju.
Khris mengelola usaha binatu sambil tetap bekerja di bank. Meskipun punya satu orang karyawan ia tetap sering ikut turun mencuci atau menyeterika pakaian. Omongan miring tentang usaha yang dibukanya berdatangan. Tidak hanya dari orang jauh, tapi juga dari orang-orang dekat.
"Sayang, sudah sarjana, kerja di bank malah jadi tukang cuci, bisnis yang enggak keren," tiru Khris.
Waktu itu langganan pertamanya adalah teman abang sepupunya. Tarifnya Rp100 ribu per bulan. Lalu pelanggan selanjutnya banyak dari kalangan ibu-ibu di sekitar tempat laundry-nya. Tahun 2002 nama laundry miliknya adalah Mama Laundry, masyarakat Batam saat itu belum familiar dengan binatu kiloan.
"Cukup lama bertahan dengan laundry satuan, satu lembarnya harganya bervariasi lihat tebal tipisnya. Harganya berkisar Rp4 ribu hingga Rp25 ribu," jelas bapak tiga anak ini.
Tarif satuan itu bertahan hingga 2008. Pada 2009, Khris telah membuat konsep baru bagi laundrynya. Ia memasang harga kiloan dengan harga lebih murah dan mengubah nama Mama Laundry menjadi Extraqilo.
Saat memulai bisnisnya, Khris benar-benar tak memiliki mentor. Ia hanya berpikir bagaimana setiap hari ada transaksi di laundry-nya.
"Jujur saya memang banyak membaca buku motivasi waktu itu, jadi modal saya nekat saja. Setahu saya bisnis itu tentang transaksi. Setiap hari harus ada pemasukan di atas beban yang ditanggung."
Khris nyambi kerja di bank sambil mengurus laundry-nya. Ia mulai merasa penghasilan per bulan di laundry-nya makin melebihi gaji yang diterimanya di bank. Tiga bulan berlalu, dari modal yang dikeluarkannya di awal telah kembali. Bahkan ia sudah mendapatkan untung, maka ia mutuskan untuk keluar dari bank dan fokus pada bisnis laundry.
Bisnis laundry diakuinya bisnis yang mudah. Hanya saja, ia pernah mengalami saat-saat down secara mental. Tahun 2007 hingga 2008 disebutnya sebagai titik balik proses kejiwaannya.
"Saya terlalu banyak lirik usaha lain waktu itu, sehingga konsentrasi sempat terpecah. Terpaksa saya tutup usaha-usaha yang tidak berhubungan dengan laundry," katanya.
Extraqilo sekarang mengembangkan sayapnya. Meskipun Khris stop usaha lain, ia tetap melanjutkan usaha yang berhubungan dengan laundry. Lantai satu ruko kantornya itu misalnya menyediakan toko kebutuhan laundry. Mulai dari mesin cuci hingga parfum.
Empat tahun setelah membuka laundry, Khris berhasil membuat tujuh cabang laundry baru di Batam. Tahun 2009 ia mulai membuka kesempatan bagi yang ingin menjadi mitranya lewat sistem franchise.
Tidak hanya mengembangkan dirinya sendiri, Khris juga rela berbagi ilmu wirausahanya dengan orang lain. Tiap sebulan sekali ia membuka workshop bagi orang yang ingin belajar tentang laundry. Cukup membayar Rp1.750.000 setiap satu sesi.
"Setiap alumni ada jaminan hak untuk sharing kembali di sesi selanjutnya dengan gratis. Ia juga boleh menjadi mitra di Extraqilo dengan cara franchise," katanya.
Setiap mitranya akan mendapatkan monitoring secara berkala dan training bagian operasionalnya. Mitra hanya cukup bayar royalti 6 persen dari omzet per bulannya. Sedangkan khusus untuk mitra yang di Batam hanya perlu setor Rp500 ribu per bulan dari omzet yang didapatkannya.
Baru-baru ini, Khris memasarkan secara luas pengering pakaian yang dikonversinya dari gas dan parfum laundry yang tahan lama hasil racikan tim Extraqilo. Pengering pakaian konversi itu terbukti mampu menghemat pemakaian listrik.
Laki-laki yang dijuluki Raja Laundry dari Batam ini telah mendapat banyak penghargaan tingkat daerah maupun tingkat nasional. Awal 2015, ia mendapatkan anugerah wirausaha Indonesia kategori laundry. Ia juga berkali-kali mendapatkan penghargaan di bidang franchise. Profilnya telah menghiasi berbagai majalah bisnis di Indonesia. Omzet usahanya Rp1,7 miliar per bulan.
Ia juga telah membuat modul yang bisa dijadikan panduan bagi pebisnis pemula untuk membuat franchise secara umum. Oktober mendatang dijadwalkan ia akan meluncurkan buku berjudul Laundry Cash Machine.
"Itu buku panduan seluk-beluk usaha laundry. Saya tulis sendiri dan selesai selama enam hari dengan tidur yang amat minim," katanya.
"Sudah ada 80-an orang yang pesan. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia seperti Aceh, Kalimantan, Papua dan lain-lain."
"Tidak sia-sia saya jadi tukang cuci. Padahal dulu cita-cita saya kerja di hotel atau di bank," kata Khris Gajahera, pemilik usaha binatu Extraqilo Laundry di kantornya di Ruko Grand California, Batam Centre.
Krish memulai usahanya dari bawah. Sebelum memiliki 102 cabang di 16 kota di Indonesia termasuk di antaranya di Jakarta, Bekasi, Prabumulih, Sekayu, Jombang, Yogyakarta, Padang, Pekanbaru, dan lainnya, Khris Gajahera ini adalah pegawai bank biasa. Saat baru diterima, ia diharuskan ikut training di Pekanbaru.
Masalah muncul karena ia tak punya uang untuk beli tiket kapal Batam-Pekanbaru. Diam-diam ibunya utang Rp500 ribu ke tetangga-tetangganya.
"Saya merasa sedih sekali waktu itu, hati saya berdesir karena saya malah meninggalkan ibu saya di Tanjungpinang dan malah merepotkan dia," katanya lirih.
Saat itu, Khris memang sedang bersemangat untuk mendapatkan pekerjaan di bank. Sebab, tahun 2001 setelah lulus kuliah dari Fakultas Hukum di salah satu universitas swasta di Yogyakarta ia sempat menganggur. Ia sempat berjualan kulit sapi dan melakukan pekerjaan apa saja untuk mendapatkan uang.
"Bahkan saya harus menyingkirkan gengsi karena takut lapar dan enggak bisa merokok dengan melakukan kerja apa saja waktu itu," kata anak pertama dari empat bersaudara ini.
Di kampung halamannya di Tanjungpinang, ia bekerja apa saja. Mulai jadi tukang ojek saat malam hari dan siangnya menjadi guide wisata sampai ia punya modal untuk menyewa angkot dan membawanya keliling Tanjungpinang untuk mencari penumpang. Selama dua bulan ia menjadi sopir angkot dan berhenti saat lamarannya di bank diterima.
Oktober 2002 dengan statusnya sebagai karyawan bank, ia mendapat gaji Rp5 juta. Setengah dari uang tersebut ia gunakan untuk menyewa rumah selama tiga bulan. Sisanya ia gunakan untuk membeli mesin cuci seken, setrika, serta kayu-kayu yang disulap menjadi rak tempat meletakkan baju-baju.
Khris mengelola usaha binatu sambil tetap bekerja di bank. Meskipun punya satu orang karyawan ia tetap sering ikut turun mencuci atau menyeterika pakaian. Omongan miring tentang usaha yang dibukanya berdatangan. Tidak hanya dari orang jauh, tapi juga dari orang-orang dekat.
"Sayang, sudah sarjana, kerja di bank malah jadi tukang cuci, bisnis yang enggak keren," tiru Khris.
Waktu itu langganan pertamanya adalah teman abang sepupunya. Tarifnya Rp100 ribu per bulan. Lalu pelanggan selanjutnya banyak dari kalangan ibu-ibu di sekitar tempat laundry-nya. Tahun 2002 nama laundry miliknya adalah Mama Laundry, masyarakat Batam saat itu belum familiar dengan binatu kiloan.
"Cukup lama bertahan dengan laundry satuan, satu lembarnya harganya bervariasi lihat tebal tipisnya. Harganya berkisar Rp4 ribu hingga Rp25 ribu," jelas bapak tiga anak ini.
Tarif satuan itu bertahan hingga 2008. Pada 2009, Khris telah membuat konsep baru bagi laundrynya. Ia memasang harga kiloan dengan harga lebih murah dan mengubah nama Mama Laundry menjadi Extraqilo.
Saat memulai bisnisnya, Khris benar-benar tak memiliki mentor. Ia hanya berpikir bagaimana setiap hari ada transaksi di laundry-nya.
"Jujur saya memang banyak membaca buku motivasi waktu itu, jadi modal saya nekat saja. Setahu saya bisnis itu tentang transaksi. Setiap hari harus ada pemasukan di atas beban yang ditanggung."
Khris nyambi kerja di bank sambil mengurus laundry-nya. Ia mulai merasa penghasilan per bulan di laundry-nya makin melebihi gaji yang diterimanya di bank. Tiga bulan berlalu, dari modal yang dikeluarkannya di awal telah kembali. Bahkan ia sudah mendapatkan untung, maka ia mutuskan untuk keluar dari bank dan fokus pada bisnis laundry.
Bisnis laundry diakuinya bisnis yang mudah. Hanya saja, ia pernah mengalami saat-saat down secara mental. Tahun 2007 hingga 2008 disebutnya sebagai titik balik proses kejiwaannya.
"Saya terlalu banyak lirik usaha lain waktu itu, sehingga konsentrasi sempat terpecah. Terpaksa saya tutup usaha-usaha yang tidak berhubungan dengan laundry," katanya.
Extraqilo sekarang mengembangkan sayapnya. Meskipun Khris stop usaha lain, ia tetap melanjutkan usaha yang berhubungan dengan laundry. Lantai satu ruko kantornya itu misalnya menyediakan toko kebutuhan laundry. Mulai dari mesin cuci hingga parfum.
Empat tahun setelah membuka laundry, Khris berhasil membuat tujuh cabang laundry baru di Batam. Tahun 2009 ia mulai membuka kesempatan bagi yang ingin menjadi mitranya lewat sistem franchise.
Tidak hanya mengembangkan dirinya sendiri, Khris juga rela berbagi ilmu wirausahanya dengan orang lain. Tiap sebulan sekali ia membuka workshop bagi orang yang ingin belajar tentang laundry. Cukup membayar Rp1.750.000 setiap satu sesi.
"Setiap alumni ada jaminan hak untuk sharing kembali di sesi selanjutnya dengan gratis. Ia juga boleh menjadi mitra di Extraqilo dengan cara franchise," katanya.
Setiap mitranya akan mendapatkan monitoring secara berkala dan training bagian operasionalnya. Mitra hanya cukup bayar royalti 6 persen dari omzet per bulannya. Sedangkan khusus untuk mitra yang di Batam hanya perlu setor Rp500 ribu per bulan dari omzet yang didapatkannya.
Baru-baru ini, Khris memasarkan secara luas pengering pakaian yang dikonversinya dari gas dan parfum laundry yang tahan lama hasil racikan tim Extraqilo. Pengering pakaian konversi itu terbukti mampu menghemat pemakaian listrik.
Laki-laki yang dijuluki Raja Laundry dari Batam ini telah mendapat banyak penghargaan tingkat daerah maupun tingkat nasional. Awal 2015, ia mendapatkan anugerah wirausaha Indonesia kategori laundry. Ia juga berkali-kali mendapatkan penghargaan di bidang franchise. Profilnya telah menghiasi berbagai majalah bisnis di Indonesia. Omzet usahanya Rp1,7 miliar per bulan.
Ia juga telah membuat modul yang bisa dijadikan panduan bagi pebisnis pemula untuk membuat franchise secara umum. Oktober mendatang dijadwalkan ia akan meluncurkan buku berjudul Laundry Cash Machine.
"Itu buku panduan seluk-beluk usaha laundry. Saya tulis sendiri dan selesai selama enam hari dengan tidur yang amat minim," katanya.
"Sudah ada 80-an orang yang pesan. Mereka berasal dari berbagai kota di Indonesia seperti Aceh, Kalimantan, Papua dan lain-lain."
(zik)